Tentang Kebersamaan
Tidak ada gunanya mempermasalahkan perbedaan, apalagi sampai memusuhi kelompok yang berpendapat berbeda. Lebih baik bergandeng tangan menikmati kebersamaan. Sebab, sebenarnya kita sama. Tak perlu risau dengan siapa yang menang dan kalah. Dalam pilkada, misalnya. Mohammad Hilmi Faiq
Semangat itu terasa benar saat Dialog Dini Hari (DDH) tampil pada puncak acara Jamuan Cerpen Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (28/6/2018). Band folk ini membawakan sepuluh lagu terbaiknya di hadapan ratusan penonton yang sebagian besar hafal lagu-lagu DDH seperti ”Pelangi”, ”Aku adalah Kamu”, ”Tentang Rumahku”, dan ”Temui Diri”. Ratusan penonton yang sebagian besar berusia akhir belasan tahun dan awal dua puluhan tahun itu bersama-sama ikut menyanyikan lagu DDH.
Seperti biasa, vokalis sekaligus gitaris DDH, Dadang SH Pranoto, menyelipkan celoteh-celoteh lucu, konyol, satire, kadang sarkastis. Malam itu dia menyinggung tentang pemilihan kepala daerah yang baru saja berlangsung serentak di beberapa daerah.
”Info tentang tetangga saya kalah. Promosinya kurang asyik. Sama kaya band. Kalau bikin album tahun ini, ada pilkada ada World Cup, album pasti enggak laku,” kata Dadang yang berulang kali menjelaskan bahwa kalah dan menang dalam pilkada itu biasa. Tidak perlu mengusik perbedaan.
Sebelum menyanyikan lagu ”Aku adalah Kamu”, vokalis berambut gimbal itu melontarkan pandangannya, ”Biarlah beda agama asal kita seiman.”
Lagu ”Aku adalah Kamu” berisi pesan yang sangat kuat bahwa kita pada dasarnya sama. Tidak perlu saling menafikan, saling menegasikan. Meskipun cara berdoa kita berbeda, anugerah yang kita terima dari Tuhan sama.
”Matahari takkan terlihat beda dari tempatmu. Bulan dan bintang ’kan terlihat sama dari tempatmu. Dan memberikan cahaya yang sama untuk kita,” ujar Dadang sembari memetik gitar. Suara penonton mendominasi tempat pertunjukan.
Pesan lagu tersebut mirip dengan nilai yang terkandung dalam ”Pelangi”. Lagu ini berisi deskripsi pelangi yang muncul setelah hujan. Lewat pelangi, DDH masuk ke dalam gambaran keindahan alam, seperti gunung, pohon, kupu-kupu, dan sejuk udara. Lalu, diselipkanlah tafsir tentang pelangi sebagai sebuah gairah dan semangat surgawi.
Dalam sebuah perbincangan, Dadang menjelaskan, kita kerap menyadari sesuatu itu penting ketika dia telah pergi. Sebagaimana pelangi, yang hanya muncul sesaat, jangan sampai kebersamaan ini baru kita sesali ketika dia telah pergi. Oleh karena itu, kebersamaan harus dijaga.
Doa untuk alam
Ketika DDH manggung, sebenarnya para personelnya, yakni Dadang, Brozio Orah (bas), dan Putu Deny Surya Wibawa (drumer), tengah risau. Sebab, Gunung Agung di Bali sedang erupsi dan Bandara Internasional Ngurah Rai tutup. Akan tetapi, DDH tetap tampil optimal dan tanpa cacat. Meskipun kerisauan itu sempat muncul di atas panggung berupa ajakan berdoa bersama agar alam berdamai.
”Gunung Agung lagi erupsi, kita tidak tahu pulang atau tidak. Semoga gunungnya bobok cantik sampai kami sampai di Bali,” kata Dadang yang diamini para penonton. Sabtu siang, rombongan tiba dengan selamat di Bali.
Selain ”Pelangi” Dadang banyak menulis lagu bertema alam seperti ”Aku dan Burung” dan ”Bumiku Buruk Rupa”. Dalam lagu-lagu bertema alam ini, DDH menyelipkan pesan tentang pentingnya menjaga kelestarian alam. Bahwa alam adalah organisme yang bisa hidup selaras selama kita berlaku baik pada alam.
