Kebebasan dari Balik Jeruji
Menjadi narapidana artinya tidak memiliki kebebasan fisik. Tubuh senantiasa terbelenggu di balik jeruji besi. Namun, boleh jadi ruang berpikir mereka tetap merdeka. Para narapidana masih bisa dan berhak untuk berkarya karena di saat itulah mereka merasakan kebebasan sebenarnya.
Seorang narapidana sedang menelepon sembunyi-sembunyi di balik jeruji. Petugas datang dan menegurnya. ”Saya hanya rindu anak saya, Pak. Maaf,” kata narapidana itu.
Telepon genggam pun lalu dikembalikan kepada pemiliknya yang ternyata adalah kepala lembaga pemasyarakatan (lapas). Pejabat lapas yang korup itu pun kesal dan malu. Malu karena ketahuan kerap menyewakan telepon kepada napi demi uang.
Layar kemudian berganti. Puluhan narapidana menari dibalut kain merah dan putih. Masih asyik menari, sesosok iblis muncul dengan tangan yang panjang berusaha mengganggu formasi tarian mereka. Para penari berusaha menendang dan memukul si iblis, tetapi sosok itu terlalu kuat. Mereka pun terjungkal dan terpecah belah. Adalah Maria Regina Paramita Sari (29), narapidana di Lapas Kelas IIA Pondok Bambu, yang melihat perpecahan di antara kawan-kawannya. Ia pun menyanyikan lagu ”Satu Nusa Satu Bangsa” untuk menyatukan mereka dan mengembalikan kekuatan melawan si iblis. Akhirnya iblis tumbang.
Kisah napi yang menelepon anak dan tarian melawan iblis itu merupakan bagian cukup mengesankan dari drama musikal bertajuk ”Merah Putih Narapidana, Kami Berkarya maka Kami Ada” yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Senin (23/4/2018) malam. Pentas itu merupakan satu dari rangkaian acara Indonesian Prison Art Festival (IPAFest) 2018 yang dilaksanakan pada 23-24 April. Acara itu diinisasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pentas itu secara jujur mengungkap kehidupan dalam lapas, seperti petugas lapas yang korup, keributan para napi, dan reformasi lapas.
Setiap lakon yang dimainkan tak jauh berbeda dengan kehidupan asli para pelakon, baik si narapidana maupun petugas lapas. Seperti lakon RR Rameda (34), teman satu lapas Maria, yang gundah gulana hampir setiap malam dan tak pernah tidur nyenyak. Adegan berlatar gelap, menggambarkan kehidupan malam di balik jeruji si napi. Pikiran Rameda melayang maju dan mundur. Ia menyesal menggunakan sabu hingga akhirnya ditangkap. Kengeriannya berlanjut karena khawatir tak lagi diterima dunia luar setelah bebas.
”Seorang napi kalau sudah bebas susah cari kerja karena orang hanya melihat satu kesalahan itu. Mereka lupa kalau kami juga bisa belajar dan berbuat sesuatu,” kata Rameda yang tahun depan akan keluar dari penjara.
Bebas
Selama dua hari para narapidana melupakan pengapnya ruang di balik jeruji. Untuk sesaat, mereka bebas. Mereka bahkan diberi kesempatan bertemu keluarga dan teman-teman selama festival berlangsung hanya di dalam kompleks TIM. Derai air mata, senyuman bahagia tergambar di wajah para napi.
Kebebasan sementara yang diberikan itu bisa jadi berbahaya. Mereka bisa saja berbaur dengan para pengunjung lainnya untuk kabur. Apalagi festival itu dibuka untuk umum dan tidak dipungut biaya. Ratusan orang keluar-masuk acara itu. Uniknya, penjagaan tidak terlalu mencolok. Tidak terlihat petugas kepolisian bersenjata atau kawat-kawat berduri. Hanya petugas-petugas lapas berseragam batik berkeliling dan berjaga di tiap sudut lokasi.
Menurut Ketua Penyelenggara IPAFest 2018 Aman Riyadi, hanya cap dan gelang sebagai penanda para warga binaan. Ia percaya semua narapidana yang hadir tidak akan berupaya kabur. ”Kalau kami enggak percaya sama mereka, siapa lagi yang bisa kasih kepercayaan. Kami hanya sampaikan jaga kepercayaan ini, mereka tahu konsekuensinya,” ungkap Aman.
Untuk pertama kalinya, ratusan narapidana dari lapas atau rutan di seluruh Indonesia dikumpulkan di satu tempat. Museum Rekor-Dunia Indonesia pun mencatat, festival seni narapidana itu merupakan yang pertama di dunia dan dengan peserta paling banyak.
Tak ada artis atau bintang teater dalam pentas itu. Semua karakter dimainkan oleh warga binaan atau narapidana. Pada drama musikal terdapat 152 narapidana yang bermain peran. Mereka diseleksi oleh sutradara Krisna Aditya dari Je Production melalui teleconference sebulan sebelum pementasan. Setelah dipilih, narapidana dikumpulkan di Lapas Kelas IIA Salemba, Jakarta Pusat, selama dua minggu untuk dilatih oleh para instruktur. Dalam sehari, mereka menghabiskan waktu berlatih selama sembilan sampai 10 jam.
Stanley (41), warga binaan Lapas Kelas I Tangerang, tidak pernah melakonkan peran dalam pentas drama maupun teater. Namun, ketika diberi kesempatan, ia bermain peran dan bernyanyi maksimal. ”Ini untuk pembuktian diri kalau kami yang hidup di balik jeruji dengan ruang terbatas dan berebut napas masih bisa berkarya,” kata Stanley seusai pentas.
(DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO)