Politik Dangdut Terselubung
Lakon yang disutradarai oleh Agus Noor itu merupakan produksi yang ke-28 dari program Indonesia Kita. Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto menjadi tim kreatif dalam program itu.
Selain Silir Pujiwati, pementasan menghadirkan penyanyi Sruti Respati, Daniel Christianto, JKT 48, dan pegiat seni peran Inayah Wahid. Ada juga sejumlah pelawak, seperti Cak Lontong, Akbar, Arie Kriting, Tarzan, Marwoto, Mucle, dan Trio GAM.
Kehidupan pedangdut keliling Kampung Pantura yang dilakoni Silir menjadi bagian menarik dalam mengungkap potret sosial realitas hidup masyarakat. ”Kami sudah berkeliling dari satu kampung ke kampung lain, tapi hanya dapat satu bungkus nasi untuk lima orang,” kata Marwoto yang berlakon sebagai bos Orkes Keliling sekaligus ayah Silir.
Penampilan Marwoto tampak lusuh dengan baju surjan kusam, celana tanggung, dengan sepatu dan kaus kaki berwarna merah yang norak.
Lakon Princess Pantura secara jujur menunjukkan penderitaan hidup masyarakat Indonesia khususnya di pantura Jawa. Panggung diimajinasikan dalam berbagai latar hidup masyarakat mulai dari Kampung Pantura, Warteg Bahari Jaya, pangkalan ojek, hingga panggung audisi ”Princess Pantura Idol” yang merupakan panggung politik terselubung.
Latar warteg lalu menunjukkan kehidupan para pelakon orkes dangdut keliling dan pedagang warteg—diperankan Inayah Wahid—yang sehari-hari harus berhadapan dengan Mucle si tukang kredit. Mereka diikat relasi utang-piutang yang rumit, tetapi selalu disatukan oleh dangdut. ”Dangdut itu selalu mempersatukan warga akar rumput. Dangdut juga merupakan simbol pembebasan dari penderitaan,” kata Agus Noor.
Meskipun hidup para pedangdut pantura tak pernah lepas dari derita, impian mereka menjadi bintang Ibu Kota tak pernah sirna. Mimpi mereka dirawat oleh gemerlap kesuksesan para pedangdut pantura di panggung Ibu Kota yang mereka tonton dari televisi. Mereka terpana melihat kilau pakaian dan kemewahan hidup para pedangdut sukses ketika pulang kampung ke Kampung Pantura, sebagaimana diperankan Sruti Respati.
Mimpi-mimpi para pedangdut ini yang ditumpangi para politisi untuk mendulang suara masyarakat akar rumput yang sebagian besar adalah penyuka dangdut. Tarzan si calon anggota legislatif lalu membuat panggung Princess Pantura Idol yang sesungguhnya adalah panggung politik terselubung. Warga menjadi korban pertarungan politik antara Tarzan dan caleg lain yang diperankan Cak Lontong. Persaudaraan antarkampung pun retak karena dangdut dipolitisasi.
Potret hidup
Jika ingin mengetahui potret hidup masyarakat akar rumput yang sesungguhnya, sering-seringlah mendengar lagu dangdut. Dangdut merefleksikan hampir semua tema kehidupan masyarakat akar rumput mulai dari percintaan, kemiskinan, impian, sampai penderitaan.
Itu pesan yang disampaikan Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid kepada putrinya, Inayah. ”Pesan ini membuat saya sering-sering mendengar dan menjadi suka sama lagu dangdut,” kata Inayah.
Menurut Butet, dangdut menjadi katup ventilasi dari seluruh kesumpekan sosial, ekonomi, dan tekanan kemiskinan masyarakat. Berdangdut menjadi suatu cara masyarakat kelas bawah menemukan kegembiraan dan kebahagiaan. ”Kelompok masyarakat akar rumput ini tidak mungkin mengekspresikan diri dengan musik yang tidak mereka kenal, seperti jazz, pop, dan blues. Yang paling dekat dan yang mereka miliki adalah dangdut, yang lahir secara otentik dan murni dari dalam diri masyarakat,” katanya.
Kalau tidak ada dangdut, kata Butet, hidup masyarakat semakin sengsara. Dangdut menjadi cara berekspresi, memberikan penghiburan bagi diri sendiri, dan menemukan impian. Dangdut merupakan ekspresi paling otentik dari realitas sosial masyarakat teraniaya. Di dalam dangdut, mereka menemukan mimpi bahkan mewujudkannya. Beberapa pedangdut dari pantura bahkan bisa bersaing di panggung nasional seperti Inul Daratista atau Iis Dahlia.
Kemurnian kebudayaan dangdut itu, kata Butet, lalu bertemu dengan kepentingan politik dan ekonomi. ”Lalu, dangdut pun dipolitisasi. Pertunjukan ini mengajak kita semua agar berada dalam satu kesadaran agar tidak menjahati kebudayaan dangdut. Setidaknya orang tersadarkan pada batas mana politik harus mengamankan produk kebudayaan,” kata Butet.
Butet menuturkan, pementasan itu juga menjadi satir dari potret sosial politik Indonesia saat ini. Pertunjukan itu mengajak penonton menertawakan adegan si politisi Cak Lontong yang menabrak tiang listrik, panggung dangdut yang bubar tahun 2030, wakil rakyat yang tak bisa dikritik karena sudah ada Undang-Undang MD3, hingga adegan para anak buah yang menyatakan dukungan di tahun 2019, lalu menghina bosnya di belakang.