Multipolar, Jejak Perupa Pascareformasi
Sebuah kursi dengan satu kaki terpotong. Di sampingnya terpampang foto memperlihatkan kepala seseorang di bawah kaki kursi, menggantikan bagian kaki yang terpotong. Fajar Kunting (36), seniman asal Yogyakarta, menyajikan karya seni instalasi ini dalam pameran dua tahunan di Galeri Nasional Indonesia, Manifesto 6.0: Multipolar, Seni Rupa 20 Tahun Setelah Reformasi.
”Karya itu mengesankan, setiap perebutan kursi kekuasaan selalu memakan korban. Korban untuk menopang kursi kekuasaan,” ujar Bayu Genia Krishbie, salah satu kurator pameran tersebut, Rabu (9/5/2018).
Bayu menunjukkan karya Fajar yang berjudul ”Sit-Seat-Shit” (2018) itu. Selain memajang kursi dengan tiga kaki yang utuh itu, Fajar juga membuat rekaman video sedang berjalan kaki mengusung kursi tersebut.
Di samping kursi ada sebongkah batu kali. Kemudian di dinding ada foto yang memperlihatkan kepala tergencet kaki kursi. Selain itu juga terdapat beberapa gambar berwarna memperlihatkan hal serupa.
Fajar menafsir reformasi 20 tahun lalu, atau yang terjadi pada 1998, itu tak ubahnya situasi perebutan kursi atau tampuk kekuasaan. Merebut atau mempertahankan kursi kekuasaan selalu menimbulkan korban.
”Ini menjadi peringatan penting untuk kita, setiap kali dihadapkan pada peralihan kekuasaan politik melalui pemilu,” ujar Bayu.
Masih di gedung yang sama, Gedung D Galeri Nasional Indonesia (GNI), mural The Popo menyuarakan politik satire serupa melalui mural di dinding. Pada mural itu ada figur di balik tulisan ”Bilik Politik”. Figur itu mengatakan, ”Oh..., gini toh... kalian.”
Politik semestinya memuliakan kehidupan. Baik Fajar maupun Popo mewakili generasi di bawah usia 40 tahun yang merepresentasikan kehidupan politik pascareformasi 1998.
Kepala GNI Pustanto mengatakan, Manifesto 6.0 diikuti 61 perupa. Sebagian besar menampilkan satu karya yang ditempatkan di Gedung A, B, dan D. Pameran seni rupa kontemporer Manifesto menjadi agenda rutin dua tahunan GNI sejak 2008. ”Pameran ini sebagai upaya pewacanaan dan pemetaan perkembangan seni rupa,” ujar Pustanto.
Fajar Kunting dan Popo memberi ilustrasi dunia pewacanaan kehidupan politik kita. Namun, masih menjadi pertanyaan, sejauh mana karya seni rupa itu memengaruhi kehidupan nyata. Di depan mata kita terpampang agenda politik 2018 berupa pemilihan umum kepala daerah serentak. Tahun 2019 nanti, hajatan politik pemilihan umum presiden digelar.
Melalui karya Fajar Kunting, ”Sit-Seat-Shit”, terbayang kekhawatiran kita tentang selalu adanya korban dari sebuah hajatan politik yang tak lebih dari perebutan kursi kekuasaan itu.
Praktik seni
Sudjud Dartanto, kurator pameran Manifesto 6.0 lainnya, mengatakan, sebanyak 61 perupa memiliki praktik seni yang multipolar. Multipolar dapat diartikan sebagai ragam kutub.
”Ini pembacaan praktik seni dari generasi yang terlahir di sekitar tahun 1980-an dan hidup ketika reformasi 1998 berlangsung,” kata Sudjud.
Peristiwa reformasi 1998 merupakan momentum pilihan untuk menentukan arah masa depan bangsa. Peristiwa itu pun memunculkan suatu pengalaman estetis baru. Seperti peristiwa politik tahun 1965, memunculkan pemikiran baru dan praktik seni yang berbeda. Begitu pula, pascareformasi 1998 memunculkan pemikiran-pemikiran baru dan praktik seni baru.
Kurator lain pada pameran ini adalah Citra Smara Dewi dan Teguh Margono. Tim kurator memutuskan tidak membuat tesis atau hipotesis atas pemikiran baru dan praktik seni baru pascareformasi 1998.
Para kurator itu hanya merumuskan, praktik seni pascareformasi 1998 yang bersifat multipolar ini lahir dari berbagai narasi. Inilah yang memunculkan ragam keunikan pengalaman, tidak hanya terhubung dengan perubahan sosial budaya. Akan tetapi, dunia seni rupa dalam dua dekade terakhir cukup menonjolkan perubahan lingkungan media dan teknologinya.
Bayu Genia menuturkan, karya 61 perupa dengan multipolar itu kemudian dibagi menjadi enam kluster. Kluster-kluster itu meliputi spiritualitas, keseharian dan kultur populer, kritik seni, sejarah, sosial politik, serta seni media dan teknologi.
Perupa Made Wiguna Valasara menghadirkan karya seni rupa dengan teknologi embos, teknik menampilkan atau menenggelamkan tekstur. Karyanya diberi judul ”Interpreting Caravaggio”, 200 sentimeter x 260 sentimeter.
Anyaman video
Karya yang disebut sebagai anyaman video ditampilkan perupa Patriot Mukmin. Dua figur dalam video ditumpuk dalam satu layar. Karya itu diberi judul ”Titik Silang Kuasa”.
Adapun I Wayan Upadana menampilkan sebuah layar video kecil di tubuh patungnya. Karya itu diberi judul ”Process #1”. Patungnya berbentuk seorang laki-laki duduk bersila mengambil sikap beryoga.
Dimensi keseharian dihadirkan perupa Farid Stevy Asta dalam karyanya yang diberi judul ”Hore” (2017). Pada sebuah papan hitam, Farid menampilkan deretan tulisan ”Pay the Bill” yang diawali dengan tulisan ”Born” dan diakhiri tulisan ”Die” dan ”Hore!”.
Sebuah senapan berdawai gitar ada di ruang yang berisikan daster-daster putih. Inilah karya perupa Rudy Atjeh D dengan judul karya ”Jauh di Hati Dekat di Mata” (2017). Rudy mengubah bentuk gitar elektriknya mirip sebuah senapan. Ada sensor suaranya sehingga senapan itu tak ubahnya sebagai gitar elektrik.
Sebagian besar lainnya mengambil bentuk rupa karya lukisan. Namun, keragaman narasi dan temanya mengandung keunikan tersendiri.
Perupa Prihatmoko Moki membuat gambar dengan teknik cetak saring yang diberi judul ”Soekarno Kehilangan Lukisan” (2016). Adapun Perupa Desrat Fianda menampilkan karya ”Malin Kundang Story-The Meeting #2” (2017). Sementara ”Union of Hearts” (2018) ditampilkan Miranti Minggar (2018). Karya ini berupa gambar seorang ibu membopong bayi dan seekor kambingnya.
Pameran Manifesto 6.0 memang memiliki keragaman narasi dan teknik penyajian. Seperti dinyatakan tim kurator pameran ini, keberagaman karya seni rupa dalam Manifesto 6.0 yang multipolar itu tidak dapat dikerucutkan untuk melahirkan tesis atau hipotesis baru.
Inilah jejak rupa pascareformasi 1998. Jejak keberagaman.