Gila Bersama Brigade Orgil
Batas antara gila dan tidak gila rupanya demikian tipis. Di tengah kegilaan, orang gila tidak tampak gila. Rakyat yang gila mencari pemimpin yang gila. Demikianlah semua menjadi gila.
Pentas seri Indonesia Kita berjudul Brigade Orgil di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat-Sabtu (10-11/8/2018), mengangkat segala kegilaan itu sebagai pusat cerita. Latarnya adalah pemilihan umum di sebuah tempat bernama Negeri Gilabeh.
Seperti format pertunjukan Indonesia Kita dalam delapan tahun terakhir, penonton akan disuguhi sebuah kisah yang membidik isu-isu aktual di dalam masyarakat dalam balutan komedi yang mengocok perut. Brigade Orgil memilih isu hangat tahun politik di negara ini, pemilihan presiden, berikut tingkah polah para politisi dalam lingkaran kekuasaan.
”Brigade Orgil merupakan lakon kocak penuh ironi yang menggambarkan sebuah zaman ketika yang gila dan tidak gila sulit dibedakan. Lewat parodi inilah kita diajak untuk memiliki kesadaran akan peristiwa sosial politik belakangan ini, bagaimana drama dan perilaku mereka yang bertarung di panggung politik sering kali menanggalkan kewarasan mereka,” kata penulis naskah dan sutradara pentas Agus Noor.
Lagu tema ”Mars Pemilu Nasional” yang sering berkumandang semasa Orde Baru mengawali pentas. ”Pemilihan umum telah memanggil kita”. Demikian syair awalnya kalau kita ingat. Disusul tarian yang para penarinya mengenakan topeng putih pada wajahnya dan kardus bermacam ukuran pada tubuhnya.
Negeri Gilabeh sedang mencari pemimpin. Inayah, putri Marwoto, tidak tertarik menjadi pemimpin seperti diinginkan ayahnya. Dia lebih ingin menjadi penyanyi meskipun suaranya hancur. Marwoto-lah yang kemudian maju.
Sementara Cak Lontong bersama ajudannya, Akbar, tengah bermain golf. Cak Lontong pun bosan menjadi pemimpin. Akbar mengajukan diri, tetapi Cak Lontong belum yakin. Tiba-tiba datanglah orang yang misterius, Bedu, bertingkah seperti orang gila. Dia justru menarik hati Cak Lontong karena memiliki cara berpikir out of the box. Dia lalu mengajukan Bedu sebagai calon pemimpin.
Persaingan antara Marwoto dan Bedu pun dimulai. Lewat debat yang tidak seimbang, Bedu menang. Marwoto, yang tidak terima kalah, mencari-cari masa lalu Bedu yang misterius. Rupanya Bedu pernah menghuni rumah sakit jiwa.
Isu termutakhir
Ceritanya tentu tidak disampaikan seserius itu. Sejak dimulai pukul 20.30—karena hujan deras mengguyur seputar TIM sehingga banyak penonton tidak bisa tiba tepat waktu—hingga selesai pukul 23.45, yang ada adalah gelak tawa penonton dalam hampir setiap dialog dan adegan.
Dalam adegan percakapan antara Inayah, Marwoto, dan tiga ajudannya, yakni Mucle, Ence Bagus, dan Joseph Ginting, muncullah istilah dan isu yang mencuat beberapa hari terakhir terkait dengan pencalonan presiden dan wakil presiden Indonesia. Ada yang menyebut 500 miliar, nasionalis religius, halal, juga kriteria pemimpin.
Begitu pula dalam percakapan antara Cak Lontong dan Akbar yang selalu memancing tawa karena membolak-balik logika. ”Wah, baju main golf warnanya sudah kayak pelangi,” kata Akbar.
”Pemimpin harus bisa mengayomi semua warna,” ujar Cak Lontong.
”Ini kenapa warna kuning di bawah?” tanya Akbar sambil menunjuk celana Cak Lontong. Gerrr.... Penonton tertawa.
Adegan debat publik antara Marwoto dan Bedu juga mengundang tawa. Marwoto menyampaikan program-program pengentasan dari kemiskinan, cara mengatasi kemacetan, dan menjaga keamanan. Pada gilirannya, Bedu hanya mengatakan, ”Program saya seperti yang dikatakan Marwoto, hanya lebih baik.”
Inayah Wahid, putri bungsu presiden ke-4 RI, Gus Dur, juga menjadi sasaran lelucon rekan-rekannya di panggung. Pembawaannya yang santai dan cuek berbaur pas dengan para pelawak pendukung Brigade Orgil.
Pentas kali ini menghadirkan bintang tamu penyanyi dan musisi Nyak Ina Raseuki atau biasa disapa Ubiet serta penari dan aktris Nungki Kusumastuti. Olah vokal Ubiet yang khas dan gemulai tarian Nungki mencuri perhatian dalam pentas meskipun kemudian tak luput juga dari sasaran banyolan.
Pembelajaran
Pertunjukan didukung pula oleh sejumlah mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Mereka berperan sebagai rakyat yang gila. Para penari yang menampilkan tarian sebagai pergantian antar-adegan juga mahasiswa seni tari IKJ.
Produser pentas Butet Kartaredjasa menuturkan, setahun lalu, Fakultas Seni Pertunjukan IKJ menyatakan ingin menjadikan Indonesia Kita sebagai obyek kajian dan pembelajaran. ”Mereka ingin tahu kenapa sajiannya bisa seperti itu, proses penggarapannya tidak lazim, tetapi justru mengundang wajah-wajah baru penonton teater,” ujarnya.
Dosen senior IKJ, Gandung Bondowoso, berpendapat, kolaborasi mahasiswa, alumni, dan dosen dengan pemain profesional menjadi kesempatan untuk menjajal wahana baru, khususnya berteater di luar mazhab realis.
Memang para mahasiswa itu masih terlihat berakting dengan teknis di atas panggung. Keluwesan untuk menjadi karakter yang dimainkan belum terlihat.
Pada beberapa bagian, pentas Brigade Orgil masih terlalu berpanjang-panjang dengan pengulangan adegan. Misalnya saat adegan di rumah sakit jiwa, sejumlah dialog hanya tampak seperti tempelan sehingga bisa saja dihilangkan.
Di luar itu, para penonton rupanya tampak menikmati ”menggila” bersama para pendukung pentas. Celetukan terlontar di sana-sini dan direspons oleh mereka yang berada di atas panggung. Memang, menjadi gila itu asyik, seperti diungkapkan Rektor IKJ Seno Gumira Ajidarma dalam tulisan menyambut Brigade Orgil.
Seorang gila bertanya kepada orang gila, ”Apakah Anda gila?”
”He-he-he. Jehelas! Lha, kalau Anda?”
”Saya? Ya pasti gilalahyauw.”
Keduanya lantas berjingkrak-jingkrak, jungkir balik, menandak-nandak, dan berguling-guling. ”Jadi orang gila asyik ya?”
”Asyeekk....”
Padahal belum tentu kita gila beneran.
(FRANSISCA ROMANA NINIK)