Pementasan lakon Ina Lewo oleh Teater Nara, Flores Timur, menjadi ukuran betapa wilayah timur Indonesia butuh lebih banyak sentuhan. Dari sisi artistik, koreografi, penulisan naskah, ataupun akting, masih perlu banyak kritik konstruktif. Akan tetapi, dari sisi semangat, teater ini layak mendapat apresiasi.
Ose Puru Bean (Rin Wali) bersama anak-anaknya meninggalkan kampungnya menuju kampung atas setelah suaminya (diperankan Hero Maran) tewas di tangan anak buah Tuan Saudagar, yakni Fransisco dan Alberto. Mereka berbekal lurit, bilah yang biasa mereka gunakan untuk menenun. Akan tetapi, perjalanan mereka tidak aman karena musuh terus mengejar.
Fransisco dan Alberto menggunakan cara-cara kotor untuk dapat menangkap Ose. Dia menghasut Kopong, kekasih dari salah satu putri Ose. Dari Kopong inilah mereka mengetahui persembunyian Ose beserta anak-anaknya. Pada akhirnya, Ose tewas di tangan musuh.
Ina Lewo, yang dipentaskan pada Minggu (14/10/2018) dalam rangkaian Pekan Teater Nasional 2018 di Taman Ismail Marzuki, berangkat dari cerita rakyat tentang seorang janda yang seksi. Cerita ini dikombinasikan dengan sejarah datangnya orang-orang Eropa ke Pulau Solor di Flores Timur untuk menguasai cendana. Strategi adu domba yang diterapkan Tuan Saudagar dalam cerita ini menjadi magma dramaturgi lakon Ina Lewo.
Silvester Petara Hurit (37), sebagai sutradara, secara genial mengonstruksi logika cerita secara lebih masuk akal. Dia mentransformasikan anasir mitologi ke dalam plot yang sesuai dengan logika akademik, logika modern. Misalnya, dalam cerita aslinya, Ose ditemani binatang hutan. Dalam Ina Lewo, Silvester menggambarkan Ose sebagai perempuan biasa tetapi mempunyai ketetapan hati kuat, yang ditemani anak-anaknya.
Simbolisasi lurit sebagai senjata juga sangat kuat untuk menunjukkan daya juang seorang pahlawan. Bahwa perempuan yang agung itu senantiasa menyatukan untaian-untaian benang menjadi selembar kain tenun yang berdaya guna. Dengan lurit, dia menempelkan kehidupan pada helai-helai benang yang semula tak seberapa berguna itu.
Kini dengan lurit, dia mempertahankan kehidupan dan martabatnya sebagai manusia. Tak rela tunduk pada ancaman orang asing. Meskipun pada akhirnya dia tewas, semangat juangnya terus dikenang.
Alur cerita yang linier dengan pendekatan realisme memudahkan pemirsa menyimak jalan cerita. Tidak semua dialog dapat dipahami maknanya meskipun dituturkan dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, itu dapat diabaikan.
Nyawa lain dalam lakon ini adalah penonjolan nyanyian rakyat dan mantra Lamaholot. Lamaholot merupakan kelompok masyarakat yang kini tersebar di Solor, Adonara, Lembata, Alor, dan Flores Timur. Para pemain Teater Nara adalah orang Lamaholot. Kekayaan musikalitas lokal tadi memberi warna lain, pertunjukan lebih bernyawa.
Di sisi lokal ini, para pemain tidak kesulitan dalam mengekspresikannya. Sebab, mereka lahir dan tumbuh dalam budaya tersebut sehingga menjadi referensi utama secara musikal ataupun koreografi. Dengan kata lain, mereka menjadi diri sendiri ketika itu.
Sisi bolong
Justru yang kedodoran di sisi lain, seperti pencahayaan, penulisan naskah, akting, dan penataan properti. Misalnya, properti hampir tidak berubah sepanjang pertunjukan, padahal berdasarkan cerita para pemain ini mestinya berada di tempat yang berbeda. Di beberapa bagian tampak sekali pemain seperti kesulitan menghafal naskah.
”Memang banyak yang butuh perbaikan dan pengembangan, termasuk dramaturginya. Akan tetapi, Teater Nara ini layak diapresiasi semangatnya,” kata Sobar Budiman, salah satu anggota Komite Teater dari Dewan Kesenian Jakarta.
Dia menambahkan, keberadaan Teater Nara merupakan sinyal bagus bagi perkembangan teater di Indonesia timur. Jika banyak terlibat dalam pergulatan wacana teater di Indonesia disertai peningkatan fasilitas, teater di Flores Timur ini akan tumbuh bagus.
Meskipun sejak 1950-an teater sudah ada di Flores Timur, perkembangannya tidak signifikan, tetapi meninggalkan bekas yang jelas. Silvester merupakan salah satu generasi yang terpapar teater pada era 1990-an, kemudian ingin membangkitkan gairah teater dalam lanskap yang lebih luas.
Silvester menyadari banyak hal yang perlu diperbaiki. Maklum, para pemain Teater Nara ini sebagian baru sekali dua kali manggung. Mereka juga sejatinya bukan pemain teater, melainkan guru, pegawai negeri sipil, ibu rumah tangga, bahkan pengangguran. Tempat latihan pun tak ada, kecuali gedung kelurahan.
Selain itu, sebagaimana ditulis Abe dalam katalog Pekan Teater Nasional 2018, para pemainnya tinggal berjauhan. Ada yang di Adonara sehingga perlu menyeberangi lautan tatkala harus berlatih di Larantuka, Flores Timur. Ada juga yang tinggal di Pulau Solor. Saat gelombang laut tinggi, latihan sering molor.
Menginsafi kondisi tersebut, Silvester menempuh jalan lain. Dia tidak menempatkan para pemain sebagaimana pemain lain yang harus rutin latihan di studio. ”Saya mengolah dari yang mereka punya. Ada yang bisa bernyanyi, bersyair, dan lainnya, itu menjadi modal,” kata Silvester.
Ia menambahkan bahkan teaternya masih kesulitan orang yang mampu menerjemahkan naskah ke dalam tata cahaya dan properti yang artistik. Kekuatan utama cerita-cerita yang dia angkat adalah bertutur dan bernyanyi. Sebab, ini tradisi yang sangat kuat di masyarakat.
Silvester yang lulusan Jurusan Teater STSI Bandung mendirikan Teater Nara 2016. Dia tengah menyemai teater di Indonesia timur dengan mengedepankan kekuatan lokal Flores Timur. (Mohammad Hilmi Faiq)