Merekam Kemanusiaan
Seorang tentara memegang senjata api laras panjang. Di depannya puluhan warga meneriakkan protes mereka karena tanah mereka diambil. Drrrrttt… drrrtttt... suara senjata memberondong. Layar film tiba-tiba bergoyang tak karuan, warga dan si pemegang kamera berlarian.
Begitulah awal film dokumenter A Cambodian Spring karya sutradara asal Irlandia, Christopher Kelly. Film ini diputar di GoetheHaus, Menteng, Jakarta, dalam acara Festival Film Eropa Ke-18 atau Europe on Screen 2018.
Festival tahunan ini berlangsung pada 3-12 Mei 2018. Terdapat 93 film dengan berbagai genre diputar di Jakarta, Medan, Denpasar, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta dalam rangkaian festival ini.
Beberapa film yang ditampilkan tak jarang merekam kontroversi seperti potongan adegan di awal tadi. Tayangan video penembakan itu diambil menggunakan kamera telepon sederhana milik Luon Sovath seorang biksu dari Phnom Penh, Kamboja, pada 2009.
Sovath dikenal sebagai aktivis video. Ia merekam banyak peristiwa tentang kekejaman militer, pemerintahan yang korup, demonstrasi, dan perjuangan warga merebut haknya. Peristiwa penembakan warga yang dilakukan aparat itu terjadi di sebuah desa sekitar 10 kilometer dari Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Di desa itu kebun dan rumah warga digusur paksa. Puluhan orang ditembaki, beberapa tewas dan beberapa lagi luka berat.
Tak pernah ada pengadilan terhadap si penembak. Justru warga ditangkapi karena dianggap menyerang petugas.
Sovath datang ke desa itu dan membuat simulasi persidangan bersama warga. Simulasi itu penting agar warga yang menjadi saksi atas kawan mereka tidak gugup atau diintimidasi.
Beberapa rekaman video tentang penembakan itu juga diviralkan dan dikirim Sovath sampai ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2010. Sidang berjalan lancar, puluhan warga yang ditahan dibebaskan.
Prestasi itu membuat nama Sovath melejit. Kemudian ia bertemu Tep Vany dan Toul Srey Pov. Dua perempuan aktivis sekaligus ibu rumah tangga asal Boeung Kak, sebuah daerah di pinggir danau di Phnom Penh.
Vany dan Toul sama-sama berjuang karena permukiman mereka terancam digusur karena kebijakan pemerintah yang bekerja sama dengan pabrik di sekitar situ.
Aparat datang dan mengusir mereka secara paksa. Mereka diminta pindah tanpa ada relokasi. Warga yang bertahan dipukuli, rumah-rumah dihancurkan menggunakan alat berat, akibatnya satu orang menderita luka berat karena pentungan polisi.
Aksi itu semakin runyam. Sebanyak 15 perempuan, termasuk Tep Vany dan Toul, ditangkap dan dipenjara dengan alasan membuat keributan.
Kehadiran Sovath memicu api semangat warga. Namun, sayang, Sovath dihadang oleh biksu lainnya yang diduga diminta oleh Perdana Menteri Hun Sen. Mereka disebut biksu polisi.
”Undang-undang melarang seorang biksu untuk memimpin warga melakukan protes. Kamu sudah membuat agama Buddha tercoreng dengan aksimu,” kata seorang biksu.
”Yang bisa melarang saya hanya Buddha. Saudaraku, mengapa kamu menghalangi, toh aku hanya merekam saja, aku tidak melanggar aturan mana pun,” ujar Sovath. Ia akhirnya diusir dari pagoda, tempat ia tinggal dan berdoa selama hidupnya. Ia sempat diasingkan ke Paris, Perancis, sebelum kembali ke Kamboja untuk membantu warga membebaskan 15 tahanan tadi.
Peristiwa seperti itu digambarkan secara alami oleh Christopher Kelly. Dengan jujur ia menggambarkan situasi politik di sana. Bagaimana partai oposisi berbalik arah dan mendukung pemerintahan otoriter.
