Suara Ibu Pertiwi dari Tembi
”Sun meneng ing sandyakala/ Ngadepi peteng ing manahnyo/ Duh Gusti Kang Maha Asih/ Kulo nyuwun pangapura...”. Aku merenung kala senja. Menghadapi hati gulita. Oh Tuhan ampunilah hamba.
Tembang itu dilantunkan Supriyadi pada Festival Musik Tembi (FMT) 2018 di Tembi Rumah Bu- daya, Sewon, Bantul. Dia duduk bersila menghadap bundengan. Tangan kanannya memetik senar dan tangan kirinya memainkan bilah-bilah bambu layaknya ritme permainan kendang.
Bundengan, dulu adalah kowangan, atau tudung yang digunakan penggembala bebek sebagai pelindung dari panas dan hujan. Tudung ini tersusun dari kerangka bambu. Bentuk kerangka yang menangkup menciptakan ruang lengkung atau rongga, yang dalam bahasa Jawa disebut kowangan. Lengkung tersebut dilapisi clumpring atau pelepah ruas bambu. Clumpring diikatkan pada kerangka menggunakan ijuk sehingga membentuk dinding. Di bawah kowangan itulah penggembala berteduh sambil menggembala bebek. Jika dipasang kayu penyangga pada ujung kowangan, si gembala bisa duduk berteduh dari panas dan hujan.
Tudung itu kemudian juga berfungsi sebagai alat musik. Di antara dinding dalam ruang lengkung dipasang empat atau enam dawai dari senar. Dari dawai ini tercipta bunyi yang bisa dikatakan menyerupai suara gamelan. Rongga atau ruang lengkung itu menjadi semacam resonator. Bunyi atau gaung yang ditimbulkan dari petikan senar itulah yang membuat kowangan tadi disebut bundengan.
Di sisi kiri dinding tadi dipasang tiga bilah sayatan bambu tipis. Dalam permainan bundengan, bilah bambu ini berfungsi sebagai dinamika rhythm. Adapun dawai-dawai berfungsi menjadi bagian struktural yang mengeluarkan bunyi layaknya perangkat gamelan, seperti gong, kempul, kethuk, dan kenong.
Dalam komposisi ”Sun”, misalnya, Supriyadi menembang diiringi bundengan yang polanya mengingatkan pada Larasmadya. Ada kesan suara kemanak dan terbang atau semacam rebana. Pada karya Supriyadi, seluruh instrumen dalam Larasmadyo itu terserap dalam bundengan. Di Wonosobo, bundengan digunakan untuk mengiringi tari lengger. Bundengan pun dipengaruhi oleh pola musik dalam lengger yang biasanya menggunakan kendang, kempul, kenong, saron, dan gong.
Agraris
Bundengan tumbuh di tengah kultur agraris di Wonosobo. Agus Wuryanto, penggiat kesenian dalam diskusi musik di FMT, memaparkan, bundengan berkembang terutama di tiga kecamatan di Kabupaten Wonosobo, yaitu Kalikajar, Kretek, dan Wonomerto. Menurut Agus, di wilayah pertanian dengan tingkat curah hujan tinggi, seperti Wonosobo, tudung seperti kowangan menjadi peranti penting sehari-hari bagi petani, termasuk para pangon atau penggembala bebek.
Sebagai bagian dari hiburan, para petani menggunakan pula bundengan sebagai alat musik. Bundengan digunakan sebagai pengiring tembang dolanan, guyonan (joke), sampai tembang ratapan. Tembang dolanan berbentuk parikan atau pantun, seperti ”Sontoloyo”: Ala Bapak sontoloyo/ Angon bebek ilang loro/ Angon wedhus nang kuburan/ Durung adus wis pupuran. Dua baris terakhir bersajak terjemahannya: Ada kambing di kuburan, belum mandi sudah bedakan.
Tembang ratapan salah satunya ”Gondhang Keli”: Ana tangis layung-layung rama/ Tangise wong wedi mati/ Kuncenana gedhongono/ Wong mati mangsa wurungo. Ada tangisan meraung- raung, tangisan orang takut mati. Diikat atau dikafani, orang mati tidak akan kembali.
Dari masa ke masa, Wonosobo memiliki maestro bundengan, seperti Barnawi. Kini, muncul tokoh bundengan, seperti Munir dan Buchori. Juga Hengky Setiawan yang mengajarkan bundengan kepada kaum muda. Pada era digital, bundengan melintas batas ke luar wilayah agraris. Ia terdengar di Youtube dan berbagai laman internet. Supriyadi dari Klaten, misalnya, mengenal bundengan setelah bertanya kepada ”Mbah Google”. Ia kemudian memilih bundengan sebagai mayor atau alat musik utamanya sebagai mahasiswa Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta.
Supriyadi menarik bundengan dari ranah tradisinya. Di luar FMT, ia menyandingkan bundengan dengan sape’, alat musik dari Kalimantan, dan suling, termasuk suling bali, sunda. Kehadiran sape’ dan suling dirancang Supriyadi untuk memberi variasi bunyi, terutama pada melodi. ”Saya lebih ke pengembangan karena saya lihat anak muda belum banyak yang tertarik pada bundengan,” katanya.
Laboratorium
Upaya Supriyadi itu senapas dengan semangat FMT yang memberi ruang kreatif bagi siapa saja untuk mencari dan mengolah bunyi-bunyi Nusantara. Bundengan termasuk salah satu bunyi-bunyi yang tumbuh di Nusantara itu.
Pada FMT 2018 tampil kelompok Malire yang dalam komposisi ”Jipang Jalu” memadukan talempong, kecapi, gitar, dan bas. Wahyu TP menyuguhkan ”Kantaka” lewat instrumen gender jawa, rebab jawa, rebab sunda, dan kecapi. Mereka menyandingkan laras slendro Jawa dengan laras madensa Sunda.
Kelompok Bengkel Seni Bias 14 dengan komposisi ”Nada Tanya untuk Indonesia” menampilkan lalove, alat tiup dari Sulawesi Tengah dengan biola, gitar, dan instrumen lain. Grup Nyaru Menteng membawakan ”Malan Manana” dengan kacapi ngindur, kacapi nganak, biola, dan perkusi. Adapun Dora Gyorfi dan kawan-kawan memadukan elemen budaya Hongaria dengan pengaruh bunyi-bunyi di lingkungan pergaulannya.
Etnomusikolog Rizaldi Siagian yang menjadi salah seorang pencermat karya dalam FMT pernah ”menantang” peserta bahwa musik Indonesia itu tidak ada, yang ada adalah musik Jawa, Batak, Sunda, dan musik dari beberapa daerah di Nusantara. Oleh karena itu, perlu di-ada-kan.
FMT yang digelar setiap tahun sejak 2011 berupaya menjawab tantangan tersebut. Menurut Sheila Sanjaya selaku Direktur FMT, perhelatan tersebut menjadi wadah untuk memperkenalkan kekayaan musik yang tumbuh di tengah masyarakat. Musik yang tumbuh di pangkuan Ibu Pertiwi. ”Festival Musik Tembi menjadi laboratorium dalam mengolah bunyi dan mencari musik Indonesia tersebut.”