Narasi Kehidupan Sinema Iran
Pertanyaan besar tentang dedikasi terhadap pekerjaan yang digeluti kadang membuat terguncang. Menjelang masa pensiun bisa muncul pertanyaan, benarkah apa yang sudah digeluti selama ini? Penelusuran mencari jawaban itu menjadi narasi film ”Bodyguard” karya sutradara Ebrahim Hatamikia.
Film Bodyguard membuka Festival Film Iran 2018 yang digelar pada 26-28 Juni ini di Plaza Indonesia. Festival tersebut menyuguhkan tiga film Iran produksi 2015 dan 2016 yang meraih penghargaan dalam sejumlah festival film internasional.
Bodyguard (2016) mengisahkan tentang anggota pengawal elite, Heidar (Parviz Parastoui), yang bertugas menjaga tokoh politik penting. Ketika bertugas mengawal Wakil Presiden Doktor Solati ke daerah miskin, mereka diserang pelaku bom bunuh diri. Insiden itu menyebabkan wakil presiden luka parah, sementara Heidar terluka ringan. Heidar dianggap sebagai pahlawan karena berhasil melindungi wakil presiden.
Namun, Heidar justru tidak pernah bisa tidur karena merasa bersalah atas orang-orang yang ikut menjadi korban akibat serangan itu. Dia pun memilih untuk menjaga warga sipil nonpolitisi yang dinilainya lebih sedikit menghadapi ancaman.
Dia lalu ditugasi menjaga ilmuwan muda genius, Meisam Zarrin (Babak Hamidian), yang rupanya aset penting negara. Di balik penampilannya yang terlihat biasa, Meisam bekerja di lembaga atom yang memproduksi nuklir untuk tujuan damai.
Persoalan muncul ketika Meisam menolak dikawal. Perilakunya dibuat menjengkelkan supaya Heidar menyerah. Di tengah penugasan itu, Heidar juga dikejar pemeriksaan orang dekat wakil presiden yang mempertanyakan seperti apa situasi ketika dia melindungi sang wapres. Sebagai bodyguard alias pelindung, Heidar dituding tidak sepenuh hati menjalankan tugas karena tak berani berkorban.
Film Bodyguard dituturkan melalui adegan yang menegangkan sekaligus mengocok emosi. Ada gagasan yang bebas, ironi, juga sudut pandang yang unik dalam narasi yang diketengahkan. Film ini tak bisa ditampik berlatar belakang gejolak politik yang melingkupi kawasan Timur Tengah.
Film bergenre thriller politik ini meraih sederet penghargaan, antara lain kategori aktor terbaik untuk Parastoui dan kategori efek visual terbaik dalam Fajr International Film Festival 2016. Pada Vienna Independent Film Festival 2017, Bodyguard memenangi sutradara terbaik untuk Hatamikia dan aktor pendukung terbaik untuk Hamidian.
Persahabatan dan keluarga
Selain Bodyguard, film lain yang diputar adalah Crazy Castle atau Crazy Rook (2015) karya sutradara Abolhassan Davoudi. Film ini mengisahkan sekelompok orang dari komunitas daring yang menjelajah kota Teheran dan mencari kesenangan dengan memperdaya orang lain. Suatu ketika, lelucon yang mereka buat menjerumuskan orang-orang itu dalam pemerasan.
Mereka mencoba untuk mencari uang, tetapi upaya itu justru mempertemukan mereka dengan masa lalu. Di situlah penonton akan menemukan makna sejati persahabatan dan merefleksikan perilaku kita di dunia maya.
Crazy Castle dibintangi, antara lain, Tannaz Tabatabayi (Mandana), Saber Abar (Kaveh), Amir Jadidi (Pirouz), Saed Soheili (Masoud), Nazanin Bayati (Ghazal), dan Sahar Hashemi (Shokoufeh). Film ini memenangi penghargaan kategori sutradara terbaik dan film terbaik dalam Fajr International Film Festival 2015.
Film ketiga adalah Where Are My Shoes (2016) besutan sutradara Kiumars Poorahmad. Film bergenre drama ini merupakan adaptasi dari novel debutan penulis Amerika Serikat, Lisa Genova, berjudul Still Alice.
Where Are My Shoes mengisahkan seorang lelaki tua, Habib Kaveh, yang didiagnosis dengan alzheimer. Keluarganya meninggalkan dia dan pindah ke luar negeri bertahun-tahun sebelumnya. Suatu ketika, putri Habib kembali ke dalam hidupnya dan mengungkap sebuah rahasia.
Film itu dibintangi Reza Kianian, Majid Mozzafari, Roya Nonahali, Mina Vahid, dan Bahareh Kianafshar. Kianian dinominasikan dalam kategori aktor terbaik pada Fajr International Film Festival 2016.
Ketiga film itu sama-sama mengusung keluarga sebagai tema besar berikut relasi antaranggotanya dan persoalan yang mereka hadapi. Nilai-nilai kemanusiaan dan norma kehidupan bermasyarakat juga ditonjolkan.
Peran sinema
Duta Besar Iran untuk Indonesia Valiollah Mohammadi menuturkan, selama lebih dari empat dekade terakhir, sinema Iran selalu menawarkan nilai budaya negara tersebut dalam bentuk karya seni melalui pendekatan yang independen. ”Meskipun secara teknis sinema Iran tidak bisa dibandingkan dengan raksasa film di AS dan Eropa, (film) Iran memiliki kualitas dan kemampuan dengan konten dan gaya tersendiri,” tuturnya, saat membuka Festival Kebudayaan Iran, Selasa (26/6/2018).
Menurut Mohammadi, peran sinema dalam diplomasi publik dan dialog budaya di tataran global sekarang ini sudah tidak bisa lagi dimungkiri. Salah satu capaian penting sinema adalah terciptanya ruang untuk dialog kebudayaan. Sebagaimana seni, sinema sebagai industri yang sangat vibran dan inklusif merupakan cara terbaik untuk memperkenalkan dan mempromosikan budaya.
Ada belasan ajang festival film internasional di Iran, seperti Tehran International Film Festival dan Fajr International Film Festival, yang menggairahkan jagat sinema negeri itu. Kritikus menilai Iran sebagai salah satu penghasil sinema nasional paling penting di dunia, terutama secara artistik.
Film-film Iran belakangan ini semakin populer karena meraih penghargaan dari banyak festival film internasional bergengsi. Di ajang Academy Awards atau Oscar, film-film Iran sering masuk nominasi dan memenangi kategori film bahasa asing terbaik. Dimulai dari era Majid Majidi dengan Children of Heaven (1999) hingga Asghar Fahradi dengan The Salesman (2017).