Petualangan Meredam Ego
Kisah-kisah petualangan hampir selalu mewarnai dunia anak-anak. Barangkali itu menjadi gambaran betapa anak-anak selalu kaya imajinasi. Film ”Kulari ke Pantai” menyajikan petualangan berbeda. Tak sekadar menjelajahi tempat-tempat baru, bertualang juga dapat meredam ego dan perselisihan akibat perbedaan kepentingan.
Sepuluh tahun rehat memproduksi film anak, Miles Films yang bekerja sama dengan Ideosource Entertainment, BASE & Go-Studio kembali mempersembahkan film anak berjudul Kulari ke Pantai yang akan tayang di bioskop pada 28 Juni 2018. Sebelumnya, rumah produksi film itu telah mencetak beberapa film yang sukses di pasaran, seperti Petualangan Sherina (2000) dan Laskar Pelangi (2008).
Film Kulari ke Pantai bercerita tentang petualangan anak-anak dalam menjelajahi alam. Ini sedikit membangkitkan memori tentang film Petualangan Sherina yang dirilis 18 tahun lalu. Akan tetapi, cerita dalam film Kulari ke Pantai bukanlah petualangan biasa. Petualangan yang dimaksud adalah perjalanan darat dari Jakarta ke Banyuwangi, Jawa Timur, yang menempuh jarak lebih dari 1.000 kilometer.
Film ini mengisahkan petualangan Sam (Maisha Kanna) dan Happy (Lil’li Latisha) yang merupakan saudara sepupu. Mereka ditemani Uci (Marsha Timothy), ibu Sam. Awalnya, Sam dan Uci yang tinggal di Rote, Nusa Tenggara Timur, merencanakan petualangan berdua dari Jakarta ke Banyuwangi. Namun, akibat ulah Happy yang sering merendahkan Sam, ibu Happy, Kirana (Karina Suwandi), meminta anaknya ikut dalam perjalanan itu.
Masalahnya, Sam dan Happy mempunyai karakter berbeda. Sam merupakan pencinta alam dan sedikit cuek dengan penampilan. Sementara Happy sebaliknya, sangat memperhatikan penampilan dan selalu sibuk dengan telepon pintarnya.
Alhasil, konflik antara Sam dan Happy tak terhindarkan. Hal ini sering membuat Uci kelabakan untuk mendamaikan keduanya. Film Kulari ke Pantai menebarkan banyak pesan moral. Pesan itu terbungkus dalam penyelesaian sejumlah konflik antara Sam dan Happy. Salah satu pesan moralnya adalah untuk tidak merendahkan orang lain. Pesan itu dapat dilihat saat ketiganya singgah di Cirebon untuk makan siang.
Uci mengajak Sam dan Happy makan sate di warung pinggir jalan. Awalnya Happy tidak nyaman dan menolak makan. Happy terkejut saat mendengar pelayan di warung itu berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Atas bujukan Uci, Happy memakan sate itu. Happy yang awalnya tidak selera justru menghabiskan satenya dengan lahap.
Film itu juga menyampaikan pesan untuk mengakui kesalahan dan tidak gengsi meminta maaf. Dalam sebuah adegan, Sam dan Happy bertengkar hebat saat keduanya berada di penginapan. Happy kemudian memutuskan kabur dengan meninggalkan sepucuk surat. Di surat itu, Happy menjelaskan dia kabur karena tidak tahan dengan ulah Sam yang telah merusak persahabatannya dengan temannya di Jakarta.
Sam menyembunyikan surat itu dan tidak memberi tahu Uci. Sementara Uci panik dan bergegas mencari keponakannya itu. Saat ditemukan, Uci memarahi Happy karena telah membuatnya cemas. Happy meminta maaf atas perbuatannya itu. Sam kemudian menyerahkan surat yang ditinggalkan Happy kepada Uci. Sam juga meminta maaf karena ulahnya membuat Happy kabur.
