Menyentil Kesombongan
Melalui karya rupa, seniman-seniman matang menyentil ulah kesombongan manusia di planet bumi. Kerusakan alam, wabah penyakit, konsumerisme, hingga politik kontemporer tersirat dalam ragam metafora dan visualisasi yang menggelitik. Seni dijadikan pemantik agar manusia bisa mengubah sikapnya terhadap alam.
Memasuki lantai dua ruang pameran di Semarang Gallery, Kota Semarang, karya Putut Wahyu Widodo tampak paling mencolok. Empat instalasi seni karya seniman asal Semarang ini dipamerkan di antara lukisan-lukisan kanvas. Putut sengaja memilih medium duplex dengan sentuhan arang dan cat akrilik untuk mewujudkan imajinasinya.
Instalasi seni bertajuk ”In The Name (Homage to The Plague Doctor)” dirangkai dengan tema kehancuran suatu negara akibat perang. Lima lukisan bernuansa hitam-putih dipasang berderet membentuk kesatuan gambar tempat yang porak-poranda. Tampak reruntuhan bangunan dan bangkai mobil pascaterbakar di bawah langit berwarna keabuan—mirip asap yang membumbung.
Putut menyandingkan potret kehancuran dengan sebuah topeng fenomenal yang dipakai kalangan dokter semasa Black Death (wabah hitam atau pes) menyerang Eropa tahun 1600-an. Wabah pes konon membunuh hampir dua pertiga penduduk Eropa saat itu. Topeng berbentuk mirip paruh burung ini diwujudkan dalam rupa tiga dimensi berukuran 110 x 65 x 45 sentimeter.
”Dokter sebagai pembantu tidak berdaya melawan wabah pes, seperti banyak orang sekarang yang hanya bisa menjadi saksi bencana dan perang tanpa bisa menghentikannya,” ujar Putut.
Semua instalasi seni karya Putut terinspirasi dari teks-teks yang ia baca. Ide dari karya bertajuk ”Final Journey to Simurgh (Homage to Attar)” terinspirasi kisah Musyawarah Burung yang ditulis penyair sufi asal Persia bernama Attar pada abad ke-12. Putut membuat visualisasi patahan sayap burung Simurgh dalam ukuran 110 x 220 x 10 cm. Sayap diwarnai coklat keemasan sehingga tampak kuat dan kokoh.
Simurgh adalah burung tua yang menyaksikan kehancuran dunia. Sebanyak 30 burung terbang melewati tujuh fase kehidupan mulai dari pencarian, cinta, pengetahuan, detasemen, kesatuan, keajaiban, hingga kemusnahan akibat kemiskinan. ”Perjalanan burung-burung itu menyiratkan bahwa kehidupan akan ada akhirnya, bukan berarti kematian, tetapi akhir sebuah perjalanan,” kata Putut.
Karya Putut adalah salah satu yang ditampilkan dalam pameran seni rupa bertajuk ”(Final) Challenges” di Semarang Contemporary Art Gallery, 19 Mei-24 Juni 2018. Pameran ini menampilkan 16 karya dari lima seniman. Selain Putut, empat seniman dalam pameran ini adalah Bestrizal Besta (44), Isa Ansory (44), Nurhidayat (44), dan Seno Andrianto (43).
Menurut kurator seni rupa, Anton Larenz, kematangan seorang seniman tak terlepas dari profesionalisme dalam berkarya. Kelima seniman dalam pameran ini dinilai memiliki imajinasi kuat, indera sensitif, dan kreativitas yang tak kunjung padam. Mereka mampu menjadikan imajinasi sebagai kekuatan aktif bukan sebatas fantasi murni. Di setiap karya terselip misi perjuangan untuk membuat bumi lebih baik.
