Robert Marbun ”Panangko Roha”
Pada lukisan dinding ”Scuola di Atene” yang dibuat pada awal abad ke-16 tersua Plato dan Aristoteles—dengan buku besar di tangan masing-masing—berjalan berdampingan di tengah kerumunan kaum terpelajar yang sedang menulis, berpikir, berdiskusi.
Ada yang menafsirkan gambar itu hendak mengatakan kedua tokoh Yunani abad kelima dan keempat sebelum Masehi itu sebagai Bapak Filsafat Barat, dan filsafat-filsafat yang datang kemudian hanyalah catatan kaki dari pemikiran kedua filsuf tersebut.
Dalam musik pop Batak Toba dikenal nama komponis kelahiran awal abad ke-20, Nahum Situmorang (1908-1969), yang karya-karyanya diketahui luas lintas suku lintas bangsa lintas masa. Hampir tak pernah absen karya-karyanya dikumandangkan dalam tiap pertemuan-pertemuan orang Batak, baik suka maupun duka, kapan dan di mana saja komunitas etnisitas ini berada.
Musiknya tak dapat dikelompokkan ke dalam satu mazhab belaka sebab bervariasi dalam ragam genre musik yang dikenal berbagai bangsa di muka bumi ini. Perjalanan waktu membuktikan bahwa karya-karyanya tak lapuk di hujan dan tak lekang di panas.
Makin paripurnalah komponis ini ke dalam sumsum orang Batak Toba sebab lirik sekitar 140 karyanya [125 di antaranya dikumpulkan dalam buku Nahum’s Songs, Kumpulan Lagu Tapanuli Modern Ciptaan Nahum Situmorang (1994 dan 2002)] mencakup hampir seluruh semesta hidup mereka.
Kita tahu setelah Plato dan Aristoteles, dari zaman ke zaman lahir filsuf-filsuf dengan pemikiran yang lebih kompleks. Filsafat Barat tidak berhenti pada kedua manusia Yunani kuno itu.
Kita tahu setelah Nahum dan rekan-rekan sepantarannya, lahir pencipta-pencipta lagu Batak Toba yang, melalui rekaman dan panggung-panggung khusus lagu-lagu pop etnisitas tersebut, karya-karya mereka dikenal luas dan diperdengarkan untuk mengisi ulaon-ulaon, suka maupun duka, dari bonapasogit sampai ibukota.
Dakka Hutagalung, Jack Marpaung, Tagor Tampubolon, Tigor Gipsy Marpaung, Andolin Sibuea, Iran Ambarita, Robert Marbun, dan seterusnya.
Deretan nama itu masih panjang. Seorang promotor pertunjukan musik tak akan kehabisan bahan selama 25 tahun untuk menampilkan pencipta-pencipta lagu pop Batak itu sebagai ”bintang” utama bila periode pertunjukannya dibuat tahunan.
Bernard Banjarnahor, yang dikenal sebagai penyanyi pop dan salah satu anggota kelompok vokal RNB Singers, tahun ini memulai kiprahnya sebagai organizer pertunjukan dengan pencipta lagu sebagai bintang utama.
Yang perdana telah berlangsung pada Minggu, 23 September 2018 di Balai Toba Dream, Jakarta dengan Robert Marbun sebagai figur sentral.
Bernard mengajak komponis Tarida Hutauruk sebagai sutradara untuk menata musik, mengatur alur performa, sekaligus merancang alur pertunjukan.
Pencipta lagu pop terkenal, ”Dirimu Satu”, itu hadir di panggung pada keyboard bersama Palito Band. Tim kreatif ditangani Chokie Napitupulu.
Momentumnya adalah 33 tahun berkarya Robert Marbun sebagai pencipta lagu. Robert mengklaim bahwa sejak 1985 sebagai tahun pemula berkarya dengan ”Mabalu so Martujung” selaku batu penjuru, ia telah menciptakan lebih dari 600 lagu. (Sebaiknya Robert menerbitkan buku kumpulan semua lagu-lagu tersebut lengkap dengan notasi musiknya; selain sebagai nomor bukti, juga menjadi dokumen berharga dalam dunia literasi.)
