Korea dan Indonesia sama-sama memerdekakan diri dari Jepang pada waktu yang hampir bersamaan, Korea pada 15 Agustus 1945, sementara Indonesia pada 17 Agustus 1945. Arsip dan ingatan tentang hubungan kedua bangsa setelah tahun 1945 ini menarik sehingga disajikan dalam sebuah pameran seni rupa kontemporer Kisah Dua Kota: Arsip Naratif dari Ingatan, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 13-29 September 2018.
Kurator pameran ini, Sunyoung Oh dari Korea, menyandingkan berbagai arsip dengan pendekatan artistik oleh seniman Korea dan Indonesia. Seniman dari Indonesia di antaranya adalah mereka yang tergabung dalam Forum Lenteng (Jakarta), Irwan Ahmett & Tita Salina (Jakarta), Jatiwangi art Factory (JaF) + Badan Kajian Pertanahan (Jatiwangi). Adapun seniman Korea tergabung dalam Mixrice (Seoul), Sulki & Min (Seoul), dan Sunah Choi (Busan, Berlin).
Ini bukan pameran seni rupa seperti biasanya di Galeri Nasional Indonesia yang sering menampilkan karya seni lukis, seni patung, atau seni media lainnya. Banyak arsip masa lampau berupa tulisan-tulisan dipajang seperti kliping majalah dinding.
Beberapa video dokumenter diputar dan turut menghiasi dinding ruang pamer. Pada Kamis (20/9/2018), terlihat beberapa pengunjung larut dan berlama-lama di titik tertentu untuk membaca suatu arsip yang dipajang.
”Brochure Kesenian”
Sebuah buku yang diberi judul Brochure Kesenian, diterbitkan Kementerian Penerangan Republik Indonesia pada 1949, dipajang di salah satu ruang pamer. Kata pengantarnya disusun dan ditandatangani Roeslan Abdulgani. Di bawah nama itu tertera tulisan ”Sekretaris Djenderal”.
Ini salah satu arsip yang mengundang banyak perhatian pengunjung. Di awal pengantar itu tertulis, ”Pernah ada suatu masa, dekat ambang pintu kelahiran Republik Indonesia Merdeka, di mana kehidupan kesenian mendapat tempat dan penghargaan dalam masyarakat ramai kita, bukan karena ia ditentukan dalam masa propaganda, melainkan jiwa dan pikiran ketika itu, bebas dan segar dapat menerimanya.”
Di halaman-halaman berikutnya tertuang narasi para seniman beserta beberapa karyanya pada masa itu. Ini seperti sebuah katalog karya seniman, tetapi menghadirkan sebuah sisipan wawancara, di antaranya oleh Huyung dan S Sudjojono, maestro pelukis Indonesia yang cukup dikenal.
Nama Huyung menjadi magnet buku ini karena ia orang Korea yang kemudian tergabung sebagai anggota militer Jepang. Kemudian, pada masa pendudukan militer Jepang di Indonesia, Huyung dengan nama Eitaro Hinatsu ini dikirim ke Indonesia. Ia bertahan di Indonesia, di antaranya menjadi sutradara film hingga meninggal pada 1952.
Pada awalnya, Huyung datang ke Indonesia bekerja di Perserikatan Oesaha Sandiwara di Djawa (POSD) atau Jawa Engeki Kyokai. Di masa pendudukan Jepang pada 1942-1945, Huyung membuat beberapa film propaganda Jepang, salah satunya berjudul Calling Australia.
Anehnya, film yang dibuat Huyung di Indonesia itu tidak pernah menyebut dirinya sebagai sutradara. Sutradara ataupun para pemeran film ini disebutkan para tahanan Jepang yang terdiri dari warga Belanda, Australia, dan Inggris. Film pun dibikin di kamp tahanan.
Sebagai film propaganda, film Calling Australia bikinan Huyung menggambarkan para tahanan menikmati kehidupan nyaman di kamp tahanan Jepang. Mereka mendapat perawatan kesehatan yang baik, bebas menyiapkan makanan di dapur, minum bir, berenang, melukis, dan main biliar.
Ketika Jepang menyerah kalah kepada pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat pada 1945, Huyung tetap bertahan di Indonesia. Ini ditunjukkan melalui buku Brochure Kesenian tadi.
Di situ dituangkan salah satunya tulisan wawancara Huyung dengan pelukis Sudjojono. Huyung dituliskan sebagai Dr Huyung, mengawali wawancara dengan pertanyaan, ”Saya dengar bahwa pada waktu pendudukan Belanda Mas Djon ada di Prambanan.”
Istilah Mas Djon untuk sebutan nama pelukis Sudjojono. Dari petikan wawancara itu Huyung mempertanyakan kemungkinan adanya bekas-bekas cat di batu-batu Candi Prambanan.
Sudjojono tegas menolak adanya kemungkinan penggunaan cat untuk batu-batu Candi Prambanan. Sudjojono meyakinkan Huyung bahwa para pembuat candi itu mengetahui betapa batu alam sudah memberikan keindahan warnanya tersendiri.
Huyung juga menyergap dengan pertanyaan tentang lukisan Indonesia yang tercerabut dari akar budayanya di masa lampau. Kemudian lukisan di Indonesia sebagai tiruan dari bangsa lain, terutama Barat. Sudjojono tangkas menjawab dengan ilustratif, seperti bangsa Yunani tidak akan pernah lepas dari pengaruh di luar Yunani itu sendiri.
Dari catatan Majalah Aneka, 11 Februari 1952, dituangkan kisah Huyung menjadi sutradara film Antara Bumi dan Langit dengan naskah skenario Armijn Pane. Di situ terjadi proses sensor oleh pemerintah, hingga judulnya pun diubah menjadi Frieda.
Presiden Soekarno
Tidak kalah menarik, ketika menyimak arsip yang bertutur tentang peristiwa kunjungan Perdana Menteri Korea Kim Il-sung ke Indonesia pada April 1965. Presiden RI Soekarno menyambut di Kebun Raya Bogor.
Soekarno sempat menyematkan nama Kim Il-sung untuk nama sebuah bunga anggrek, tepatnya pada 12 April 1965. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai highlight atau hal penting dari puncak keakraban Indonesia dan Korea.
Kurator pameran Kisah Dua Kota: Arsip Naratif dari Ingatan ini pun berhasil memajang berbagai arsip tentang hubungan Soekarno dengan Kim Il-sung waktu itu.
Salah satunya, arsip koran Warta Bhakti terbitan tahun 1952 yang mengangkat berita utama dengan judul ”PM Kim Il Sung Andjurkan! Warisi semangat revolusioner Bung Karno”. Tulisan pendamping di bawahnya, ”Rakjat Korea bangga bersahabat dengan Indonesia.”
Ini gambaran sebagian dari yang dipamerkan dalam pameran ini. Kegiatan ini sebagai usaha untuk menghadirkan arsip yang menyajikan fakta yang nyaris terlupakan dan terabaikan dari sejarah Korea dan Indonesia.
Pameran ini bagian dari Project 7½, yang digagas sejak 2014. Pameran di Jakarta dilaksanakan untuk ketiga kalinya. Dua pameran sebelumnya digelar di Seoul dan Gimhae, Korea.
Melalui pameran ini, dunia seni rupa kontemporer berhasil menunjukkan ketiadaan batasnya. Arsip-arsip itu begitu indahnya ditata sebagai karya seni rupa kontemporer.
Di balik itu, ia tetap menomorsatukan konteks kekinian. Ia memiliki pesan relevan dengan zamannya.