Andai Karya Shakespeare Jadi Lakon Potehi
Gregory Churchill sebelum membuka pameran ”Waktu Hidupkan Kembali Potehi” di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (3/5/2018), mengisahkan hal unik tentang boneka potehi. Lalu, ia mengaitkan, cerita-cerita karya William Shakespeare (1564-1616) pun bisa dipentaskan di potehi.
”Di dalam sebuah pementasan potehi, saya melihat seorang dalang mengganti kostum boneka potehi. Dengan kostum yang baru, potehi itu pun kemudian berganti karakter,” kata Gregory.
Gregory berasal dari Amerika Serikat, tinggal di Indonesia, dan mengoleksi berbagai jenis wayang yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia. Malam itu, Gregory diminta untuk membuka pameran sekitar 200 boneka potehi milik Toni Harsono atau Tok Hong Lay (49) dari Gudo, Jombang, Jawa Timur.
Gregory membuat sebuah analogi perubahan karakter boneka potehi ketika berganti kostum. Perubahan itu semestinya juga bisa terjadi untuk narasinya.
Ia menyebut, pementasan potehi bisa untuk mengisahkan cerita Panji asal Jawa. Begitu pula, potehi bisa untuk mengisahkan sandiwara-sandiwara karya Shakespeare, sastrawan asal Inggris tersebut.
Terancam hilang
Potehi sebagai salah satu karya seni terancam musnah. Menurut Gregory, justru itulah momentum untuk membuat kreasi baru, seperti untuk memainkan kisah-kisah yang baru.
Selama ini potehi mengisahkan cerita klasik China, seperti kisah Si Kera Sakti Sun Go Kong, Sam Pek Eng Tay, Sie Jin Kwie, atau Pendekar Gunung Liang Siang. Gregory menyebutkan, kisah baru untuk potehi bisa diambil dari cerita Panji, sandiwara karya Shakespeare, atau cerita-cerita dari budaya mana pun.
”Ini tantangan bagi para dalang potehi sekarang. Permintaan seperti itu sudah datang, seperti beberapa waktu lalu kami mementaskan kisah kelahiran Yesus dengan potehi,” kata Toni.
Ketika menampilkan potehi di Padang, Sumatera Barat, Toni pernah diminta untuk mencoba menampilkan kisah Malin Kundang dengan potehi. Di Solo, Jawa Tengah, permintaan untuk menampilkan riwayat Geger Pecinan di Solo dengan potehi juga mengemuka.
”Kami sudah mencoba adegan-adegan dengan potehi pada kisah Malin Kundang atau Geger Pecinan di Solo. Namun, masih banyak penyesuaian antara musik pengiring dan adegan-adegannya yang tidak mudah sehingga kisah-kisah itu belum pernah kami pentaskan,” ujar Toni.
Toni merupakan cucu dari seorang dalang potehi asal China, Tok Su Khwei. Ia didatangkan ke Gudo di era akhir pemerintahan Hindia Belanda untuk menjadi teknisi pabrik gula. Tok Su Khwei kerap mendalang potehi di perayaan Imlek waktu itu.
Tok Su Khwei meninggal tahun 1937 dan mewariskan kemampuan mendalang potehi kepada anaknya, Tok Hong Kie. Tok Hong Kie mendalang potehi di masa-masa transisi pemerintahan dari Hindia Belanda ke Jepang, beralih ke Pemerintah Republik Indonesia.
Pasca-kemerdekaan itu, Tok Hong Kie pun mengalami masa transisi dari masa Orde Lama ke Orde Baru dalam pergolakan politik tahun 1965. Peralihan berdampak pelarangan penampilan seni tradisi China di muka umum.
Potehi seperti mati suri hingga pelarangan itu kemudian dicabut Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001). Pada masa pelarangan pemerintah Orde Baru, Tok Hong Kie masih sering menampilkan potehi di Gudo sampai ia meninggal pada tahun 1982.
Toni Harsono, anak Tok Hong Kie, meneruskan pelestarian potehi di Gudo. Hingga malam itu, koleksi boneka-boneka potehinya dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta sampai 12 Mei 2018.
Pesan moral
Selain memiliki kekhasan estetika musik China, potehi juga kuat dalam menampilkan pesan moral kekinian. Dalang potehi Sutarto asal Surabaya pada malam pembukaan pameran tersebut mementaskan adegan singkat yang sarat pesan moral.
”Tokoh Lie Kwie, anak pembesar kerajaan, merampas gadis cantik Lie Say Hwa, calon istri Kwie Tju Gie. Pesan moralnya, anak orang kaya atau pejabat itu karena kekayaan atau kekuasaannya sering bertindak sewenang-wenang atau semau-maunya sendiri,” ujar Sutarto.
Adegan potehi dibuka dengan sebuah lagu berbahasa Mandarin. Kemudian muncul tokoh Lie Kwie. Lie Kwie menuturkan kesukaannya berjalan ke luar kampung, masuk kampung lain, hanya untuk mencari gadis cantik.
Lie Kwie mengumpulkan beberapa tukang pukulnya untuk mengiringi kepergiannya itu. Hingga di suatu kampung bertemulah Lie Kwie dengan Lie Say Hwa.
Dengan mengandalkan para tulang pukulnya itu, Lie Kwie menculik Lie Say Hwa. Perbuatan itu pun diketahui Kwie Tju Gie. Terjadilah pertarungan Kwie Tju Gie dengan para penculik calon istrinya itu.
Kwie Tju Gie mampu mengalahkan mereka. Hingga Lie Kwie turun tangan sendiri ingin mengalahkan Kwie Tju Gie. Dalam pertarungan di antara mereka, Lie Kwie terjatuh dan kepalanya terantuk benda keras, hingga tewaslah dia.
Sutarto menuturkan jalinan kisah itu dengan bahasa Indonesia yang terasa mudah dimengerti. Seperti disentil Gregory, potehi masih memiliki daya tariknya. Namun, butuh pengembangan dengan narasi-narasi lain yang dirasakan akan lebih menggugah.
”Mungkin saja potehi nanti berkembang dengan narasi-narasi asli dari China dan narasi-narasi baru yang bisa diambilkan dari mana saja,” ungkap Toni.
Direktur Program Bentara Budaya Frans Sartono menyebutkan, Toni merupakan salah satu dari tujuh penerima Penghargaan 35 Tahun Bentara Budaya dengan kategori aktif merawat kebudayaan, menghidupkan kesenian. Penghargaan diberikan pada 26 September 2017.
Toni kini memiliki harapan potehi terus berkembang dengan mempertahankan narasi-narasi asli, bahkan mampu menampilkan narasi-narasi baru, mulai dari kisah Malin Kundang, Cerita Panji, hingga sandiwara-sandiwara karya Shakespeare.
Harapan Toni seperti tertuang dalam tema pameran kali ini, ”Waktu Hidupkan Kembali Potehi”. Waktu, diiringi usaha yang keras dan konsisten, tentu akan menghidupkan kembali potehi.