Tekad menolong
Pesan meredam ego demi hal yang lebih penting juga tersirat dalam film ini. Kepentingan masing-masing dikorbankan untuk berbuat kebaikan. Dalam perjalanan menuju Banyuwangi, mobil yang digunakan ketiganya rusak karena radiatornya kekurangan air. Sam, Happy, dan Dani—orang yang menumpang di mobil itu—mencari air ke rumah warga sekitar.
Sam dan Happy berjumpa dengan Mila, anak warga setempat yang sedang sakit di bagian perut. Setelah bertanya tentang keluhan Mila, Happy menyimpulkan Mila sakit usus buntu. Happy sangat yakin karena dia pernah mengalami hal itu dua tahun sebelumnya.
Happy memberi tahu Sam bahwa Mila harus segera dioperasi jika tidak ingin kondisinya semakin memburuk. Keduanya sepakat membawa Mila ke rumah sakit. Berkat bantuan Dani, rencana itu disampaikan kepada Uci.
Uci meminta Sam dan Happy mempertimbangkan rencana itu. Sebab, jika mereka membawa Mila ke rumah sakit, waktu perjalanan akan tersita. Hal ini bisa membuat misi mereka tidak tercapai.
Dalam perjalanan itu, Sam sebenarnya ingin bertemu dengan peselancar idolanya di Banyuwangi. Sementara Happy ikut perjalanan itu karena dijanjikan mendapat izin untuk menonton konser idolanya.
Sam dan Happy meyakinkan Uci kalau tekad mereka menolong Mila telah bulat. Mereka pun rela jika misi mereka masing-masing dalam perjalanan itu tidak tercapai.
Atas bantuan Eddy dan Fifi, yang mereka kenal saat singgah di Gunung Bromo, mereka membawa Mila ke rumah sakit. Operasi Mila pun berjalan lancar karena dioperasi sebelum penyakitnya semakin parah.
Film Kulari ke Pantai juga memunculkan sejumlah kritik. Salah satunya ketika Happy yang sering berkomunikasi dengan bahasa Inggris, tetapi pertanyaannya selalu dijawab dengan bahasa Indonesia oleh Dani yang keturunan bule.
Menurut Dani, tidak perlu terlalu sering menggunakan bahasa Inggris saat berada di Indonesia. Sebab, jika orang Indonesia lebih suka menggunakan bahasa Inggris di dalam negeri, dikhawatirkan bahasa Indonesia akan dilupakan.
Saat berada di Gunung Bromo, ucapan Eddy juga mengandung kritik terhadap kebiasaan kebanyakan orang saat berfoto di alam. Menurut Eddy, banyak orang lebih suka menonjolkan wajah dalam fotonya dibandingkan dengan pemandangan alam yang dikunjungi.
Film ini dikemas dalam drama komedi. Kehadiran Dodit Mulyanto sebagai Dodit (pemilik homestay), Mo Sidik sebagai pengejar ombak, dan Pras Teguh sebagai tukang sate membuat sejumlah adegan mengundang tawa.
Produser film Kulari ke Pantai, Mira Lesmana, mengatakan, berada dalam satu mobil pada perjalanan darat lebih dari 1.000 kilometer membuat Sam dan Happy yang berbeda karakter mau tidak mau akan sering berkomunikasi dan berkompromi. ”Film ini juga memperlihatkan betapa kayanya keindahan alam dan budaya Indonesia. Kita tidak boleh berhenti mengenalkan kekayaan itu kepada anak-anak,” ujarnya di Jakarta, Jumat (22/6/2018) malam.
Sutradara Kulari ke Pantai, Riri Riza, mengatakan, pihaknya tergerak membuat film itu saat mengetahui minimnya produksi film anak di tengah masifnya pertumbuhan perfilman Indonesia. Menurut dia, anak-anak juga berhak mendapatkan film berkualitas untuk dinikmati.
Film ini, kata Riri, membuktikan Indonesia tidak kehabisan bakat untuk pemeran film anak. Sebab, film tersebut merupakan pengalaman perdana bagi Maisha Kanna dan Lil’li Latisha, dua pemeran utamanya.
”Anak-anak juga berbakat untuk menyampaikan pesan moral lewat film. Jadi, film anak yang berkualitas harus terus tumbuh,” ujarnya.