Suguhan untuk Generasi Mapan
Synchronize Fest 2018 yang berlangsung pada 5-7 Oktober di Gambir Expo Kemayoran Jakarta, dalam beberapa sisi dapat dibaca sebagai tontonan generasi mapan. Mereka yang dulu tak mampu menonton konser band-band kesayangan, kini meluapkannya dengan datang berdua atau bahkan beramai-ramai.
Pemandangan itu tampak sekali terutama pada malam terakhir, Minggu (7/10/2018), ketika Jamrud, Padi Reborn, dan Dewa 19 Feat Ari Lasso & Once Mekel tampil berurutan di panggung yang sama. Penonton membeludak melampaui jumlah penonton di lima panggung lainnya.
Luapan penonton sudah mulai terlihat sejak Jamrud tampil. Band asal Cimahi, Jawa Barat, yang lahir 1984 dan mulai terkenal akhir 1990-an ini mengajak bernostalgia lewat lagu-lagu rancak seperti ”Putri” dan ”Surti-Tejo”, juga lagu melankolis, ”Pelangi di Matamu”.
Penonton bernyanyi bersama dari awal sampai akhir. Mereka juga kadang berjingkrak, bahkan moshing. Sebagian dari mereka tak beranjak saat Jamrud meninggalkan panggung, bertahan menunggu Padi Reborn tampil.
Ketika Fadli, Piyu dan rekan-rekannya muncul, penonton makin ramai. Bedanya, perilaku penonton kali ini lebih kalem seperti karakter lagu-lagu Padi.
Para penonton lebih banyak melambai-lambaikan tangan ke udara. Ada juga yang bergoyang lamban bersama pasangan sambil berpegangan tangan saat lagu ”Maha Dewi”, ”Semua Tak Sama”, dan ”Kasih Tak Sampai” dinyanyikan. Sesekali berjikrak juga pada lagu ”Sobat”.
Hal yang sama terlihat saat Dewa 19 muncul dengan lagu-lagu lawas mereka seperti ”Kangen”, ”Restoe Boemi”, dan ”Separuh Napas”. Ari Lasso dan Once Mekel menyeret penonton ke masa-masa SMP, SMA, atau masa kuliah. Suara Ari Lasso yang masih sangat prima menyempurnakan nostalgia malam itu.
Selama 2,5 jam band kelahiran Surabaya ini membawa ribuan penggemarnya hanyut dalam barisan lagu terbaik yang pernah merajai panggung musik Indonesia selama tiga dekade. Penonton pun seakan diajak menjelajah lorong waktu, meniti kembali masa-masa penuh kenangan dalam hidup mereka.
Once bergabung di pertengahan dengan lagu ”Roman Picisan”. Seperti kisah perjalanan Dewa 19, Once yang berkenalan dengan Ahmad Dhani pada 1997, resmi menjadi vokalis dan meluncurkan album Bintang Lima. Lagu ”Roman Picisan” merupakan salah satu lagu yang populer dari album Bintang Lima.
Penonton tampak larut. ”Menangislah jika harus menangis karena kita semua manusia...,” lontar Hapsari (28) ikut melantunkan penggalan syair lagu ”Air Mata”. Dewa 19 yang kini kerap tampil dalam format reuni, memang belum kehilangan daya sihir mereka.
Dewa 19, Padi, dan Jamrud berjaya dalam kurun waktu hampir bersamaan, akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Mayoritas penonton tiga band itu pada malam terakhir Synchronize Fest adalah mereka yang berusia antara awal 30-an dan awal 40-an. Artinya, ketika band-band itu di puncak kejayaan, mereka masih sekolah atau kuliah.
Kadang kala, ketika lagu tertentu dinyanyikan, penonton berceloteh tentang kenangan. Entah itu saat jatuh cinta atau patah hati. Ada juga yang bercerita tentang beratnya tugas kuliah tapi beban jadi lebih ringan ketika mendengarkan lagu Padi atau Dewa 19. Pendek kata, lagu-lagu mereka jadi pengiring masa duka dam suka. Inilah nilai jual pada lagu-lagu nostalgia.
“Lagu-lagu Padi dan Dewa, favorit banget. Menemani masa belajar dan pacaran. Dulu hanya mendengarkan dari kaset atau radio karena tak punya uang untuk nonton konser. Sekarang sudah punya cukup tabungan jadi nonton ramai-ramai,” kata Rofiq (37), karyawan yang bergaji belasan juta.
Natalie (35), penonton yang lain menambahkan, ”Aksi panggung mereka luar biasa meski para personel tak lagi muda. Suara vokalis Jamrud, Krisyanto yang serak, tidak berubah sama sekali,” kata Natalie.
