Benang Merah NTRL
Seperti baru kemarin. Begitulah para personel NTRL mengenang 25 tahun perjalanan bermusik mereka. Terus menjalani kebersamaan dan mengisinya dengan karya, hanya itu kuncinya. Orang suka, ya, syukur, tidak suka tidak masalah. Santai saja.
Tiga personel NTRL, Bagus Dhanar Dhana (vokal/bas), Christopher ”Coki” Bollemeyer (gitar), dan Eno Gitara Ryanto (drum), dengan seru mengisahkan perjalanan seperempat abad yang hampir saja terlewat saat berkunjung ke redaksi Kompas, Selasa (15/5/2018) siang. Diselingi tawa dan canda, ketiganya juga membawa cerita tentang album terbaru mereka, XXV, yang dirilis sebagai penanda pesta perak tersebut.
”Perjalanan itu enggak terasa, sampai ketemu teman lama, foto lama, berita lama. Buset, tahun berapa nih? Dulu bentuknya masih tipis-tipis. Ha-ha-ha,” kata Coki.
”Dulu masih hitam semua, sekarang ada putih-putihnya,” sambung Bagus, sembari menunjuk jenggotnya.
NTRL berawal dari grup musik rock alternatif Netral ketika dikibarkan pertama kali tahun 1992 dengan personel Bagus, Bimo, dan Miten. Mereka langsung mencuri perhatian karena menawarkan warna musik yang berbeda di tengah kepungan musik pop dan glam rock waktu itu.
Lagu-lagunya keras, liriknya lugas. Judulnya sederhana, tetapi galak. Tanpa basa-basi. Sebut saja lagu ”Wa...Lah!!”, ”Sampah”, ”Rusak”, ”Biang”, atau ”Mampet”.
Eno bergabung dengan Netral tahun 1999 menggantikan posisi Bimo yang keluar, lalu Coki bergabung tahun 2003 menempati posisi Miten yang ditinggalkan sejak 2001. Nama Netral berubah menjadi NTRL pada 2015 agar terasa lebih kekinian.
Kenapa namanya Netral? ”Daripada Spektakuler,” ujar Bagus. Tawa memenuhi ruangan.
”Serius, tadinya namanya mau Spektakuler. Namun, jadinya Netral,” kata Coki.
Karena musik kami enggak berpihak ke mana-mana, akhirnya Bagus menjelaskan. Mereka hanya setia pada satu hal, musik yang mereka mainkan.
Sebenarnya, kata Bagus, semua berawal dari hobi main band belaka. Lalu mereka bikin demo dan menawarkan ke label. Sempat ditolak-tolak, akhirnya ada yang mau. Setelah rilis, keterusan sampai sekarang.
Tentu saja tidak sederhana seperti yang terlihat karena jelas 25 tahun bukan waktu yang sebentar. Tak banyak grup band di Indonesia yang bisa melalui waktu selama itu. Konsisten berkarya, membuat album setiap dua atau tiga tahun, dan menikmati setiap prosesnya juga bukan perkara gampang. ”Kami terus berkarya saja. Setiap berapa tahun, eh, bikin yuk sesuatu yang baru, supaya orang tetap alert,” ujar Bagus.
Mereka juga tidak mematok target harus sukses untuk setiap karya. ”Kalau enggak sukses, nanti stres. Kami enggak mikir yang begitu. Kami rilis album, buat karya untuk didengarkan orang. Flow-nya santai saja. Mungkin itu yang bikin kami bertahan sampai 25 tahun, karena kami main musik tanpa beban apa-apa,” papar Eno.
Sepanjang 25 tahun, sudah 160 lagu lahir dari grup ini dengan total 14 album. Di antaranya adalah Tidak Enak (1997), Album Minggu Ini (1998), Oke Deh (2001), Kancut (2003), hingga 11/12 (2015).
