Menatap Bunga Penutup Abad
Teater menjadi kendaraan untuk mengenalkan sastra. Ini yang dikatakan Happy Salma, produser pementasan teater berjudul ”Bunga Penutup Abad” dengan naskah hasil alih wahana dua novel tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
Lakon tersebut dipentaskan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 17-18 November 2018. Pementasannya untuk ketiga kalinya setelah di bulan Agustus 2016 di Jakarta dan Maret 2017 di Bandung.
”Saya mencintai Pram (Pramoedya Ananta Toer). Saya mencintai peran Nyai Ontosoroh. Namun, saya harus melepas peran itu,” ujar Happy, Jumat (16/11/2018), di Taman Ismail Marzuki.
Pada pementasan ”Bunga Penutup Abad” untuk ketiga kalinya, Happy Salma digantikan Marsha Timothy dalam memerankan tokoh Nyai Ontosoroh. Happy punya alasan, supaya peran Ontosoroh tidak hanya dikenal melekat pada dirinya.
Ontosoroh milik semua orang. Semua orang harus memiliki spirit atau semangat Ontosoroh. Dalam pementasannya pun, Ontosoroh harus bisa diperankan siapa saja. ”Nyai Ontosoroh itu gambaran sosok perempuan yang mampu bermetamorfosis. Ketika ditindas, ia mampu melawan,” kata Happy.
Ontosoroh menatap ke depan. Ia tidak tinggal diam dalam ketidakadilan. Ia terus bergerak melawan.
Sutradara Wawan Sofwan mengatakan, Marsha Timothy berhasil mengatasi tantangan keluar dari bayang-bayang Happy Salma tatkala menggantikan peran Nyai Ontosoroh. Tantangan lain, ketika pementasan kali ini sebagai pengulangan untuk ketiga kalinya, butuh suatu kebaruan.
”Bagi saya, tantangan mengulang itu justru tidak mudah. Sesuatu yang baru, itu perlu ada,” kata Wawan.
Bagian penutup cerita diberi sentuhan kebaruan. Menurut Wawan, di bagian itu tokoh utama Annelies Mellema (diperankan Chelsea Islan) akan berangkat ke Belanda.
Gaun panjang yang dikenakan Annelies digantikan dengan gaun pengantin Jawa. Ini kebaruan pada pementasan ketiga yang berdampak pada penguatan karakter Annelies. ”Ini sesuatu yang baru, tetapi tidak keluar dari frame (kerangka) utama,” ujar Wawan.
Lukisan potret
Pementasan ”Bunga Penutup Abad” memiliki durasi lebih dari dua setengah jam, tetapi terasa singkat dan padat. Adegan penutupnya menyulut tafsir terbuka tentang rasa nasionalisme, tentang semangat perlawanan sebagai bangsa tertindas oleh hegemoni Belanda (Eropa). Juga tentang semangat yang baru. Semangat untuk melihat dan menjalani abad yang baru dengan disebutkannya judul untuk sebuah lukisan potret Annelies sebagai ”Bunga Penutup Abad”.
”Ini sudah saya siapkan kain beludru merah,” ujar pelukis Jean Marrais kepada Minke.
Jean Marrais diperankan Lukman Sardi. Kain beludru merah itu dimaksudkan untuk menutup gambar lukisan wajah Anneleis, istri Minke, yang hendak pergi ke Belanda. Jean menyarankan Minke untuk tidak sering-sering menatap lukisan ”Bunga Penutup Abad” supaya tidak menjadi gila.
Tokoh Minke diperankan Reza Rahadian. Ia membuka adegan awal pentas dengan pembacaan sepucuk surat. Surat ditulis dan dikirim oleh Robert Jan Dapperste atau Panji Darman, yang mengawal Annelies dalam perjalanan dari Surabaya menuju Amsterdam, Belanda, menggunakan kapal laut.
Dikisahkan, setiap kali kapal yang ditumpangi merapat di sejumlah kota di Pulau Jawa ataupun pulau besar lainnya, Panji Darman selalu berkirim surat berisikan berita tentang keberadaan Annelies kepada Nyai Ontosoroh. Di rumah Nyai Ontosoroh, surat itu selalu dibacakan Minke, suami Annelies.
Berulang kali surat diterima dan dibacakan Minke. Dari situ kilas balik drama kehidupan Nyai Ontosoroh, Minke, dan Annelies dipentaskan.
Pemirsa dengan mudah menangkap atribusi tokoh. Nyai Ontosoroh dengan jernih mengisahkan tentang dirinya yang dulunya bernama Sanikem. Di usia 13 tahun, ia mulai dipingit. Di usia 14 tahun, orangtuanya menyebutnya sebagai perawan tua hingga akhirnya ia ”dijual” sebagai gundik atau istri simpanan Mellema, seorang pengusaha berdarah Belanda.
Sanikem belajar membaca dan menulis, belajar bahasa Belanda, dan belajar menjalankan perusahaan milik suaminya yang dikenal sebagai perusahaan Buitenzorg. Dari kata Buitenzorg ini lahir istilah Ontosoroh, maka ia kemudian lebih sering disebut Nyai Ontosoroh.
Minke hadir sebagai sosok ”buaya darat” yang segera jatuh hati kepada Annelies, putri kedua Nyai Ontosoroh. Minke jernih pula mengisahkan tentang dirinya. Termasuk tentang pertemuan dengan Annelies di hari pertama. Ia berani memuji kecantikan Annelies dan sudah berani mencium bibir Annelies.
Karena kau menulis
Minke diterima sebagai menantu Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh pun pernah berujar, ”Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
Pram menulis kisah ini tahun 1973-1975 selama di Pulau Buru sebagai tahanan politik. Latar kisahnya di antara tahun 1898 hingga 1918. Di masa itu di Hindia Belanda muncul pemikiran politik etis dan kebangkitan nasionalisme.
Pram membongkar kebobrokan sistem dan tata peradilan Eropa yang diterapkan di Hindia Belanda. Berulang-ulang, Nyai Ontosoroh mengumpat, orang Eropa atau Belanda itu hanya kulitnya saja yang berwarna putih.
Drama konflik keluarga itu berpuncak pada pembagian harta kekayaan Mellema yang merugikan Nyai Ontosoroh. Dari pengadilan, diputuskan sebanyak empat per enam untuk anak tiri Nyai Ontosoroh, seperenam untuk Robert yang hilang entah ke mana, dan seperenam sisanya lagi untuk Annelies. Nyai Ontosoroh benar-benar dilucuti harta kekayaannya.
”Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat- hormatnya,” ujar Nyai Ontosoroh ditujukan kepada Minke tatkala segala daya upaya untuk menyelamatkan harta dan Annelies itu kandas.
Menyimak karya Pram ini mungkin seperti menatap ”Bunga Penutup Abad”, bisa-bisa menjadi ”gila”.
(NAWA TUNGGAL)