Thanos, diperankan Josh Brolin, dengan bantuan grafis komputer, sebenarnya punya misi mulia. Andaikata ia berhasil mengumpulkan keenam batu ”akik” itu, dia bisa mengendalikan populasi dunia. Alasannya cukup logis: sumber daya kehidupan terbatas. ”Padahal, terlalu banyak mulut untuk diempani,” begitu kira-kira kata Thanos.
Motivasi itulah yang membuat para Avengers dan sohib-sohibnya kelimpungan. Batu-batu itu selama ini terserak, diamankan oleh tokoh-tokoh baik. Doctor Strange (Benedict Cumberbatch), misalnya, menyimpan batu waktu yang memungkinkan pemegangnya menguasai laju waktu, mempercepat, membekukan, atau memundurkan.
Rebutan batu akik itulah yang jadi fondasi cerita Avengers: Infinity War. Seperti kata Karen Gillan, si pemeran Nebula, film ke-19 Marvel Cinematic Universe ini merupakan babakan perang mahabesar yang melibatkan batu-batu keabadian.
”Menurutku, ini adalah perang paling sulit yang dihadapi para Avengers sepanjang sejarah film Marvel. Itu berarti tak seorang pun aman,” kata Karen yang dalam film ini tak bisa memamerkan rambutnya yang tebal kekuningan. Sekujur tubuhnya terbalut shuit ketat warna biru.
Perang besar dalam film ini melibatkan kekuatan fisik dan metafisik, senjata mematikan, strategi matang, dan arena pertempuran yang luas. Perang itu tak cuma terjadi di bumi, tetapi meluas sampai ke luar angkasa.
Bersekutu
Para penyimpan batu tak sanggup menghadapi kekuatan Thanos dan ”anak-anaknya” sendirian. Mereka perlu bersekutu. Para Avengers yang sempat tercerai-berai pun bereuni kembali. Mereka cemas pada dampak kehancuran semesta andaikata seluruh batu keabadian itu dikuasai satu orang saja.
Reuni itu jadi hiburan tersendiri. Bruce Banner, Si Hulk, (Mark Ruffalo) tampak canggung ketika pertama kali bersua lagi dengan Natalia Romanova, Si Black Widow, (Scarlett Johansson). Thor (Chris Hemsworth) dan Captain America (Chris Evans) saling melepas komentar soal berewok masing-masing. Adu maskulinitas antara Thor dan Peter Quill juga terasa menggelikan.
Persekutuan juga memunculkan perkenalan baru. Peter Quill alias Star Lord yang tengil dari kelompok Guardian of The Galaxy sempat menduga Iron Man dan kelompoknya adalah kaki tangan Thanos. Salah paham itu cepat reda karena mereka punya misi sama.
Senda gurau antarkarakter tersebar di sepanjang film berdurasi 2,5 jam ini. Sisi komedi ini terasa menyegarkan menimbang panjangnya durasi film, dan adegan laga yang melelahkan. Penonton bisa tertawa kecut melihat kekikukan robot gempal Hulk Buster di tengah-tengah pertempuran kolosal. Si Bawel, Rocket Raccoon, juga sempat-sempatnya melawak waktu dikepung ”anjing-anjing luar angkasa”.
Russo Bersaudara (Joe dan Anthony) sebagai sutradara membubuhkan porsi drama pula. Dramatisasi itu terasa efektif dalam pembangunan karakter Thanos. Penonton yang kurang akrab dengan jagat film Marvel tak terlalu kesulitan mengenali Thanos. Malah, sangat mungkin si antagonis ini mengumpulkan penggemar baru.
Tentang karakter Thanos, Joe mendeskripsikannya dalam tiga kata sifat: bengis, keras, dan rapuh. Kamera bahkan menyorot lekat air mata yang meleleh. Bisa jadi kelak ungkapan ”air mata buaya” tergantikan dengan ”air mata Thanos”.
Relasi pribadi
Infinity War menyuguhkan cerita epik yang menggabungkan lebih dari 20 karakter dalam satu film. Produser Trinh Tran menyebut, jumlah itu merupakan karakter terbanyak yang pernah mereka pertemukan di satu judul. ”Membuat film seperti ini (dengan banyak karakter) merupakan bentuk cerita yang mau aku sampaikan, dan aku mau audiens terkoneksi dengan mereka,” kata Trinh.
Joe sependapat dengan Trinh. Menurut dia, masing-masing karakter dalam film mewakili setiap orang yang menonton. ”Anda seperti bisa melihat diri sendiri pada karakter kesukaan Anda. Ketika tokoh pujaan sedang tersuruk, Anda ingin memberinya semangat. Pada level bawah sadar, itu seperti memberi semangat pada diri sendiri,” kata Joe.
Oleh karena itu, menurut Joe, kehadiran film jagoan super semacam Infinity War tetap dirasa perlu. Ia menyoroti dunia nyata yang sedang bergolak tak menentu seperti sekarang, seperti isu disrupsi informasi, pembobolan data pribadi, ancaman negara pada pilihan personal, dan dominasi kelompok negara berpengaruh.
”Film ini bercerita tentang bagaimana rasanya menjadi ’pahlawan’, dan bagaimana perjuangannya menjalani nilai kebaikan di dunia yang karut-marut ini. Pesan itu jadi signifikan karena film ini punya penonton yang sangat banyak,” kata Joe.
Lantas, jika film pahlawan super dianggap memiliki peran penting dalam penyemaian nilai kebaikan, mengapa film semacam ini selalu ”kalah” dalam pertarungan di kancah festival, seperti Piala Oscar?
”Penyelenggara Oscar sepertinya mengenalkan film-film yang pantas diperhatikan lebih banyak orang. Sementara film pahlawan super sudah mendapat perhatian yang amat besar. Kami tidak membuat film untuk mereka (penyelenggara Oscar), melainkan bagi penggemar,” ujar Joe.
Penggila tokoh-tokoh Marvel sepertinya tidak ambil pusing tentang piala penghargaan. Bagi yang belum menonton, pertarungan yang lebih nyata adalah mendapat tiket dengan jam tayang sesuai keinginan serta terhindar dari kebocoran (spoiler) cerita.
Sementara bagi yang sudah menonton, mungkin diam-diam membenarkan pernyataan Karen Gillan bahwa tak seorang pun aman, setidaknya sampai ada kelanjutan Infinity War kedua tahun depan.