Solo 1998 dalam Bingkai Pengingat
Karya foto jurnalistik merupakan cermin pembeku ruang dan waktu untuk melawan ingatan yang efemeral. Keberadaannya kerap menjadi pengingat agar lembaran kelam sejarah pada suatu masa tidak terulang lagi di masa depan.
Misi ”mesin waktu” untuk membuka kembali penggalan sejarah pahit yang dialami bangsa ini dituangkan salah satunya melalui pameran foto Refleksi Peristiwa Mei 1998 yang menampilkan karya pewarta foto Sunaryo Haryo Bayu (52). Pameran tersebut menampilkan lebih dari 80 foto hasil rekaman jurnalis harian Solopos yang mengabadikan bagaimana Kota Solo, Jawa Tengah, turut porak poranda terkena dampak tsunami politik negeri ini pada 14-15 Mei 1998 lampau.
Pameran itu berlangsung hingga 18 Mei 2018. Penyelenggaraan pameran sengaja menggunakan momen peringatan 20 tahun peristiwa tersebut demi memperkuat dampak kepada publik yang menyaksikannya.
Foto yang dicetak dalam bingkai warna hitam dengan lis warna putih dipasang rapi berjajar di dalam Gedung Monumen Pers Nasional di jantung Kota Solo. Pemasangannya dibuat berurut berlawanan arah jarum jam berdasarkan peristiwanya. Perjalanan napak tilas fotografi itu dimulai dari imaji yang menggambarkan luapan kegembiraan mahasiswa ketika merayakan lengsernya Presiden Soeharto dari jabatannya.
Deretan foto itu diletakkan di belakang batu prasasti peresmian Monumen Pers Nasional yang pada bagian bawahnya tertulis tanggal 9 Februari 1978 dan dibubuhi tanda tangan presiden ke-2 RI Soeharto. Kini, 40 tahun sesudah penandatanganan prasasti tersebut, ditampilkan foto pembuka pameran yang menggambarkan sejumlah mahasiswa yang berbaris sejajar sambil menari dengan bergandengan tangan merayakan lengsernya sosok yang tanda tangannya diabadikan di titik utama gedung itu.
Foto pada deretan itu selanjutnya menggambarkan dinamika para aktivis dan warga Solo yang turun ke jalan untuk menyerukan perubahan bagi negeri. Pada ujung deretan itu mulai muncul suasana khaos yang menyulut munculnya peristiwa pembakaran serta huru-hara yang mencoreng wajah kota itu.
Foto pertokoan yang sengaja dibakar massa, bangkai mobil bergelimpangan, serta aktivitas polisi yang berupaya mengevakuasi jenazah dari puing bangunan toko membuat siapa pun yang melihatnya akan terkesiap.
”Foto-foto ini saya tampilkan sebagai upaya refleksi agar orang tetap teringat dan tidak terulang lagi. Sebagian masyarakat tentu saat ini sudah lupa pada peristiwa tersebut. Anak-anak muda pun tentu banyak yang tidak tahu,” tutur Sunaryo sembari jari telunjuknya menunjuk ke sejumlah pelajar yang tengah melihat karyanya, Kamis (10/5/2018).
Kamera analog
Imaji karya pewarta foto senior yang akrab dipanggil Yoyok pada pameran itu ditampilkan dalam cetakan berwarna dan hitam putih. Sejumlah foto yang dicetak berwarna menampilkan penurunan kualitas warna. Hal tersebut dapat dimaklumi karena semua gambar tersebut masih direkam menggunakan kamera analog dengan media penyimpanan berupa film.
Setiap hari, Yoyok turun ke jalan mengabadikan berbagai momen dengan berbekal dua rol film warna dan dua rol film hitam putih. Proses pencucian film ia lakukan sendiri di kantornya di Jalan Slamet Riyadi karena toko langganannya tutup selama pertengahan Mei 1998 untuk menghindari amukan massa.
