Kuasa Leluhur dalam Ukiran Asmat
Sebatang kayu mungkin tak lebih dari sebuah benda mati teronggok di semak belukar. Namun, bagi orang Asmat di Tanah Papua, kayu yang diukir menjadi lambang kehadiran para leluhur. Tergoreslah di sana citra kehidupan bersimbol daging, darah, dan tulang.
Jalinan dan wujud hormat kepada leluhur begitu lekat dalam kehidupan orang Asmat. Kuasa leluhur berperan dalam keseharian. Kuasa itu juga melingkupi kosmologi masyarakat.
Hubungan itulah yang diekspresikan lewat pameran seni ukir Asmat bertajuk Asmat Melihat Dunia yang digelar 6 Mei hingga 8 Juni 2018. Lebih dari 400 hasil karya kayu berukir dari pedalaman Agats, Papua, diboyong para senimannya ke Galeri Han Awal di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan.
Setiap kayu berukir itu punya nama dan ternyata tak sekadar nama. Kayu-kayu itu jadi simbol leluhur. ”Kayu ukir ini merupakan wujud leluhur dan kerabat yang dihormati,” kata antropolog asal Papua, Mitu M Prie.
Setiap kayu berukir ternyata juga memiliki kisah. Misalnya saja, yang berpahat patung-patung manusia yang saling bertopangan. Sosok patung paling bawah menopang yang di atasnya. Begitu seterusnya Ada yang sampai tujuh, delapan, atau mungkin belasan tingkatan tingginya. Jumlah itu menggambarkan banyaknya generasi yang hadir dalam kehidupan di keluarga besar.
Semakin tinggi patung itu berdiri di antara patung di bawahnya, semakin tua usianya. Ialah nenek moyang yang wajib dihormati generasi mudanya. Terwujudlah bentuk hormat kepada orangtua dan leluhur.
Sosok manusia Asmat yang tergambar dalam patung berukir disebut juga Bisj. Itu merupakan simbol dari para leluhur atau kerabat yang memiliki pengaruh besar semasa hidupnya. Bentuk penghormatan kepada mereka sering kali diwujudkan dengan upacara ritual ketika patung-patung ini disucikan lewat pesta yang disebut Bispokombi. Seusai ritual, patung biasanya akan diletakkan di depan kampung dan sekitar hutan. Bisa juga di antara pepohonan sagu. Patung yang diletakkan di bawah pohon sagu menjadi perlambang kesuburan.
Berpadu kekinian
Pada galeri berlantai empat itu, ukiran Asmat pun coba ditempatkan pada ruangnya yang semestinya. Dari barak ukiran manusia, turun ke bawah, akan didapati beragam ukiran berbentuk rumah. Berbarislah miniatur-miniatur rumah orang Asmat. Para seniman seolah betul-betul ingin menunjukkan kehidupan mereka di tanah aslinya kepada dunia.
Turun tangga sedikit, ada area kolam yang menjadi tempat perahu-perahu berukir lengkap dengan sejumlah warga yang tengah mendayung. Mereka biasanya membawa anjing untuk berburu ataupun mengambil sagu ke hutan. Digambarkan di sana kepala suku yang tengah memimpin sebuah perjalanan ke tengah hutan sagu. Perjalanan tampak jauh melintasi sungai nan panjang dan dipenuhi buaya. Namun, liarnya alam bukanlah persoalan. Sebab, daging buaya dan ikan dapat menjadi santapan mereka untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
Hasil perbauran
Satu tangga di atas Bisj tampaklah ukiran dari hasil perbauran orang Asmat dengan dunia luar. Hasil karya ukiran berpadu dengan sentuhan modernisasi, misalnya saja kap lampu kamar dipadu dengan tonggak kayu ukir. Karya seni modern itu menjadi tampak eksotis. Namun, di sinilah tampak jelas bagaimana Asmat melihat dunia.
Seolah mereka tak ingin menutup diri atas perubahan yang terjadi. Daya adaptasi dibangun selenting mungkin. Maka, tidak aneh jika sebuah kap lampu modern berpadu dengan tiang kayu berukir khas Asmat. Malahan, wujudnya modern sekaligus tampak eksotis. Unik bukan?
Pada bagian paling atas galeri tampaklah ruang pamer terbuka. Kayu berukir di letakkan di bawah pohon-pohon. Situasi itu menggambarkan representasi leluhur dan hutan Asmat. ”Kehidupan orang Asmat memang tak bisa lepas dari hutan,” katanya. Bagi mereka, hutan bagaikan mal pada orang urban sebab berbagai jenis sumber makanan bisa dijumpai di sana.
Kurator Pameran Asmat Melihat Dunia Robert Suyoto mengatakan, pameran ukiran ini menjadi pintu masuk untuk memanggungkan ukiran Asmat di tanahnya sendiri. Selama ini, ukiran Asmat begitu dikagumi dunia. Bahkan, kerap didapati, ukiran Asmat dipanggungkan di museum-museum di banyak negara. Sebut saja di Jean Nouvel Quai Branly Museum Paris, Museum Amsterdam, dan di Metropolitan Museum of Art New York. Karya-karya itu kerap membangkitkan respons emosional pengunjung yang melihatnya. Seluruh karya itu begitu dihargai. Seolah ada interaksi. Ironisnya, ukiran Asmat seolah tenggelam di tanah airnya sendiri.
Museum Asmat di Kabupaten Asmat yang telah dibangun lama kondisinya terbengkalai sejak lima tahun terakhir. Untuk menyelesaikan pembangunan museum pun tidak mudah. Biayanya yang besar belum mampu diakomodasikan para pemangku kepentingan.
Demi mewujudkan mimpi besar itulah, pameran Asmat Melihat Dunia digelar. ”Ini menjadi pintu masuk demi sebuah panggung yang lebih besar, yakni sebuah museum Asmat di Tanah Asmat,” katanya lagi.
Pameran ukiran Asmat Melihat Dunia merupakan kolaborasi Yayasan Rumah Asuh yang dipimpin arsitek Yori Antar bersama Yayasan Widya Cahaya Nusantara dan YWCAN Youth yang bergerak di bidang pelestarian seni dan budaya. Hasil penjualan seluruh karya akan didonasikan untuk menghidupkan pembangunan museum. Namun, tak seperti hasil pembangunan terdahulu, kompleks itu ke depan akan menjadi museum yang hidup. Dalam kompleks akan dibangun rumah adat orang Asmat, Jew. Di situlah nantinya para pemuda mengekspresikan semangat berseni. Museum takkan lagi menjadi bangunan penyimpan benda-benda mati. Namun, benda-benda itu berinteraksi dengan manusianya dan menyemarakkan kehidupan di alam.