Sabtu malam, pemandangan serupa juga terjadi saat band rock legendaris, God Bless, tampil. Para penonton usia matang lebur bersama generasi milenial yang ternyata juga tak asing dengan lagu-lagu God Bless. Begitu juga saat band asal Yogyakarta, Sheila on 7 tampil.
Setiap kali Duta dan kawan-kawannya membawakan lagu, mereka berjingkrak dan bernyanyi. Salah satunya ”Sahabat Sejati”. Begitu juga saat lagu sendu ”Sephia” dilantunkan. Nuansa muram turut menjalar
Perbanyak penampil
Di helatan pertama Synchronize Fest tahun 2016, tercatat ada 102 penampil main bergantian selama tiga hari. Penontonnya kala itu sekitar 40.000 orang. Angka-angka itu terus bertambah setiap tahun. Tahun ini, jumlah penampil bertambah menjadi 118 band/musisi, dengan satu panggung tambahan sehingga menjadi enam panggung.
Jika diamati, pengunjungnya pun makin ramai. Penyelenggara, sebagaimana diungkapkan penggagas Synchronize Fest, David Karto, menargetkan penonton tahun ini mencapai 70.000.
”Kenapa Synchronize bisa mendapat respons baik begitu cepat? Karena musik (yang tersaji di festival ini) tidak terkotak-kotak secara jenis, maupun generasi penampilnya. Musik Indonesia memang keren. Di festival ini kami mengawinkan musik ragam dekade. Interaksi antara musisi dan penontonnya pun terbilang cair,” kata David.
Memanggungkan musisi dari beragam dekade, lanjut David, memberikan manfaat lain. Para pemusik dari era terdahulu bisa mengenal penerusnya pada zaman kiwari. ”Perkenalan (antargenerasi) itu yang bisa mendorong terciptanya ekosistem musik nasional untuk bisa bergerak bersama,” ujar salah satu pendiri label rekaman Demajors ini.
Konsep pertemuan musisi antargenerasi itu diterjemahkan kurator festival Rizky Aulia menjadi tiga golongan, yaitu band yang menyajikan nuansa nostalgia, band aktif yang menyuguhkan karya termutakhir, maupun band anyar yang diperkirakan moncer pada masa mendatang. ”Kami mencari sesuatu yang bisa mewakili perjalanan musik Indonesia,” kata Ucup, panggilan Rizky.
Dengan rumusan itu, Ucup dan tim penyelenggara sepakat memanggungkan Dewa 19 yang mempertemukan dua vokalis dari era berbeda, yaitu Ari Lasso dan Elfonda ”Once” Mekel. Terselip pula dalam daftar penampil grup rap belia Manumata asal Kota Ambon, Maluku.
Melihat rentang pengalamannya, band-band bernama besar—Naif, Soneta dan Rhoma Irama, juga Dewa 19—mendapat kemewahan tampil di panggung utama sebagai pemuncak rangkaian acara per hari. Pembesut musik elektronika, seperti Diskopantera dan Javabass Soundsystem dipasang pada akhir hari sebagai pengiring bagi penonton yang hendak melepas lelah sebelum meninggalkan arena.
Paparan Ucup menguatkan bahwa kalangan mapan layak dibidik sebagai pangsa pasar. Sebab, siapa saja orangnya, selalu senang mengulang masa indah. Bagi pelaku industri pertunjukan, nostalgia menjadi salah satu nyawa pergelaran musik. Asal dikemas dan dipromosikan dengan baik, pertunjukan beraroma nostalgia selalu diserbu.
Selain Dynamic Stage, panggung Gigs Stage, arena sempit di dalam ruang, juga menguarkan nuansa nostalgia sekaligus jadi ajang pamer bagi band-band yang masih bergulat di kancah musik lokal. Tak mengherankan, di arena itu, penonton bisa melihat aksi band lawas Southern Beach Terror, Seek Six Sick, dan The Sastro yang aktif pada dekade silam. Di situ juga dimunculkan band anyar semacam Tarrrkam, Grrl Gang, dan Pelteras.
Penyelenggara menggandeng kolektif Studiorama untuk memilih penampil di Gigs Stage. Kolaborasi keduanya baru terjadi tahun ini. Studiorama, perkumpulan pemuda di Jakarta yang sering menggarap pentas arena kecil, dianggap akrab dengan kancah musik yang tidak terlalu pasaran.
”Beberapa band yang kami pilih mewakili scene musik di setiap kota Indonesia dari berbagai genre. Beberapa dari mereka sudah lama enggak manggung. Ini representasi musik bawah tanah,” kata Yogha Prasiddhamukti dari Studiorama.
(Hilmi Faiq/Herlambang Jaluardi/Runik Sri Astuti/Dwi As Setianingsih)