”Pengantin”, Hasrat di Garis Depan
Film dokumenter Pengantin memotret gejala tren keterlibatan perempuan di garis depan gerakan radikal, yakni sebagai ”pengantin” alias pelaku serangan bom bunuh diri. Namun, tak sekadar isu radikalisme, film ini berusaha menyentil persoalan di baliknya yang amat manusiawi. Dengan menyimak film Pengantin, sepatutnya kampanye ancaman radikalisme tak perlu lagi dilancarkan secara banal dan sloganistik.
Pengantin merupakan film dokumenter independen kedua yang digarap Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), yang sebelumnya memproduksi film Jihad Selfie (2016). Dalam Jihad Selfie, Huda mengangkat problematika remaja yang tengah sekolah di Turki dan berhasrat untuk bergabung dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Kali ini melalui Pengantin, Huda memotret kisah dua perempuan mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang berhasrat ingin menjadi pelaku serangan teror bunuh diri, yang diistilahkan di kalangan radikalis sebagai ”pengantin”. Istilah romantik ini seolah-olah senapas dengan gagasan surga, sesuatu yang jadi iming-iming dari aksi bunuh diri berlatar belakang doktrin agama yang dipelintir.
Kedua tokoh perempuan tersebut, yakni Ika Puspitasari dan Dian Yulia Novi. Mereka kini tengah menjalani hukuman pidana penjara. Ada seorang lagi perempuan TKI yang menjadi tokoh dalam film ini, Fatmawati, yang tidak terlibat dalam gerakan radikal, tetapi sama-sama menemukan pasangan di media sosial untuk dinikahi dan menjadi pengantin sungguhan.
Film ini bertolak dari penuturan salah satu peneliti di YPP sebagai narator, yakni Rizka Nurul, yang tertarik meneliti gejala keterlibatan perempuan dalam gerakan radikalisme. Penelitian Rizka berlangsung sejak sebelum terjadi insiden teror di sejumlah gereja di Surabaya, Jawa Timur, yang melibatkan sosok perempuan pelaku bom bunuh diri, beserta anak dan suaminya. Prediksi soal tren perempuan sebagai pelaku serangan teror bunuh diri juga telah tertuang dalam riset Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang laporannya dirilis 31 Januari 2017.
Peran media sosial
Dalam salah satu plot, Rizka sempat bertemu dengan Ika yang ditahan di Rutan Mako Brimob, berbincang-bincang dari hal-hal remeh-temeh seperti lipstik hingga soal ikhwal Ika menggeluti agama melalui berbagai kanal media sosial saat bekerja di Hong Kong. Ika, yang masa hukumannya masih tiga tahun lagi, sempat berencana meledakkan diri di Bali. Ia ditangkap polisi Desember 2016 di kota asalnya, Purworejo, Jawa Tengah.
Ika mengaku, saat bekerja di Hong Kong, banyak kelompok-kelompok pengajian yang bisa diikuti para TKI, tetapi ia lebih merasa nyaman belajar agama melalui medsos. Di medsos pula ia bertemu dengan laki-laki yang kemudian dinikahinya secara daring. Keduanya pun lalu sama-sama terlibat dalam gerakan radikal.
Berbeda dengan Ika, Dian lebih misterius dan tidak bisa tertangkap lebih utuh sosoknya di dalam film. Hal ini rupanya tidak terlepas dari keengganan suaminya. Rizka bercerita, sang suami memang tidak mengizinkan Dian muncul dalam layar film. Akhirnya Rizka dan timnya mengambil sudut pandang melalui ibu dari Dian. Dian terlibat dalam rencana percobaan serangan bom bunuh diri dengan bom panci rakitan suaminya, untuk diledakkan di kawasan Istana Negara. Suaminya, Nur Solihin, itu pula yang membaiat Dian untuk bersetia pada NIIS.
