Perupa Sunaryo menjebak waktu dengan bubu. Ia kemudian coba membekukannya untuk memantik kesadaran bahwa hidup manusia sepenuhnya berada dalam perangkap waktu. Sekali memasukinya, selamanya tak ada yang bisa kembali. Pertanyaannya, ke mana tujuan kita setelah berada dalam pusaran waktu?
Karena ia perupa, Sunaryo membangun proyek seni instalasi bertajuk ”Lawangkala” yang dirancang lebih dari setahun lalu. Instalasi itu kemudian mengubah seluruh lanskap Selasar Sunaryo Art Space Bandung yang menjadi wahana pameran tunggalnya, 15 September-23 Desember 2018. Pameran yang dilengkapi beberapa karya pada kanvas ini didesain khusus untuk merayakan 20 Tahun Selasar Sunaryo Art Space. Tidak hanya itu. Di Bale Tonggoh, pada area Selasar, kurator Hendro Wiyanto memilih 20 perupa untuk membuat proyek seni. Karya-karya mereka bukan semata diinspirasi Sunaryo, melainkan lebih karena keterlibatannya pada proyek-proyek seni yang pernah digelar di Selasar.
Saat memberi pengantar pameran”Lawangkala”, kurator Agung Hujatnikajennong tak mau berspekulasi untuk menjawab pertanyaan, ke mana perginya manusia setelah diperangkap waktu? Ia mengakhiri ulasannya dengan mengutip puisi Sapardi Djoko Damono berjudul ”Yang Fana adalah Waktu” (1982). //Yang fana adalah waktu/Kita abadi:/memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga/sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa/”Tapi yang fana adalah waktu bukan?”/tanyamu/Kita abadi//.
Ketika menyatakan waktu itu fana, Sapardi merasa perlu melontarkan pertanyaan untuk meyakinkan diri: apakah benar waktu itu fana, sebaliknya kita yang abadi? Pernyataan dan pertanyaan serupa sesungguhnya terjadi pula pada diri Sunaryo. Ia tak yakin benar bahwa proyek instalasi ”Lawangkala” benar-benar bisa memecahkan persoalan seputar waktu yang jadi bahan permenungannya. Oleh karena itu, ia membutuhkan semacam asosiasi untuk memerangkap waktu. Dalam bahasa Agung Hujatnikajennong, waktu sedang dijadikan ”obyek” bagi penciptaan artistik.
Secara genius, Sunaryo meminjam bubu, yang selalu terbuat dari bambu. Pada bubu, tidak hanya terdapat ruang, tetapi juga waktu yang dibekukan. Maka, ia membangun sebuah terowongan bubu besar dari bambu dilengkapi dengan kelokan-kelokan serta tempelan sobekan kertas, cermin, dan tayangan video. Di dalamnya, para pengunjung seperti digiring untuk mengalami sendiri perihal keberadaan ruang dan waktu. Pada satu kelokan, Sunaryo membangun ceruk yang bahkan bagian ujungnya menembus dinding ruang pameran permanen. Di situ, seolah kita diarahkan untuk sejenak melakukan perenungan tentang keberadaan diri dalam ruang dan waktu yang beku. Pada bagian tertentu kita juga diarahkan untuk melakukan refleksi dengan memandang diri pada cermin dari celah-celah dinding bambu.
Barangkali ini bisa menjawab pertanyaan di awal tulisan ini, ke mana tujuan kita setelah berada dalam pusaran waktu. Bahwa, waktu tak pernah bergerak linier. Ia selalu berkelok-kelok, di mana pada setiap kelokan mungkin terjadi berbagai peristiwa yang kemudian memengaruhi kehidupan kita. Waktu bahkan sering kali bergerak sentrifugal, makin meluas yang bisa jadi membawa kita pada dimensi lain dari kehidupan di tengah semesta.
Dimensi
Sunaryo selalu membuka percakapan dengan mengatakan bahwa ”Wot Batu” (2015) menjadi proyek instalasi seninya untuk senantiasa mempercakapkan waktu. Ia memungut batu-batu dari berbagai wilayah ledakan vulkanis untuk kemudian menyusunnya menjadi karya instalasi yang sekarang menjadi situs baru yang banyak dikunjungi. ”Batu itu abadi pada mulanya, tetapi air yang lembut pun bisa melubanginya,” kata Sunaryo sembari mengutip ungkapan dalam bahasa Sunda.
Jika begitu, siapa yang abadi, waktu atau kita?
Waktu yang terbekukan dalam material vulkanis pun sekali waktu akan tertembus oleh perilaku lembut dari air. Apalagi material bambu yang menjadi pembangun utama ”Lawangkala”. Sifat material ini jauh dari abadi. Keabadian itu, kata Sunaryo, terletak pada legacy. ”Karakter alamiah material tidak seharusnya diubah, tetapi diberi ruang untuk terus bersuara,” katanya.
Suara yang bergema akan senantiasa meninggalkan jejak. ”Dan, jejak itulah legacy,” kata Sunaryo. Ia ingin ”Lawangkala” menumbuhkan kesadaran dalam diri setiap orang setelah memperoleh pengalaman di dalam terowongan waktu. Kesadaran akan waktu, kata Sunaryo, bisa mengubah banyak hal dalam diri manusia. Misalnya, kesadaran menjadi tua bisa menumbuhkan sikap-sikap yang lebih bijak dalam segenap tindakan dan perilaku.
Sesungguhnya ketika sampai di ujung terowongan ”Lawangkala”, Sunaryo menyuguhi pengunjung dengan sederetan karya seni di atas kanvas. Karya-karya abstrak ini seluruhnya mengeksplorasi musikalitas yang melekat pada material, seperti kertas, benang, dan cat. Sunaryo melakukan aktivitas menyayat, menyobek, menoreh, tetapi kemudian menjahitkan benang-benang pada kanvas. Eksplorasi ini dilakukan untuk menggali unsur-unsur nada, melodi, dan ritme yang pada akhirnya membentuk harmoni.
Eksplorasi pada kanvas-kanvas Sunaryo sebenarnya mengarahkan kita pada dimensi lain setelah terombang-ambing di dalam terowongan waktu. Kita menuju sebuah orkestrasi kehidupan harmoni dengan kejutan-kejutan nada, irama, dan melodi di tengah sapuan kuas yang melelehkan material cat. Bukankah tujuan manusia menaklukkan waktu untuk menuju harmoni?
Sebuah arloji di pergelangan tangan Anda menjadi contoh paling konkret untuk mengatakan bahwa pembekuan terhadap waktu bukan untuk mematikannya, tetapi justru menciptakan harmoni antara diri dan ruang di sekitar Anda. Begitu bukan? Jadi, tidak akan ada yang terlambat hari ini atau esok hari jika semuanya mengingat waktu.