Laga Pembelot dan Spionase
Bintang film laga Iko Uwais tengah bersinar terang. Kali ini bahkan bisa jadi lebih terang dari sebelumnya, saat namanya mulai melambung lewat sekuel film laga The Raid beberapa tahun lalu.
Lewat penampilannya dalam The Raid, Iko dilirik oleh sutradara Hollywood, Peter Berg, untuk dipasangkan dengan mitra kerja lama sang sutradara, yang juga aktor berpengalaman Hollywood, Mark Wahlberg, dalam film laga terbarunya yang berbumbu spionase, Mile 22.
Adapun Berg dan Wahlberg sudah bekerja sama dalam tiga film sebelumnya, Lone Survivor (2013), Deepwater Horizon (2016), dan Patriots Day (2016). Dalam Mile 22, Wahlberg berperan sebagai James Silva, agen intelijen Amerika Serikat (CIA), yang temperamental dan intimidatif. Silva diberi tanggung jawab mengantar Li Noor (Iko Uwais) keluar dari negerinya setelah meminta suaka politik.
Cerita bermula dari operasi khusus kontra intelijen yang menyasar sebuah rumah. Belakangan diketahui rumah itu dijadikan markas sekaligus rumah aman (safe house) tempat para intelijen Rusia, eks KGB atau belakangan dikenal sebagai FSB, berkumpul untuk memata-matai AS.
Dalam sejumlah adegan juga digambarkan bagaimana keberadaan teknologi dan perangkat intelijen canggih bisa sangat berperan dalam mengendalikan dan menjalankan misi operasi rahasia. Selain dibantu sejumlah anak buahnya, salah satunya Alice Kerr (Lauren Cohen), Silva juga disupervisi koordinator operasi Bishop (John Malkovic), yang juga disebut dengan kode panggilan ”The Mother”.
Silva dikenal sebagai agen tangguh, meski temperamental, yang direkrut sejak usia dini. Dia memiliki prestasi dan jenjang karier yang nyaris tanpa cela. Namun, lantaran sifatnya yang berangasan dan tak mau kalah itu, Silva kerap bertengkar dengan anak buahnya walau di depan atasannya dia tak segan membela mereka.
Meskipun berhasil membunuh intelijen musuh, operasi kontra intelijen itu dinilai tak terlalu sukses. Hal itu lantaran target utama gagal dicapai: menemukan bahan radioaktif berbahaya, Caesium-139, yang bisa disalahgunakan menjadi senjata pemusnah massal berkekuatan lebih dari bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, di pengujung Perang Dunia II.
Dalam kebingungan, Li muncul mendatangi kantor kedutaan besar AS. Li digambarkan sebagai perwira polisi khusus negara Indocarr, yang mengaku punya informasi sangat rahasia terkait keberadaan bahan-bahan radioaktif berkode sandi fear powder alias bubuk ketakutan. Koordinat benda-benda yang sangat dicari itu ada dalam sebuah hard-drive dan hanya dapat dibuka dengan kode sandi. Kode sandi tersebut tentu saja hanya diketahui Li seorang.
Li bersedia menyerahkan kode itu dengan imbalan diberi suaka politik dan hijrah ke AS. Cerita dan ketegangan kemudian terfokus pada upaya Silva beserta anak buahnya mengantarkan Li ke sebuah landasan udara rahasia di mana pesawat angkut militer AS bisa mendarat untuk menjemput dan membawa Li keluar dari negaranya.
Tentu, perjalanan menuju landasan pesawat kecil itu bukanlah perjalanan yang lancar dan landai-landai saja. Berkali-kali rombongan mereka menghadapi serangan, yang banyak menewaskan anak buah Silva. Serangan dilakukan pasukan negara Indocarr, negara antah berantah tempat asal Li, yang ingin menangkap Li atas tuduhan pengkhianatan.
Dialog-dialog, seruan, serta teriakan terdengar dalam bahasa Indonesia dan lumayan bertebaran di dalam sejumlah adegan. Selain itu dalam sebuah adegan interogasi, Li bahkan berbincang dalam beberapa kalimat bahasa Indonesia dengan Kerr, yang diceritakan menjadi kontak intelijennya di Kedubes AS untuk negara Indocarr.
Aksi kejar-kejaran, saling tembak dan lempar granat juga terjadi di sebuah kompleks apartemen. Walau menggunakan bahasa Indonesia, sayangnya proses pengambilan gambar tidak dilakukan di Indonesia, melainkan di Kolombia. Presiden Kolombia Manuel Santos dikabarkan sempat mendatangi lokasi pengambilan gambar itu.
Pergerakan cerita dalam Mile 22 mengalir dalam tempo cepat. Adegan pertempuran dan perkelahian mengambil porsi lebih dari separuh film. Adegan laga ini dilatari kantor kedubes, jalan raya, kafe, hingga apartemen.
Film yang, menurut rencana, bakal digarap menjadi sebuah trilogi itu memiliki klimaks cerita yang tak terduga. Peran dan akting Iko yang terbilang tenang dan dingin juga membantu menjaga unsur kejutan di akhir film.
Pujian
Selain kepiawaiannya memainkan sendiri koreografi adegan perkelahian dengan jurus pencak silat yang khas, kemampuan akting Iko mendapat pujian. Salah satu pujian datang dari rekan sesama pemeran film ini, Lauren Cohen, yang sebelumnya tenar lewat serial HBO, The Walking Dead.
Oleh Cohen, Iko disebut sebagai generasi penerus aktor laga besar Asia asal Hong Kong, Jackie Chan, yang sejak tiga dekade terakhir berkiprah di industri film Hollywood dan sukses. Diawali dengan bermain sebagai pemeran pembantu, Battle Creek Brawl atau The Big Brawl (1980), Jackie baru memetik kesuksesan hampir dua dekade kemudian, di dua filmnya Rumble in The Bronx (1995) dan Rush Hour (1998), yang sama-sama sukses di pasaran.
Pujian lain juga dilontarkan sang sutradara, yang mengaku sudah lama ingin berkolaborasi dengan Iko setelah dirinya terkagum-kagum menonton sekuel The Raid dan The Raid II. Jika Cohen menyebut Iko sebagai generasi penerus Jackie Chan, Berg menjulukinya seperti layaknya legenda film laga dunia, Bruce Lee.
Buat Berg, sosok Iko di film sangat kontradiktif dan misterius. Di satu sisi, Iko, menurut Berg, bisa menunjukkan ketenangan serta senyum mengembang, tetapi di sisi lain dengan kemampuan bela dirinya Iko juga bisa tiba-tiba menjadi sosok yang ganas dan sangat mematikan.
”Saat menonton dua filmnya (The Raid dan The Raid II) saya sudah berkata dalam hati, saya harus bekerja sama dengan orang ini entah kapan, di mana, dan bagaimana caranya,” ujar Berg seperti ditayangkan akun Nothing But Geek berjudul ”Mile 22 (STX Films) Peter Berg” di laman Youtube.
(Wisnu Dewabrata)