Menggarap isu radikalisme tentu tidak gampang. Keengganan dan ketidakpercayaan dari tokoh menjadi persoalan tersendiri. ”Salah satu kendala saat riset film, Ika dan Dian awalnya bersedia (direkam dalam video), tetapi minggu depannya tiba-tiba enggak bersedia dan minta kami untuk izin ke suami mereka dengan telepon langsung. Belum lagi saat rusuh di Mako Brimob yang pertama (November 2017), akses kami sempat ditutup,” kata Rizka.
Butuh kemelekatan
Huda tergerak menggarap isu keterlibatan perempuan TKI ini berawal ketika pemutaran keliling film Jihad Selfie di beberapa negara yang didukung Kementerian Luar Negeri sebagai kampanye kesadaran ancaman pengaruh NIIS dan radikalisme.
”Nah dalam setiap roadshow itu memang saya melihat ada kluster baru yang rentan terhadap radikalisme, yaitu komunitas diaspora yang punya duit, akses internet kencang, tidak ada landasan pengetahuan Islam klasik, jenuh terhadap modernitas, susah berbaur dengan kultur tempatan, dan seperti layaknya semua kita, mereka ingin ada belonging atau attachment (kemelekatan) kepada sesuatu yang bisa menjadikan mereka merasa penting,” kata Huda.
Pada saat itulah, kemudian para TKI ini lari ke media sosial yang bagai pasar swalayan bisa menawarkan berbagai hal. ”Di medsos, dagangan agama masuk karena inilah yang membuat mereka merasa nyaman. Apalagi mereka ini para perempuan yang selalu mendapatkan tekanan untuk punya suami, kan? Di tengah galau inilah para lelaki ISIS memainkan tipu dayanya,” ujar Huda.
Hasrat akan kemelekatan itulah yang paling tidak terpenuhi dengan memasuki lembaga perkawinan, yakni dengan memiliki suami, ditambah lagi dengan doktrin agama sebagai pegangan. Hal itu lantas menjadi salah satu pintu masuk strategis bagi paham radikal menjangkiti para perempuan, yakni ketika calon pasangan idaman ternyata seorang radikalis.
”Selain itu, saya pikir, salah satu alasan perempuan menjadi teroris itu karena mereka dapat mendobrak sistem patriarki yang ada. Mereka tiba-tiba menjadi ”in charge” dan seolah kontrol hidup mereka sendiri,” ujar Huda.
Huda sengaja memasukkan tokoh Fatmawati, TKI lain di Hong Kong sebagai kontras. Ika, Dian, dan Fatmawati ketiganya mencari cinta di medsos dan bertemu pasangan, tetapi berujung pada nasib yang berbeda. Ika dan Dian terjerat paham radikal ISIS, sementara Fatmawati lebih beruntung, bisa menjadi pengantin sungguhan dengan suami baik-baik.
Oleh karena itu, lewat film dokumenter ini Huda sebenarnya berusaha menyentuh soal isu yang lebih populer, yakni soal krusialnya petualangan mencari pasangan di internet (medsos) secara cerdas dan aman. Dari potret yang terekam dalam film inilah, Huda berharap berbagai kampanye antiradikalisme perlu menyentuh isu periphery atau ”isu pinggiran” yang sebenarnya terkait kuat dengan isu utamanya (radikalisme). Tak perlu ,misalnya, menggelar acara dengan mengumpulkan para TKI perempuan lalu diceramahi terang-terangan bahaya pengaruh ISIS di internet, dengan spanduk berisi kalimat sloganistik antiradikalisme.
Pengantin yang digarap tanpa naskah ini resmi dirilis Kamis (28/6/2018) di Melbourne, Australia. Huda sendiri telah menyelesaikan program doktor studi politik dan hubungan internasional di Universitas Monash di Melbourne dan segera kembali ke Tanah Air. Film Pengantin juga akan diputar keliling di Indonesia, seperti halnya Jihad Selfie.