Pencerahan Daur Ulang
ARTJOG semakin menegaskan diri sebagai perayaan pasar seni rupa yang menghadirkan inovasi dan kesegaran. Tahun ini, sejumlah seniman merespons tema ”Pencerahan” dengan beragam subyek menarik, dari benda rajutan, koin emas, mi instan, hingga foto-foto swafoto pusar. Namun, beberapa perupa lain tampak hanya mendaur ulang karya sebelumnya.
Saat pembukaan ARTJOG 2018, Jumat (4/5/2018) malam, ribuan pengunjung tiba-tiba dikejutkan dengan permainan cahaya yang muncul pada bangunan besar berbentuk berlian yang ada di halaman
Jogja National Museum, Yogyakarta. Seusai cahaya yang menyelubungi bangunan itu hilang, pemandangan indah pun terhampar: ribuan ikan berwarna oranye tampak mengambang di dalam bangunan tersebut. Di bawah ikan-ikan itu, terumbu karang dengan warna-warna mencolok hadir memanjakan mata.
Seketika itu juga, bangunan berbentuk berlian tersebut menjelma menjadi sebuah akuarium raksasa yang menampung aneka keindahan bawah laut. Inilah instalasi karya seniman asal Bandung, Mulyana, yang diberi judul ”Sea Remembers”. Karya ini terdiri atas ribuan makhluk bawah laut yang semuanya dibuat dari rajutan tangan.
Sebagai commission artist ARTJOG 2018, Mulyana memang ditantang untuk menghadirkan karya gigantis yang menjadi ikon sekaligus mengubah lanskap tempat pameran. Melihat ”Sea Remembers” yang begitu megah dan indah, Mulyana tampaknya berhasil menjawab tantangan tersebut.
Karena itu, ”Sea Remembers” bisa dipastikan akan menarik mata para pengunjung selama penyelenggaraan ARTJOG 2018, 4 Mei-4 Juni 2018. Pameran yang bertema ”Pencerahan: Menuju Berbagai Masa Depan” itu juga menampilkan banyak karya menarik lain karena ada 54 seniman dari sejumlah negara yang berpartisipasi.
Hari raya
Dalam dunia seni rupa Indonesia, ARTJOG memiliki posisi yang unik. Perhelatan yang diselenggarakan sejak 2008 dengan nama Jogja Art Fair itu merupakan pasar seni rupa atau art fair dengan konsep berbeda. Jika pasar seni rupa umumnya mengundang galeri seni sebagai penjual karya, ARTJOG langsung mengundang perupa dan ”memangkas” peran galeri.
Sejak beberapa tahun terakhir, ARTJOG bisa dibilang telah menjadi perhelatan seni rupa terbesar di Indonesia karena mengundang antusiasme luar biasa dari para penikmat seni. Bahkan, momen pembukaan ARTJOG kerap disebut sebagai ”Hari Raya Seni Rupa Indonesia”.
Selain itu, selama penyelenggaraan ARTJOG, berbagai galeri dan kelompok seni di Yogyakarta juga berlomba-lomba menggelar acara dengan harapan para penikmat seni yang datang ke
ARTJOG juga akan datang ke acara mereka. Tak heran, selama Mei-Juni ini, ada ratusan acara seni yang digelar di Yogyakarta dan sekitarnya.
Kurator ARTJOG 2018, Bambang ”Toko” Witjaksono, mengatakan, tema ”Pencerahan: Menuju Berbagai Masa Depan” bisa dimaknai secara luas dan luwes. Karena itu, tema tersebut juga bisa mencakup berbagai pengertian dan lapisan. ”Tema itu bisa dimaknai secara personal oleh seniman, tetapi juga bisa dikaitkan dengan berbagai isu, misalnya ekonomi, politik, dan budaya,” ujarnya.
Instalasi ”Sea Remembers” karya Mulyana, misalnya, bisa dimaknai sebagai upaya untuk memberikan pencerahan ihwal dunia bawah laut yang masih kerap dianggap misterius dan menakutkan oleh sebagian orang.