Salah satu lagu populer DDH, ”Tentang Rumahku”, menjadi penutup Jamuan Cerpen Kompas malam itu. Lagu ini sangat deskriptif sehingga terbayang sebuah rumah di ujung bukit karang yang berbatu. Banyak yang mengira Dadang menggambarkan rumahnya sendiri dalam lagu itu. Sebenarnya tidak. Sebab, sampai kini dia masih tinggal di rumah kontrakan. Sebelumnya, dia tinggal bersama anaknya, Mojo, dan istrinya, Petronela Capska, di Denpasar. ”Kami baru pindah ke rumah yang lebih besar. Tapi masih kontrak,” kata Dadang sebelum manggung.
Sebenarnya, lewat lagu ”Tentang Rumahku”, Dadang membuat sebuah ibarat. Bahwa rumah adalah episentrum hidup. Ke mana pun seseorang pergi, entah kuliah di luar negeri atau bekerja di seberang lautan, pada akhirnya dia akan pulang. Rumah menjadi titik penyeimbang ketika seseorang bimbang. Bagi Dadang, episentrum tersebut adalah anak dan istrinya. Di mana pun keduanya berada, selama ada Mojo dan Petronela, itulah rumah.
Dapat dibayangkan ketika Dadang berada jauh dari anak dan istrinya, dia dilanda ketidakseimbangan batin. Itulah yang dia alami ketika Mojo harus ikut ke kampung halaman ibunya di Slovakia selama hampir tujuh bulan. Dia dilanda rindu yang menumpuk, tetapi tidak memungkinkan untuk menyusul.
”Saat rindu itu begitu mendera sebenarnya berubah menjadi doa agar orang yang kita rindui selalu sehat,” kata Dadang menguraikan isi hatinya.
Gejolak dalam batinnya itu lalu menjadi ”Sediakala”, singel yang dirilis DDH sekitar tiga bulan lalu. Lirik lagu ini tercipta sehari setelah anak dan istri Dadang datang ke Tanah Air. ”Malam mereka datang, besok paginya liriknya jadi, he-he-he,” ungkap Dadang, yang juga menjelaskan bahwa garapan musiknya dikeroyok bertiga bersama Zio dan Deny.
Sufistik
Pada tahap lebih lanjut, lirik-lirik DDH, yang sebagian besar merupakan manifestasi suasana batin Dadang, mengajak kita untuk melihat lebih dalam. Perenungan dan kontemplasi Dadang ini melahirkan lagu-lagu bercorak sufistik yang penuh makna sekaligus multi-interpretatif. Dengan kata lain, semangat dalam lagu tersebut lebih global. Simak lagu-lagu mereka, seperti ”Lengkung Langit”, ”Temui Diri”, dan ”Manuskrip Telaga”.
Lagu-lagu tadi ditulis berdasarkan pengalaman batin Dadang. Menurut Dadang, DDH tidak menulis lagu yang liriknya tidak mereka mengerti. Meskipun lagu-lagu tersebut bertolak dari permasalahan hidup yang pelik, Dadang menghadirkannya dalam optimisme atau energi positif. Masalah itu sudah selesai sehingga lagu tersebut menawarkan jalan keluar.
Malam itu lagu ”Lengkung Langit” dan ”Temui Diri” mereka nyanyikan dengan syahdu dan kadang rancak.
Dalam ”Temui Diri”, DDH mengajak kita berdialog dengan diri sendiri tentang hakikat hidup. Bahwa hidup sejatinya untuk menebar kebaikan bersama. ”Noda-noda hati, menyingkirlah. Lahir kembali bersihkan jiwa. Bersihkan jiwa”, begitu kutipan lagu itu.
DDH dikenal sebagai band folk. Akan tetapi kadang disangka band ”galau” karena lagu-lagunya yang puitis. Ini setidaknya tecermin dari curhatan Dadang malam itu. ”Saya tidak tahu ini lagu cinta apa tidak. Tetapi selalu setiap manggung lagu ini diminta. Saya yang salah atau penonton yang tidak tahu, tiba-tiba band saya dicap band galau. Kami ini band punk. Mana ada band folk rambutnya gimbal,” kelakar Dadang disambut tawa penonton.
Lalu mengalunlah lagu ”Pagi”, bercerita tentang sihir pagi yang menyajikan embun dan mekar melati. Juga ada hati yang terus mencari. ”Pagi jangan pergi, kutakut malam nanti ’ku masih sendiri dan pagimu tak lagi indah”, terdengar kor suara penonton.
Sebenarnya penonton memang tak ingin hari berganti karena ingin DDH selalu menemani. Menemani dalam lagu kebersamaan sehingga lupa dengan siapa yang menang dan kalah dalam pilkada.