Imigran Suriah
Dari Kamboja, penonton dibawa terbang ke pengungsian warga Suriah di Majnal Anjar, Lebanon, sekitar 426 kilometer dari Raqqa, Suriah. Negara yang selama ini menjadi pembicaraan dan perebutan kepentingan politik banyak negara adi daya.
Di sinilah film The Long Season dibuat. Film dokumenter ini dibuat oleh sutradara berdarah Indonesia-Belanda Leonard Retel Helmrich.
Film ini berkisah secara natural tentang keseharian di pengungsian. Rutinitas mereka, seperti menunggu bantuan makanan, air bersih, atau sekadar menanti kabar dari sanak keluarga mereka di Raqqa.
”Bagaimana kabar putra-putraku?” tanya seorang nenek tua kepada salah satu anggota staf LSM yang datang membawa makanan dan surat-surat dari Raqqa.
”Tidak terlalu bagus,” kata petugas itu.
”Bagaimana kondisi di Raqqa?” tanya nenek itu masih penasaran.
”Pasukan ISIS di mana-mana, bom di semua sudut kota, pesawat tempur tak berhenti terbang di udara dan menjatuhkan bom,” ujarnya dengan nada kesal.
”Jadi, hari ini aku tidak mendapatkan kabar atau pun salam, ya,” kata nenek itu sambil pergi.
Setelah itu si nenek kembali pulang ke rumah yang mereka buat sendiri dari terpal atau jahitan karung gula. Anak-anak putus sekolah, pengangguran bertambah, para imigran ini hanya makan dan tidur.
Sekolah pun dibuat. Sebagian besar gurunya juga berasal dari Suriah dan juga sesama pengungsi. Di tempat itulah anak-anak pengungsi bisa tersenyum dan bermain tanpa harus takut terkena bom.
Di akhir film sekolah ditutup karena dua gurunya, Maria dan Alali, harus pindah tempat pengungsian. Tak ada lagi yang megajar.
Film beralur maju ini pindah ke cerita lainnya. Kali ini tentang Zahra, seorang perempuan dari Raqqa yang baru saja bergabung di komunitas pengungsi itu. Ia bergabung karena dinikahi lelaki tua yang memiliki satu istri dan tujuh anak.
Setahun ia tinggal di tenda pengungsian, ia sedikit menyesal. Masalah demi masalah datang. Ia tidak disukai oleh istri tua dan anak-anak suami barunya.
”Pindah dari Raqqa ke sini seperti pindah dari neraka yang satu ke neraka yang lain,” kata Zahra pada diri sendiri.
Berbeda dari film sebelumnya, The Long Season tidak menggambarkan kebrutalan, meski sebenarnya masalah di Suriah memang lebih kompleks dibandingkan di Kamboja.
Di film ini, sang sutradara benar-benar menggambarkan rutinitas kehidupan para pengungsi yang rindu kampung halaman.
Korban politik
Kedua film dokumenter ini sama-sama menggambarkan situasi geopolitik di negara tempat film ini dibuat. Dampak dari kebijakan politik yang serakah dan penderitaan masyarakat.
Kedua film ini kemudian mendapat banyak penghargaan. Seperti film A Cambodian Spring yang mendapatkan penghargaan film dokumenter terbaik di Brooklyn International Film Festival 2017, penghargaan International Documentary Special Jury fi Hot Doc, dan penghargaan film dokumenter terbaik pada Canadian International Documentary Festival 2017.
Adapun The Long Season mendapatkan penghargaan Sound and Vision Award for Dutch Documentary, penghargaan di International Documentary Film Fest (IDFA) 2017, dan Nominated Amnesty International Award for Thessaloniki Film Festival.
Di Eropa film-film seperti ini diminati banyak orang dan menjadi referensi banyak peneliti, bahkan penulis buku. Film dokumenter memang secara gamblang menggambarkan situasi apa pun.
Seperti dua film di atas. Jelas bahwa demokrasi, sekali lagi, masih menjadi mimpi yang belum bisa jadi kenyataan.