Dewabrata yang Menyatukan
”Muga jagad nyeksanana
Aku nedya sumpah prasetya
Urip wadat ora bakal krama.”
Dengan suara lantang dan cukup jernih, penari Wasi Bantolo menembangkan sumpah tokoh Dewabrata yang ia perankan. Artinya, semoga jagat menjadi saksi, aku bersumpah setia untuk tidak akan menikah selamanya. Sumpah itu diucap Dewabrata demi cinta dan bakti pada ayahnya, yaitu Raja Santanu yang ingin memperistri Dewi Durgandini. Sang Dewi mempunyai syarat agar kelak putra yang dilahirkannya menjadi penerus takhta kerajaan. Seharusnya, takhta itu akan diteruskan Dewabrata.
Adegan Dewabrata mengucap sumpah, dan restu Durgandini (diperankan Purwo Tjahja Indrawati) menjadi titik dramatik pada adegan pertama dramatari Dewabrata. Retno Maruti yang dalam buku program tertulis sebagai Penanggung Jawab Karya, menempatkan titik-titik dramatik pada setiap adegan. Sebagai seni dramatari atau sendratari, dramatika pentas ini dibangun dengan tari, tembang, gending, dan didukung tata cahaya sebagai satu kesatuan ucap.
Pergelaran mengalir seturut alur cerita yang berfokus pada konflik batin dua orang berjiwa kesatria, yaitu Dewabrata dan Dewi Amba. Dewabrata kokoh memegang sumpah, tetapi tergetar oleh kehadiran Amba. Begitu pula Amba, memegang janji setia untuk menjadi pendamping setia Dewabrata, meski kematian harus ditanggungnya. Perbenturan dua ke-keukeuh-an itu jadi titik dramatik lain dari pentas ini.
Bandingkan sumpah Dewabrata di atas dengan kekokohan sikap hati Amba.
”Duh raden, Amba niki sanes trahing sudra papa/Kang tan mantep pangesthina/Kawula putrining nata kudu bawa leksana/ Sepisan angucap tuhu sun bela tekeng palastra”. (Wahai kakanda, Amba bukan perempuan jelata. Amba putri raja yang punya pendirian. Tegas berucap kubela sampai mati).
Sikap kesatria semakin ditegaskan oleh Amba bahwa baginya, hidup itu adalah pasangan kematian. Dalam tembang dipantunkan ”gesang punika pejah pepacangipun....” Ia gugur oleh panah Dewabrata yang terlepas secara tak sengaja, di tengah kebimbangan dan gejolak batin jiwanya.
Retno sebagai penulis tembang, atau semacam libretto dalam opera, mengungkapkan getaran jiwa Amba itu dengan puitis. B Subono sebagai penata gending menjadikan yang puitis itu semakin dramatis. Dan, para penari menubuhkan, menghayati secara mendalam, puisi beserta gending itu secara liris.
Seperti pada karya Maruti, Sekar Pembayun,Dewabrata ditutup dengan liris, puitis. Asmara puluhan tahun itu seperti hidup lagi justru ketika Dewabrata alias Resi Bhisma gugur di panah Srikandi yang diperankan Rury Nostalgia. Di panggung panah-panah beterbangan menghunjami puluhan prajurit yang terkapar. Dan, pada satu titik, panah Srikandi mengkhiri hidup Dewabrata.
Saat itu, di bagian belakang panggung, dengan elevasi lantai yang lebih tinggi tampak Amba melangkah tenang. Ia manyambut arwah Dewabrata, lalu berjalan bergandengan. Keduanya lalu berdiri tegak membelakangi penonton. Mengalun gending menyayat hati dan pelan-pelan panggung menggelap sunyi. ”Itu sebuah momentum penebusan dan pelepasan segala beban…” kata Wasi Bantolo.