Menurut Coki, mereka adalah live band, tidak terlalu suka berlama-lama di studio. Dalam arti, untuk membuat materi album, mereka akan sangat fokus di studio hingga sematang mungkin, merilisnya, setelah itu live di panggung lagi. ”Makanya, enggak terasa, jalan-jalan, jalan-jalan, tahu-tahu sudah 25 tahun,” ujarnya.
Jenuh? Pasti ada masanya, ujar mereka. Coki pernah malas melihat gitar. Pernah juga mereka mentok, sampai-sampai sulit sekali menyelesaikan suatu karya.
Fisik yang lelah setelah tur, lalu ada materi baru yang harus dibuat, dan berhadapan dengan sesuatu yang merusak mood, suasana hati. Ketiganya memutuskan untuk jeda tanpa bertemu sama sekali, berlibur dua pekan, menghapus memori jelek, supaya segar bertemu kembali. Semakin ke sini, mereka semakin saling memahami kunci masing-masing saat atmosfer negatif melanda.
Pencatat sejarah
Ketika sadar perjalanan sudah seperempat abad, NTRL hendak mempersembahkan sesuatu berupa benang merah perjalanan itu sendiri. Lahirlah kemudian album bertitel XXV berisi tujuh lagu baru dan aransemen ulang 19 lagu lama sejak album pertama.
Mengawali album XXV, NTRL merilis singel ”Zero Toleransi” pada 4 Mei 2018. Lagu ini memotret kondisi yang belakangan ini mencoreng perjalanan bangsa Indonesia. Ini terlihat dari cuplikan liriknya.
”Yang kuat yang punya kuasa
Bisa bertindak semaunya
Ga punya malu
Zero toleransi
Asal gue hepi”
Lirik lagu-lagu NTRL dibuat sebagai refleksi situasi masyarakat. Insipirasinya datang dari obrolan, berita, dan hal-hal keseharian yang mereka alami.
”Kami seperti pencatat sejarah saja. Dari tahun ke tahun, kalau melihat lirik yang dibuat Bagus, pasti relevan dengan masanya. Orang mau tersinggung atau tidak, terserah. Memang keadaan seperti ini, enggak dibikin-bikin,” kata Coki.
Album XXV diluncurkan pada 25 Mei 2018 via NTRL Records. Setelah singel pertama, akan dilanjutkan rilis singel berikutnya, dilanjutkan konser, dan tur. Akan tersedia full box set, rilis fisik, dan produk-produk yang masih rahasia untuk penggemar.
”Album ini berkesan karena kami pilih dari lagu-lagu yang lama dan hit. Seperti menggambarkan perjalanan sepanjang karier 25 tahun ini,” ujar Eno.
Bagi penggemar lama, mereka akan dengan mudah terhubung lagu-lagu tersebut. Aransemen ulang yang segar membuat penggemar baru tetap bisa merasakan napas NTRL. Tujuh lagu baru dalam XXV dikemas dengan cita suara (sound ) modern.
Kemasan modern ini dibuat sebagai bentuk adaptasi NTRL terhadap kancah musik rock hari ini. Salah satunya dengan mengajak pemain synthesizer, Aria Prayogi, untuk menghasilkan nuansa elektronik tahun 1980-an di lagu ”Mimpi”, ”Mantra”, ”Getir”, dan ”Anti Materi”. Tentu saja itu tidak berarti harus menjadi sama dengan grup musik yang lain.
”Warna NTRL tetap ada, tetapi dibungkus semangat baru. Album ini juga jadi jembatan penggemar lama dan penggemar baru,” ujar Coki.
Sewaktu manggung, lanjut dia, mereka melihat wajah-wajah penggemar. Lama-lama wajah-wajahnya sama, kok, bawa anak. Sampai akhirnya wajah-wajahnya berubah, orang baru.
Yang paling penting dengan tonggak 25 tahun ini, menurut Bagus, Coki, dan Eno adalah mereka masih bisa hidup, masih bisa berkarya, masih banyak yang suka, masih ada apresiasi, masih ada yang menunggu. ”Wise (bijak-red)banget, ya? Ha-ha-ha,” ujar Bagus, diikuti tawa membahana kedua rekannya.