Denting Waditra dalam Desau Angin
Kaki-kaki berjejalan di sekeliling panggung menjelang detik-detik pembukaan Festival Dawai Nusantara IV. Riuh orang berlalu lalang, mencoba mendekat ke panggung dan mengabadikan momen. Sasando dipetik, acara resmi dimulai. Hawa dingin yang membekap kawasan Simpang Balapan, Kota Malang, Jawa Timur, pun menghangat oleh riuh tepuk tangan.
Orang bersukacita. Menaruh harapan besar bahwa mereka akan menikmati suguhan musik yang tak sekadar ingar bingar. Akan tetapi syahdu merayu, yang keluar dari denting senar yang dipetik oleh tangan-tangan peserta festival.
Penonton tidak hanya ingin meresapi getaran rasa dari setiap dentingnya, namun juga ingin menghayati kisah sejarah yang tersimpan dalam waditra (alat musik) petik tersebut.
Alat musik berdawai adalah salah satu waditra, yang kisahnya menurut sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, sudah ada sebelum abad ke-14 Masehi. Menurut dia, susastra Kunjarakarna pupuh XXXIII.1-4 dan 6 mengisahkan upacara pemujaan pada Woirocana (dewata) di Bodhicitta. Dalam ritus ini, para gandarwa menunjukkan kepiawaiannya bernyanyi dan memainkan berbagai waditra, sedangkan dewa-dewi di langit nretta (menari). Ada pula di antara dewa-dewi itu memainkan waditra dan menyanyi dengan suara merdu mendayu.
Kisah tersebut, menurut Dwi Cahyono, tercatat di Candi Jajaghu (Jago). Dalam deretan panil relief ada yang memvisualkan adegan pemujaan di Bodhicitta meski gambarannya tidak sama persis seperti dalam teks pupuh.
Di Candi Jago hanya ada dua panil relief yang memvisualkan adegan ketika upacara pemujaan berlangsung dan saat kepulangan para seniman seusai menyemarakkan upacara. Pada relief tersebut, para dewi hanya diwakilkan oleh seseorang pengidung dan waditranya diperluas dari dua buah menjadi empat buah.
Menurut Dwi Cahyono, Candi Jago merupakan pendarmaan bagi arwah Raja Singhasari, yaitu Wisnuwarddhana. Candi mengalami renovasi signifikan pada pertengahan abad ke-14, yang merupakan masa keemasan Majapahit. Ia menduga, relief di teras I-III serta di tubuh candi merupakan seni pahat dari abad ke-14 Masehi.
Tenggelam
Sayangnya, di antara riuh semangat dan kisah besar sejarah waditra, suara denting dawai sape’ (alat musik tradisional Kalimantan) dan siter (sitar) malam itu justru lirih terdengar. Nada-nada magis penggugah rasa, yang biasa terlantun di setiap petikan, seakan tenggelam. Alunan nada memelan tersapu angin, ditambahi sound system yang beberapa kali melengking tak karuan.
Namun, hal itu tak menyurutkan semangat 12 penampil menyuguhkan performa terbaik mereka. Festival Dawai Nusantara IV diikuti oleh 12 delegasi, di antaranya Gregorius Argo (Yogyakarta), The Ubudians (Bali), Joko Porong and Friends (Sidoarjo), Ali Gardy (Situbondo), Debu Nusantara (Amerika Serikat), Aziz ’n Friends (Malang), dan Nusa Tuak featuring Ganzer Lana Sasandois (Nusa Tenggara Timur). Peserta tidak jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya.
Kelompok musik Debu Nusantara menggoyang kerumunan dengan sebuah lagu dangdut sebagai pembuka. Mustafa dan kawan-kawan pun mengajak penonton bernyanyi. Menggabungkan musik dan tarian sufi hasil kolaborasi dengan Gubug Sufi, penampilan kedua kelompok itu cukup mencuri perhatian.
Selanjutnya, penonton kembali disengat dengan pernyataan dari Gregorius Argo, pemusik sape’ kelahiran Kalimantan. Pemusik yang tinggal di Yogyakarta tersebut mengajak orang percaya diri membawakan karya sendiri.
”Menggunakan lagu orang lain boleh saja. Tapi, kita musisi, ayolah bikin musik sendiri. Saya akan menampilkan karya-karya saya sendiri. Sebab, saya bangga dengan musik ciptaan sendiri,” katanya disambut tepukan penonton. Saat itu, Argo menyanyikan komposisi berjudul ”Kedamaian Hati”, ”Meraba Ketenangan”, dan ”Salam Bagimu”.
Suasana memanas setelah Nusa Tuak memetik sasando dalam beberapa komposisi. Puncaknya, mereka berkolaborasi dengan para penari dari Palembang menarikan tarian Lilin Siwa. Para penari memegang piring berlilin, menari, dan melakukan atraksi akrobatik. Gemuruh tepuk tangan menutup penampilan tersebut meski sebelumnya penonton harus menunggu setidaknya setengah jam karena mereka masih mencari lagu pentas yang akan dimainkan.
Festival Dawai Nusantara sudah keempat kali ini digelar, dimulai dengan menggunakan gedung hingga kini digelar di tempat terbuka. Tidak banyak perubahan konsep acara bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Temanya pun senada. Kali ini, festival mengusung semangat ”Unity in Diversity”.
Yang berbeda justru penyelenggara dan lokasinya. Kali ini, Redy Eko Prasetyo selaku penggagas festival bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang.
”Saya menawarkan konsep dan dinas menjadi penyelenggara. Saya tidak punya kewenangan untuk mengatur teknis acara sehingga harus diakui ada beberapa hal yang tidak maksimal,” kata Redy. Beberapa persoalan yang harus diperhatikan adalah sound system yang tidak mendukung, waktu pentas molor untuk kegiatan seremonial, bahkan tenda pendukung acara pun sudah dibongkar saat beberapa penampil masih manggung.
Redy pun khawatir, nama Festival Dawai Nusantara jatuh gara-gara ketidakpahaman dinas atas konsep yang digagasnya. Jika Pemerintah Kota Malang tidak bisa menggelar acara dengan baik, akan ada kota lain yang tertarik menggelarnya.
Sutiaji, Pelaksana Tugas Wali Kota Malang, berharap festival-festival tersebut akan menjadi salah satu upaya masyarakat mengapresiasi musik Nusantara. Dengan begitu, masyarakat tidak mudah terombang-ambing seni dari luar negeri. ”Mungkin masih ada kekurangan, namun ke depan bisa digarap agar lebih baik lagi,” katanya.
Apa pun hasilnya, konsep Festival Dawai Nusantara akan terus berproses menuju lebih baik. Kekurangan pada setiap tahunnya akan menjadi modal awal untuk perbaikan di tahun-tahun berikutnya.
”Kami pun sudah tidak melulu hanya fokus pada gebyarnya. Sudah saatnya festival ini menjadi sebuah gerakan, makanya kali ini ada acara workshop dawai. Nantinya semoga akan lahir institut dawai di mana semua orang bisa belajar dawai Nusantara,” kata Redy. (DAHLIA IRAWATI)