Namun, karya ini juga bisa dianggap sebagai ”pencerahan” dalam dunia seni rupa. Sebab, melalui karya itu, Mulyana menunjukkan bahwa teknik rajutan—yang merupakan bagian dari seni kriya yang kerap terpinggirkan dalam dunia seni rupa kontemporer—ternyata bisa diberdayakan menghasilkan karya seni rupa yang luar biasa.
Sementara itu, Uji ”Hahan” Handoko berupaya menyajikan ”pencerahan” melalui koin emas. Pada dinding di salah satu ruang pameran ARTJOG 2018, Hahan memajang dua koin emas raksasa yang sama persis secara visual. Namun, keduanya sebenarnya dibuat dengan teknik dan medium yang sangat berlainan.
Koin pertama adalah sebuah lukisan dengan diameter 180 sentimeter yang dibuat menggunakan akrilik di atas kanvas. Sementara koin kedua merupakan proyeksi dari sebuah koin kecil yang memiliki diameter 3 cm dan berat 28,90 gram. Yang mengejutkan, koin kecil itu ternyata dibuat dari emas murni.
Diberi judul ”Universal Value(s)”, karya Hahan itu menyoal ihwal pembentukan nilai karya seni, terutama dilihat dari material pembentuknya. Dengan menghadirkan dua obyek yang secara visual sama tetapi dibuat dengan material dan teknik yang berbeda, Hahan tampaknya ingin mempertanyakan: obyek manakah yang bakal dihargai lebih mahal oleh penikmat seni?
Moralitas
Perupa Mella Jaarsma berupaya mengaitkan tema ”Pencerahan” dengan situasi sosial politik Indonesia akhir-akhir ini yang penuh tindakan intoleran dan pemaksaan standar moral tertentu. Lewat karya berjudul ”Binds and Blinds” atau ”Yang Mengikat dan Membutakan”, Mella menampilkan sekitar 650 foto selfie pusar orang-orang dari sejumlah wilayah Indonesia. Foto-foto pusar itu dikirimkan secara anonim ke Mella setelah ia membuat pengumuman terbuka di media sosial.
Saat melihat foto-foto pusar itu, kita mungkin tergoda untuk menilai dan mengomentari pusar-pusar orang lain tersebut. Namun, melalui karya itu, Mella mungkin justru hendak mengajak kita untuk tidak terlalu fokus pada pusar orang lain, tetapi lebih banyak menatap pusar kita sendiri.
Di sisi lain, Arin Dwihartanto Sunaryo memaknai tema ”Pencerahan” dengan mengeksplorasi material yang tak biasa. Dalam karya berjudul ”Feast” itu, Arin menampilkan ”lukisan abstrak” yang ia gambar dengan campuran mi instan, kopi, cokelat, gula, susu, dan aneka bahan makanan atau minuman lain. Semua bahan itu kemudian ia campur dengan cairan resin, lalu digunakan sebagai ”cat minyak” untuk melukis.
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, partisipan ARTJOG 2018 dipilih dengan dua cara, yakni melalui undangan dan seleksi terbuka. Dari 54 seniman partisipan ARTJOG 2018, hanya 12 orang yang berasal dari seleksi terbuka, sementara sisanya merupakan seniman yang diundang secara khusus oleh ARTJOG. ”Ada sekitar 900 seniman yang mendaftar, tapi yang lolos hanya 12 orang. Tahun ini, kami memang melakukan seleksi lebih ketat,” ujar Bambang ”Toko”.
Sayangnya, beberapa seniman yang diundang secara khusus justru menampilkan karya yang minim kebaruan dan cenderung ”mendaur ulang” praktik berkarya yang mereka jalani selama ini. Akibatnya, dari segi visual ataupun gagasan, karya sejumlah perupa itu tak lagi menampilkan kesegaran.