Lukisan Sebelum Tidur
Ketika seni dipisahkan dari fungsinya sebagai perayaan, ia menjadi eksklusif, hanya dinikmati oleh komunitas elitis. Bahkan, seni rupa hanya mengisi ruang-ruang museum yang dingin di Eropa. Ketika para seniman ”memberontak” terhadap perlakuan para kurator museum, tumbuhlah galeri pada abad ke-18. Di ruang samping ini, para seniman secara lebih bebas mengekspresikan bahasa seninya.
Pameran Seni Abstrak Indonesia yang berlangsung sepanjang Oktober 2018 di Hotel Hyatt Regency Yogyakarta boleh jadi penghancuran ke sekian kalinya terhadap eksklusivitas seni rupa.
Selain digelar di hotel berbintang lima (bukan museum atau galeri), pameran ini juga digelar di lorong-lorong hotel, tempat tamu berlalu-lalang. Lukisan bahkan digantung di dekat lift dan toilet, tempat para tamu biasanya selalu lewat.
Dinding tempat lukisan karya empat perupa Indonesia, yakni Arief Hanung TS, Dedy Sufriadi, Dwi Haryanta, dan Seppa Darsono, digantung tidak lazim.
Dinding-dinding itu bukan dibangun khusus untuk menggelar pameran. Ia hanya dinding koridor, yang menjadi akses tamu menuju kamar masing-masing, sebelum akhirnya tidur.
Nunuk Ambarwati dan Rismilliana Wijayanti dari InCoPro sengaja memilih Hyatt Regency Yogyakarta sebagai situs pameran dengan pertimbangan mendekatkan seni rupa kepada publik awam. Jika ia mau, di Yogyakarta tak kurang-kurang jumlah galeri yang bisa memamerkan karya perupa setiap saat.
Akan tetapi, lorong-lorong hotel menjadi situs yang menantang. Nunuk menyimpulkan bahwa lukisan-lukisan yang dipajang di lorong-lorong itu harus bisa menyatu menjadi interior hotel. ”Pilihannya lukisan abstrak walau sebenarnya tamu di Hyatt sudah familiar dengan lukisan,” kata Nunuk.
Peletakan seni rupa sebagai bagian dari interior tidak serta-merta boleh diartikan telah mendegradasi nilai sebuah karya. Pada dasarnya, karya seni rupa memang memiliki fungsi memperindah interior sebuah ruangan walau dalam sejarahnya galeri-galeri yang muncul di Eropa lahir sebagai reaksi atas ”keangkeran” kurasi para kurator museum.
”Pemberontakan” itu muncul didasari oleh hegemoni terhadap nilai. Seolah nilai-nilai seni yang diterapkan para kurator museum menjadi satu-satunya alat ukur untuk mengadopsi atau mencampakkan sebuah karya seni.
”Tantangannya, bagi seniman dan art management, bagaimana meletakkan karya sebagai bagian dari interior, tetapi mencuri perhatian publik,” ujar Nunuk.
General Manager Hyatt Regency Yogyakarta Nyoman Gede Nurcahyadhi membentuk Hyatt Art Space untuk mewadahi keinginan hotelnya memberi tempat bagi perupa Indonesia. Meski memiliki segudang perupa, di Yogyakarta, kata Nurcahyadhi, sulit bertemu dengan para perupa pemula.
”Akhirnya banyak di antara mereka kehilangan idealisme,” kata Nurcahyadhi yang juga pencinta seni. ”Kami ingin ikut berperan memberi ruang kepada para seniman untuk mewujudkan Yogyakarta yang ramah bagi dunia seni,” tuturnya.
Lukisan abstrak
Empat perupa berbeda latar belakang kemudian menggantung karya-karya abstrak, yang dalam beberapa sisi mendekati gaya ungkap kaum impresionis.
Karya-karya Arief Hanung, misalnya, melakukan pendekatan lanskap alam dengan menggoreskan impresi-impresi tentang perbukitan, gunung, dan pepohonan. Lanskap yang digores Arief menjadi lebih mengesankan karena ia memasukkan pengetahuannya tentang matte painting, semacam teknik layering, yang ia dapatkan dari kedekatannya dengan dunia film.
Selain itu, karya-karya Arief juga sangat fotografis. Ia menempatkan sudut pandang dan pewarnaan yang berlapis-lapis sehingga memberi kedalaman yang mengesankan.
Dalam balutan bentuk agak berbeda, perupa Seppa Darsono menggunakan bahasa naif untuk menangkap peristiwa di seputar dirinya. Pertemanannya yang akrab dengan seorang jurnalis membuat Seppa selalu tampak up to date dalam menangkap fenomena sosial.
Ia, misalnya, membaca fenomena kehadiran Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam lukisan bertajuk ”Penjual Ikan dari Pangandaran”. Dalam situasi berbeda ia melukis ”Dulunya Ikan Melimpah” dengan sosok ikan besar dan gemuk, sementara perahu-perahu di sekitarnya tampak merana.
Perupa Dedy Sufriadi, dengan modal pendidikan pascasarjana di ISI Yogyakarta, menjadikan kanvasnya sebagai wadah bagi teks. Dalam karya-karya abstraknya, Dedy bahkan melakukan deformasi terhadap figur-figur menjadi sebentuk teks. Coba saja simak karyanya bertajuk ”Ancient Figure, Mask and Neo Profile/Flying Object #1”. Lukisan tersebut berseri sampai bagian ketiga.
Ujung kuas dan bahkan palet perupa kelahiran Palembang ini seolah pena. Ia menulis dengan kuas, tetapi dalam rupa teks yang menjadi gumaman-gumaman. Terkadang pula menjadi teriakan, yang disapu dengan warna-warna primer. Kehadiran teks yang menguasai ruang itu suatu kali memang membuat permukaan karya menjadi rumit dan sulit diurai.
Sementara perupa lainnya, Dwi Haryanta, mengekspresikan diri dengan lebih sederhana. Ia tidak berniat muluk-muluk menangkap kegelisahan dirinya.
Bahkan, untuk menggambarkan lukisan ”Berimaji”, Dwi hanya memunculkan kepala seseorang dari arah samping yang hampir memenuhi bidang kanvas. Pada seluruh bagian kepala itu, kecuali mata, Dwi menyapukan cat dengan berbagai teknik, terkadang membiarkan cat meleleh, terkadang pula menyapunya dengan palet atau kuas.
Meski keempat perupa sepakat bergerak di jalur abstrak dengan berbagai variannya, satu pertimbangan yang pokok adalah lukisan-lukisan ini sangat mungkin dilihat secara sambil lalu.
Lukisan abstrak sebagian besar memendarkan impresi, sebagaimana pula puisi. Ia hadir tidak untuk dimengerti, tetapi ditangkap kesannya melalui penginderaan perasaan.
Dan, perasaan itulah yang kemudian dibawa para tamu sebelum akhirnya memasuki kamar tidur masing-masing. Selamat tidur... .