Pada malam pertunjukan yang diberi tajuk ”Ditangko Ho ma Rohangki” (Engkau Curi Hatiku), Robert Marbun mengetengahkan 23 lagunya. Para pembawa lagu itu, menurut Robert, adalah ”penyanyi-penyanyi papan atas”. Yang ia maksud: Berlian Hutauruk, Rita Butar-butar, RNB Singers, Joel Simorangkir, New Ambisi, Nainggolan Sisters, Joy Tobing, Putri Ayu Silaen, Putri Silitonga, Romansa Trio, sampai (Grup Vokal) Asapos.
Dari lagu-lagu yang diperdengarkan pada malam itu serta yang tercatat dalam buku program, tampak bahwa Robert masih terikat dengan kosmologi Batak pada umumnya dengan metafora alam (”Sidumadang Ari”), lingkungan danau dan dinamikanya (”Parau na Metmet”, ”Memori di Bakara”), dan simbol-simbol kultur Batak (”Sulangan Mangan”, ”Salendang Parpadanan”, ”Mandar ni Dainang”) untuk menggambarkan hubungan-hubungan sosiologis terkait dengan ibu, anak, dan kekasih.
Ada juga pengalaman personal seperti ”Mey Hwa” (teman perempuan Tionghoa semasa di sekolah menengah di Sidikalang, tempat kelahirannya) dan ”Martina, I Love You” (perempuan Jerman yang dijumpainya sebagai turis di Pulau Samosir).
Yang menarik dari segi lirik ialah bahwa Robert yang lahir di Laeparira, Sidikalang, Sumatera Utara, pada 6 Juni 1962 itu masih fasih menuturkan bahasa verbalnya dalam diksi maupun ungkapan Batak Toba yang cenderung orisinal bahkan arkais.
Sayangnya, ketika dituliskan dalam aksara Latin, lirik-lirik itu ”jatuh” ke tradisi penulisan teks lagu ala—yang dalam istilah ahli filologi Batak Manguji Nababan—”karaokean”. Sangat berbeda dengan ejaan yang dikenal dalam Bibel berbahasa Batak Toba.
Ditakko ho ma rohakki, inilah yang dalam istilah Manguji Nababan sebagai ejaan karaokean, berbeda dengan ditangko ho ma rohangki jika kita mengacu pada ejaan yang tersua dalam Bibel maupun kamus susunan Warneck dan Sarumpaet.
Tentang ini, Robert dengan teguh pendirian mengatakan bahwa ini adalah kehendak pasar yang ditegaskan industriman perekam lagu-lagu pop Batak dalam beberapa tahun terakhir ini.
Dalam malam apresiasi 33 tahun berkarya itu, Robert sebagai tokoh sentral diberi ruang dan waktu untuk membicarakan ihwal keberkaryaannya dalam bentuk tanya jawab di panggung antara sang komponis dengan pembawa acara, Ronnie Sianturi dan Vanda Hutagalung.
Bahwa ia lahir tanpa denyut jantung, sulit bicara sampai berusia 10 tahun, tapi pada umur enam tahun ia sudah bisa bernyanyi. Bahwa sampai remaja, saban hendak tidur, kepadanya diperdengarkan lagu-lagu gereja dari Buku Ende oleh ibunya yang piawai bernyanyi dan memimpin paduan suara. Dan di usia remaja ia sudah fasih membaca notasi musik.
Apresiasi ”33 Tahun Berkarya Robert Marbun” sebagai sebuah tontonan dikemas dengan baik oleh Tarida Hutauruk selaku sutradara pertunjukan--mengalir baik secara musikal maupun secara narasi. Tarida berhasil manangko roha, ’mencuri hati’, penonton yang memenuhi Balai Toba Dream itu.