Metafora Sinaran Kolaborasi
Perjalanan untuk mencari, berdialektika, berlatih, bertekun, dan berikhtiar ternyata bukan melulu sebuah narasi arti tunggal, melainkan metafora multimakna. Kolaborasi bukan sekadar kerja sama untuk keselarasan, melainkan kemanunggalan.
Apa yang menuntun penari harus juga menjadi penyanyi dan pemusik? Begitu pula saat penyanyi harus menjadi penari dan pemusik serta pemusik harus menjadi penari dan penyanyi. Boleh jadi cahaya yang dari dalam diri memancarkan kesadaran dan kekuatan. Manusia memang multitalenta dan mampu mengaduk, mencampur, dan memperlihatkan keharmonisan.
Mungkin ini yang ingin dipendarkan dalam pementasan Light, Sabtu (15/9/2018), di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya. Puisi, tari, musik, lagu yang disebut berkelok itu merupakan kolaborasi sanggar LeineRoebana (Belanda) dengan ensembel Kyai Fatahillah dan kelompok tari Independent Expression (Indonesia). Selain di Surabaya, Light dipentaskan di Solo, Kamis-Jumat (6-7/9), Yogyakarta (11/9), Bandung (19/9), dan Jakarta (23/9).
Sekitar 90 menit, panggung Gedung Cak Durasim itu menjadi ”milik” hampir 20 pemusik, penari, dan penyanyi. Sulit memahami bagaimana selama itu mereka mampu dengan stabil menari, bernyanyi, dan bermusik secara bergantian. Sinaran energi mereka tetap tinggi karena latihan tekun dan ikhtiar luar biasa untuk mengagungkan kebudayaan manusia.
Siapa bilang tari, musik, dan lagu Eropa tak bisa diselaraskan dengan seni tradisi Indonesia? Mereka yang berkulit putih dan berambut pirang mampu menari dan berucap seperti mantra mengikuti nada-nada ensembel tradisional dan kontemporer yang sesekali menyerempet karakter Sunda, Jawa, atau Bali. Mereka juga mampu dengan lentur menarikan gerak-gerak dalam tradisi lokal Indonesia.
Keselarasan itu rupanya dihasilkan jika ”mengabaikan” latar belakang yang berbeda. LeineRoebana, Kyai Fatahillah, dan Independent Expression tentu punya metode kerja, pengetahuan, kedekatan, watak, disiplin seni, pelatihan, dan tradisi yang berbeda. Jika dihadap-hadapkan apalagi dibenturkan, perbedaan menimbulkan kesalahpahaman, kekacauan, kebingungan.
Mereka menganggap diri sebagai burung yang ingin membangun sarang. Eropa di barat yang modern mungkin diibaratkan kota, sedangkan Asia di timur masih kental nuansa tradisional laksana desa. Di desa, burung membangun sarang memakai bahan alami yang ada, misalnya serat, daun, dan ranting. Jika di kota, mungkin sarang dibentuk dari sedotan, sendok, sampah, korek api, kantong, dan kain. Tiada yang keliru ketika koreografi memadukan unsur tari modern dan tradisional. Juga enak-enak saja didengar saat musik modern dari kibor, piano, drum, harpa, bahkan ”gamelan digital” dimainkan secara padu bersama set gamelan tradisional.
Ada penari LeineRoebana yang juga bernyanyi, berucap, bahkan seperti mengomel dengan banyak omong memakai berbagai bahasa di Eropa. Begitu pula ketika penari Independent Expression berujar hingga caci maki dengan bahasa Sunda-Jawa-Osing. Mereka ingin menunjukkan kebingungan lidah. Gelombang kata, kalimat, yang tidak berarti dan tidak usah dicari maknanya. Namun, mereka ingin sekadar menyampaikan pernyataan dari pengecap yang dibuat keseleo tanpa arti itu.
Jadi, tidak usah heran jika ada lagu tradisional Belanda dan Rusia dilantunkan bersama dengan mantra-mantra, bahkan komposisi populer ”My Funny Valentine” ala Frank Sinatra itu. Ya, itu disambut dengan omelan ndeso bahwa orang-orang asing itu seakan tidak punya pusar, seperti boneka dengan baterai awet yang tanpa capek. Juga ada ungkapan yang sedang viral, misalnya ”masuk Pak Eko” dan kata-kata lokal yang diberi imbuhan sehingga bikin gatal telinga, tetapi lucu mengocok perut.
Kolaborasi
Dalam diskusi seusai pementasan, Andrea Leine dan Harijono Roebana mengatakan, kolaborasi dengan seniman Indonesia sudah berlangsung sejak 2009. Bersama dengan Independent Expression dan Kyai Fatahillah, karya kolaborasi pertama mereka ialah Ghost Track yang mendekonstruksi perbedaan timur dan barat. Dengan semangat serupa, sejak November 2015, mereka mengembangkan karya Light untuk kembali dipentaskan secara global.
”Kami sedang melakukan perjalanan jauh dan semoga penonton menemukan arti perjalanan sendiri dari pementasan,” kata Harijono.
Komposer ensembel Iwan Gunawan mengatakan, set gamelan di Surabaya jelas berbeda dengan yang dimainkan di Solo dan Yogyakarta. Juga tentu berbeda dengan di Bandung dan Jakarta. Dalam set gamelan, pasti ada alat yang ketika dimainkan mengeluarkan bunyi sumbang. Bahkan, gelombang bunyi peralatan musik tradisional Indonesia tentu berbeda dengan peralatan musik Eropa. Ketika sama-sama dimainkan, mungkin akan terdengar selintas perbedaan nada yang amat mikro.
”Dalam pementasan ini, musik bukan ilustrasi tari. Tidak selalu gerak diberi musik,” kata Iwan.
Mungkin selama pementasan, penonton bisa menemukan atau mendapatkan ”ketidaknyamanan” dari gerak tari atau bunyi musik atau lantunan lagu. Namun, para penampil sesungguhnya ingin mendekonstruksi kenyamanan itu sendiri. Gerak yang terlihat nyaman atau bunyi yang merdu, tetapi terus-menerus akan membosankan.
”Kami sebagai penari harus keluar dari kenyamanan untuk mencari dan menemukan kenyamanan-kenyamanan baru,” ujar penari Sandhi Cahayo Narpati.
Mungkin itulah cahaya yang ketika menembus prisma memendarkan spektrum warna. Satu menjadi berbeda. Segala perbedaan bisa diselaraskan untuk kembali menjadi satu.
(AMBROSIUS HARTO)