Eksploitasi alam
Goresan cat akrilik berwarna hijau, coklat, dan abu kegelapan mendominasi empat lukisan karya Isa Ansory. Lukisan bertajuk ”Jejak Jejak Hijau” secara gamblang menunjukkan masifnya eksploitasi hutan. Pohon-pohon ditebang, kayunya dikuliti dan diproduksi menjadi perabotan aneka fungsi. Di tengah hutan, terlukis kerangka kepala domba, yang bisa jadi mati kelaparan.
Dalam setiap lukisannya, Isa ingin penikmat seni mendukung terwujudnya alam yang sehat dan keadilan masyarakat. Modernitas kini tengah masuk ke desa-desa dan bersiap menggantikan fungsi sawah. Petani mulai kehilangan ladang yang diambil alih pengembang. Mereka membangun dinding-dinding kokoh agar hewan ternak bisa berbaris rapi. Namun, pertanian seperti ini bukan milik petani lagi.
Masih berkaitan dengan alam, lukisan karya Bestrizal Besta bertajuk ”I See The Rainbow In The Sky” terbuat dari ukiran kayu. Seluruh obyek gambar dibentuk menggunakan alat laser. Kayu yang terbakar menyimbolkan kebakaran hutan yang marak terjadi di Sumatera. Meski demikian, seniman asal Sumatera Selatan ini berusaha menyiratkan optimisme di tengah kekacauan dunia.
Ukiran kayu menampilkan sosok mirip manusia dalam tradisi Hindu-Buddha dengan bermahkota pelangi. Sosok mirip manusia itu menjadi pelindung berbagai jenis hewan, seperti kuda, gagak, dan lebah, yang diarah banyak anak panah. Di bagian bawah tampak seorang ksatria menunggangi seekor kuda seakan siap bertarung. ”Ini visualisasi kepercayaan dan optimisme meskipun ada krisis dan konflik,” kata Bestrizal.
”Dystopia” teknologi
Berbeda dengan tiga rekannya, Seno dan Nurhidayat justru menyoroti dystopia teknologi. Dengan gaya seniman realistis—dominan warna-warna monokrom, Seno melukis seorang gadis muda dan setumpuk surat sebagai tokoh utama di semua karyanya. Saat ini menulis surat hampir terlupakan di tengah maraknya penggunaan ponsel pintar dan media sosial.
Dystopia teknologi juga terlihat dalam lukisan karya Nurhidayat ”Erotique, Toxique, Exotique”. Aneka jenis buah, sayuran, bunga, dan kue dilukis berdesakan dengan goresan cat berwarna terang nan mencolok. Rupanya Nurhidayat mengkritisi iklan-iklan di televisi dan surat kabar yang selalu berusaha mengubah manusia menjadi makhluk konsumtif. Sifat keserakahan ini berkontribusi pada kehancuran planet bumi.
Menurut Anton, kesombongan manusia akan menyebabkan berakhirnya alam. Perubahan iklim dan pencemaran laut hanya dua dari banyak contoh proses kontaminasi global. Bagaimana pun, penggunaan sains dan teknologi tetap memiliki sisi gelap yang membawa ancaman mematikan bagi planet bumi. Kondisi bumi yang kian rapuh ini mengubah utopia teknologi menjadi pendapat dystopia.
Tema ”(Final) Challenges” mengisyaratkan potret kehancuran bumi yang divisualisasikan kelima seniman bisa nasib atau takdir. Dalam nasib ada unsur pilihan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Sedangkan, takdir menyangkut tatanan alam semesta yang kekal dan tak dapat diubah. ”Bumi ini bisa menjadi surga, atau ruang yang menyedihkan karena kekerasan atau kehancuran,” kata Anton.
Perkembangan abad ke-21 nyatanya memengaruhi produksi dan fungsi seniman. Mereka akan melalui periode evolusi artistik yang dipengaruhi faktor eksternal atau internal. Memang terlalu utopis mengharapkan seni dapat menyelamatkan dunia dari kehancuran. Setidaknya, dengan berkarya ke arah itu berarti ada optimisme yang tertanam.
(KARINA ISNA IRAWAN)