Pria berperawakan sedang yang kala itu baru satu tahun menjadi pewarta foto di Solopos itu membekali dirinya dengan kamera Canon tipe EOS 1 dan lensa merek Tamron ukuran 28-200 milimeter. Meski lensa dengan rentang ukuran sepanjang itu relatif kurang bagus dalam menghasilkan citra, penggunaan lensa itu tepat karena dalam situasi huru-hara pewarta foto dapat mengambil foto pada jarak dekat ataupun jauh cukup dengan satu lensa. Hal ini penting agar momen yang terlintas tidak terlewatkan tatkala sibuk mengganti lensa untuk memperoleh bingkai yang tepat.
Pada hari pertama huru-hara Yoyok mencari peristiwa dengan berjalan kaki, sedangkan pada hari kedua ia sempat menumpang kendaraan tempur panser milik tentara. Alasannya, waktu itu bensin untuk bahan bakar sepeda motornya tidak ditemui di satu penjual pun.
”Situasi Solo benar-benar liar tanpa hukum yang berlaku sedikit pun. Keadaan khaos itu membuat saya terbayang-bayang film Mad Max selama melakukan liputan,” kata Yoyok mengenang. Film keluaran tahun 1979 yang dibintangi aktor Mel Gibson tersebut didominasi gambar mobil bergelimpangan dan terbakar seperti yang direkam melalui kamera Yoyok.
Puluhan kendaraan yang sengaja dirusak dipotret oleh pria yang saat kejadian itu masih berumur 31 tahun dan baru saja memiliki seorang anak perempuan berumur satu bulan. Sedikitnya tiga bingkai foto yang dipamerkan menampilkan gambar dari berbagai sudut dengan obyek sebuah sedan Volvo tipe 960 yang dimiringkan dan dibakar di Jalan Veteran.
Foto lain yang tampak menarik adalah gambar seorang pria tua yang menaiki sepeda ontel lewat di sebelah mobil sedan yang telah terbakar habis dalam posisi terbalik dengan keempat rodanya di atas. Bangkai mobil tersebut seakan kontras dengan latar belakang foto yang menampilkan bangunan dealer mobil dengan tulisan ”Paramon Mobil” berukuran besar dan tulisan ”Jual Beli Mobil Bekas dan Baru” di bawahnya.
Foto yang ditampilkan Yoyok tidak melulu soal aksi barbar kala itu. Sejumlah foto menampilkan sisi humanis, seperti manakala karyawan perusahaan Batik Keris bersatu padu menjaga tempat kerja mereka sambil membentangkan spanduk untuk memohon perlindungan agar tidak turut menjadi korban aksi pembakaran.
Meski sebagian besar pengambilan gambar dilakukan dengan posisi sejajar dengan mata manusia (eye level) dan terkesan sedikit monoton, foto-foto karya Yoyok mampu menampilkan daya kejut di tengah suasana Solo yang tengah aman dan damai serta semakin indah saat ini.
”Melihat foto-foto ini memang membangkitkan kenangan lama. Semoga Solo tidak seperti dulu yang mudah terprovokasi,” kata Ichwan Prihantoro (42) seusai melihat foto yang dipajang.
Pada Mei 1998, Ichwan turut turun ke jalan dari kampusnya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, namun hanya sedikit sekali berkesempatan memotret peristiwa tersebut. Celakanya, film negatif yang ia hasilkan selama peristiwa itu turut hanyut bersama banjir Sungai Bengawan Solo tahun 2007.
Beruntung Solo masih memiliki sejumlah dokumen fotografi penting dari peristiwa Mei 1998 seperti yang dihasilkan melalui jepretan kamera Yoyok. Meski kerap harus menyabung nyawa dan dalam sehari ditodong senjata hingga lima kali ketika memotret peristiwa penting itu, setidaknya foto-foto karyanya dapat menjadi pengingat bagi masyarakat masa kini agar tidak mengulangi peristiwa pedih seperti pada tahun 1998 tersebut.