Ketika itu, dalam tafsiran Wasi, Dewabrata dan Amba telah terbebas dari segala sumpah dan janji yang mereka pegang puluhan tahun. Dalam tembang, Retno menuliskan dengan bahasa indah. Disebutkan, itulah sumpah setia manusia pilihan yang menepati janji suci yang lahir dari jiwa mulia. ”Esem sengsem, katrem tur tajem/Angronce wewangsalan semon”: ”Senyumnya penuh pesona, menyejukkan, penuh misteri indah…”
Dewabrata pernah dipentaskan pada 1997, ketika Retno berusia 50 tahun. Sebagian penari dalam pergelaran 21 tahun lalu itu terlibat lagi pada persembahan kali ini. Mereka antara lain Nungki Kusumastuti, Yuni Swandiati, Rury Nostalgia, Purwo Tjahja Indrawati, Yully Purwanti.
Yogyakarta-Solo
Seperti karya Retno yang lain, yang beberapa kali dipentas ulang, Dewabrata versi 2018 ada sentuhan kebaruan, penyegaran. Kali ini yang sangat menonjol adalah masuknya gaya Yogyakarta yang berpadu dengan gaya Surakarta.
Retno sengaja memasukkan gaya Yogyakarta atau joget Mataraman dalam Dewabrata sebagai bentuk apresiasi atas konsistensi tari klasik tersebut yang sampai hari ini masih terjaga. Ada disiplin gerak yang jika ditempatkan dalam konteks karya ”zaman now” tetap terlihat klasik alias tak termakan zaman. ”Tinggal menggarapnya seperti apa,” kata Retno.
Retno dibantu oleh penata tari Bambang Pudjaswara dan Rury Nostalgia, menampilkan gaya Yogyakarta antara lain dalam adegan perang Baratayuda. Pada adegan itu, ia membutuhkan gerak dengan garis-garis tegas, kuat, lugas, gagah. ”Saya butuh garis yang cetho-cetho (jelas tegas),” kata Retno.
Pada adegan perang tersebut, ketegasan, ke-kenceng-an, kegagahan gerak penari pria itu berpadu dengan gerak penari perempuan yang lembut, luwes. Paduan kontras yang secara visual menarik. Pola lantai yang bersilang-silang menjadikan perang terkesan berkecamuk seru, tanpa terkesan adanya adu fisik yang verbal dan vulgar.
Gaya gerak staccato, patah-patah tegas dalam joget Mataraman, berpadu dengan gaya Solo yang ornamentik, romantik, dan mengalun lembut. Orang bilang mengalir lembut, seperti nganggeng kanyut atau ganggang terhanyut. Tari klasik gaya Yogyakarta dikembangkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi. Disebutkan Bambang, gaya tegas, gagah, kuat itu dilandasi semangat perjuangan, keprajuritan, kesatriaan. Semangat kesatria itu menjadi roh dari joget Mataraman, dan terasa hadir di panggung.
”Gaya yang tegas ini menyebabkan tarian klasik Yogya terkesan cenderung kaku. Sedangkan keluwesan itu kecenderungan gaya Solo. Kami justru mencoba meramu desain gerak gaya Yogya,” kata Bambang Pudjaswara. Paduan dua gaya ini menjadi tantangan tersendiri bagi penari, terutama dalam penyesuaian irama. Nungki Kusumastuti mengakui ada tingkat kesulitan yang cukup tinggi sehinga para penari senior pun harus belajar dari awal. ”Kami harus sinau (belajar), menghadapi kesulitan seperti dulu kami belajar tari. Dan, sekarang kami merasa naik kelas ha-ha-ha...,” kata Nungki yang pada pentas hari kedua memerankan Ambalika.
Pada sejumlah adegan Wasi berada di tengah gaya Yogyakarta. Ia sadar, dengan kehalusan gaya, ia akan menghadapi risiko ”kesilep” atau tenggelam di tengah kegagahan joget Mataraman. Atau justru kelembutan gaya Surakarta-nya itu tetap muncul di tengah ketegasan penari lain. Yang tampak di panggung kemudian, tidak ada yang tenggelam, justru saling menguatkan. ”Dua gaya ini mengikis jarak antara Yogyakarta dan Solo,” kata Wasi.