Sastra untuk Rakyat
Sastra selalu distigma sebagai aktivitas yang sia-sia. Para pelakunya dicap hanya hidup dalam dunia awang-awang, yang justru makin menjauhkan dirinya dari masalah hidup sesungguhnya. Aruh Sastra Kalimantan Selatan XV, 6-10 November 2018, di Kotabaru, menjawabnya dengan mengerahkan ratusan pelajar dan seniman untuk menerobos batas-batas kenyataan dan imajinasi.
Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) telah dihelat sejak 15 tahun terakhir. Sejumlah 13 kabupaten/kota secara bergantian menjadi tuan rumah. Sebagai sebuah aruh (pesta besar), tiap-tiap kabupaten/kota diberi kewenangan untuk mengisi konten sesuai dengan potensi daerah masing-masing.
Model seperti ini mengingatkan kita pada kompetisi dalam olahraga, yang lazimnya disebut Pekan Olahraga Provinsi (Porprov). Justru dengan mengambil struktur sebagaimana dalam olahraga, ada kewajiban tiap-tiap daerah mengirimkan ”delegasi” sastrawan dan seniman ke kota di mana Aruh Sastra digelar. Setelah Kotabaru, pesta para sastrawan akan berlanjut di Kota Tanahlicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, 2019.
Puluhan pelajar se-Kotabaru, Sabtu (10/11), mengikuti kelas puisi, fiksi, dan teater di Pantai Gedambaan, Sarang Tiung, kira-kira 15 kilometer dari Kotabaru.
Para pelajar yang terpilih sedang mengikuti Kemah Sastra selama tiga hari di pantai yang menjadi obyek wisata utama di kabupaten itu. Di tepi pantai, seniman YS Agus Suseno memandu para pelajar memahami langkah-langkah dalam berteater. Agus berangkat dari teater tradisional Kalimantan Selatan bernama Mamanda, sejenis ketoprak di Jawa.
”Jangan lupa ini bukan soal akting, tetapi menghayati karakter. Artinya menghayati kehidupan juga,” kata Agus. Para pelajar yang duduk melingkar di atas pasir tampak tekun mendengarkan.
Di lokasi lain sastrawan Sandi Firly memberikan arahan langkah-langkah dalam menulis novel atau cerita pendek. Ia memberikan tugas setiap pelajar untuk menemukan gagasan sebuah karya, lalu menuliskannya dalam secarik kertas. Di lokasi lain, penyair Ali Syamsudin Arsi memandu para pelajar langkah-langkah dalam menulis puisi dan kemudian membacakannya.
Kemah Sastra secara khusus membidik para pelajar, yang ingin mengembangkan kreativitas lewat menulis. ”Sebenarnya menulis itu berarti membangun kesadaran tentang penghayatan terhadap hal-hal di sekitar hidup kita,” kata Sandi Firly. Itu yang membuat sastra, kata Sandi, bukan khayalan, melainkan mengandalkan imajinasi dalam mengembangkan kreativitas.
Ketua Panitia Aruh ASKS XV Helwatin Najwa mengatakan, perhelatan ini juga menggelar festival teater tradisi Mamanda se-Kalsel, lomba baca puisi, lomba menulis puisi dan cerpen, lomba musikalisasi puisi, sarasehan, dan kompetisi film puisi. ”Setidaknya semua kegiatan melibatkan sekitar lebih dari 300 peserta, termasuk delegasi dari banyak kabupaten dan kota,” kata Helwatin.
Pelaksana Tugas Kepala Bidang Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kotabaru Rudi Nugraha mengatakan, Kabupaten Kotabaru, yang sudah dua kali menjadi tuan rumah, setidaknya menganggarkan dana sekitar Rp 500 juta. ”Dana ini pas-pasan. Selain untuk operasionalisasi selama acara, panitia juga menerbitkan buku antologi puisi yang akan menjadi dokumen perhelatan ini,” kata Rudi.
Birokrasi
Bukan main-main, ASKS XV dihadiri Asisten III Gubernur Kalsel H Heriansyah dan Sekretaris Daerah Kotabaru Said Akhmad, kemudian juga para sastrawan senior seperti HE Benyamine, Iberamsyah Barbary, Fajar Jarak, Ibramsyah Amandit, dan Abdul Karim. Selain itu, hadir pula para sastrawan yang lebih muda seperti Sandi, Jamal T Suryanata, Agus Suseno, dan Miranda Seftiana.
Paduan antara kalangan birokrasi dan seniman ini menjadikan ASKS satu-satunya festival sastra yang bisa bertahan selama lebih dari satu dekade.
Said Akhmad mengatakan, Kotabaru terus berkomitmen memfasilitasi Aruh Sastra Kalsel sampai putaran yang kedua ini. ”Karena sastra itu cermin dari kondisi rakyat,” katanya.
Cara ASKS merayakan seni, khususnya sastra, memperlihatkan keinginan kuat menghapus stigma yang selama ini mendera dunia sastra. Sastra memang bukan ilmu terapan, yang bisa menuai hasil seketika seperti ilmu politik atau ekonomi. Sastra, kata Benyamine, secara spesifik masuk dalam gugusan ilmu humaniora.
”Oleh karena itu, tugasnya memanusiakan, bukan hanya manusia, melainkan juga binatang, tumbuhan, dan alam raya,” kata penyair senior asal Banjarbaru, Kalimantan Selatan, ini. Maka, tambahnya, idiom-idiom yang digunakan dalam sastra sebagian terbesar berupa personifikasi atau metafora yang menghidupkan benda-benda. ”Intinya adalah penghayatan yang subtil terhadap nilai-nilai hidup,” katanya.
Bertolak pada pemahaman inilah, ASKS tak sekadar menjadi agenda rutin para aparat birokrasi untuk ”menghabiskan” anggaran daerah dengan ”membahagiakan” para sastrawan. Misinya yang terpenting mengangkat harkat dan derajat manusia, terutama rakyat di Kalsel, dengan cara-cara literatif.
”Setidaknya muncul rasa bangga menjadi bagian dari rakyat di Kalsel,” kata Sandi, yang hampir setiap tahun menghadiri ASKS di sejumlah kota.
Pengertian sastra untuk rakyat tidaklah harus berarti dengan sastra lalu rakyat berdaya. Sastra pada intinya medium yang membangun imajinasi sebagai landasan menuju manusia kreatif. Dan, kreativitas tidak harus berupa karya sastra, tetapi juga karya-karya lain di bidang kreatif yang kemudian menjadi tumpuan hidup rakyat. Tidak salah jika di Pantai Siring Laut, Kotabaru, dibangun panggung megah yang bersisian dengan wisata kuliner dan teluk yang membelah Pulau Laut dengan daratan Pulau Kalimantan.
Di situlah para seniman bergabung untuk merayakan sastra bersama rakyat, yang setia sampai jauh malam menyimak pementasan Mamanda, yang penuh ajaran hidup.