Di dalam hutan kata-kata, puisi ibarat kulat yang banyak tumbuh di lereng-lereng Pegunungan Meratus. Pada musim hujan, para penyair memetiknya menjadi untaian syair indah yang berderai di antara pohon pinus. Dalam suasana penuh sukacita berkumandang pesan damai yang kemudian tumbuh dari hati ke hati.
Di atas panggung yang dibangun menyerupai kulat (jamur), penyair asal Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Bagan, mendaraskan puisi karya Boerhanuddin Soebli (alm) bertajuk ”Konser Kecemasan”. //…awas jangan papas hutan kami/nanti aku amuk aku tuang wisa ke pembuluh raga/awas jangan ganggu sorga kami/nanti aku sumpit aku damak aku kirim parang maya/jangan tuang nila jangan bawa bala/selusupku selusup datu selusup tak berwaktu/jariku jari pahat jari-jari tombak/mataku mata pisau mata-mata Mandau/tiupku tiup puja tiup mantera-mantera…//.
Puisi ini mengalir melalui udara, lalu memantul di antara batang pohon, dan bisa jadi lewat frekuensi alam terkirim ke semua telinga warga Kalimantan Selatan. Pada akhirnya, semua berharap bahwa Pegunungan Meratus adalah benteng terakhir orang-orang pedalaman dari gerusan pembalakan dan penambangan batubara.
”Kami ingin hutan Meratus lestari, tidak dieksploitasi, karena itu benteng terakhir kami orang-orang pedalaman,” kata Bagan.
Wali Kota Banjarbaru Nadjmi Adhani membangun panggung kecil berbentuk piramida di tengah-tengah hutan pinus Mentaos. Panggung ini secara khusus disiapkan untuk menyambut perhelatan sastra Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival, yang berlangsung pada 29 November-2 Desember 2018.
Ketua Panitia Festival Radius Ardanias Hadariah mengatakan, pada pelaksanaan tahun kedua, festival yang dihelat setiap musim hujan ini mendapatkan panggung baru. ”Dan panggung itu ada di tengah hutan, di mana puisi bertumbuhan seperti kulat,” kata Radius, yang juga Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Banjarbaru.
Hutan pinus Mentaos terletak di tengah-tengah Kota Banjarbaru, yang sejak 3 tahun terakhir menjadi ruang publik baru bagi warga kota. Di hutan seluas lebih dari 3 hektar inilah, para sastrawan dari berbagai pelosok Nusantara menyamakan frekuensi untuk kemudian bersama-sama bersuara tentang kelestarian lingkungan, ”Termasuk lingkungan dalam diri sendiri,” ujar penyair Joko Pinurbo, yang hadir dari Yogyakarta.
Aktris Sha Ine Febriyanti secara khusus membaca cerpen karya penulis muda asal Banjarbaru, Meutia Swarna Maharani, berjudul ”Baruna”. Cerpen ini pernah dimuat di harian Kompas, Minggu, 26 Agustus 2018. Meutia menjadi penulis termuda, sekarang duduk di kelas XII (kelas 3 SMA) di Banjarbaru, yang karyanya dimuat di rubrik cerpen Kompas.
”Ini cerpen sangat istimewa meski ditulis penulis muda, tetapi penuh pesan, bagaimana menjalin relasi di antara sesama manusia untuk hubungan yang harmonis,” kata Ine, setelah membaca cerpen.
Penulis lainnya, Faisal Oddang, yang baru saja menunaikan residensi di Universitas Iowa, Amerika Serikat, mengatakan, festival yang dihelat dengan dana APBD Kota Banjarbaru ini berpontensi menyuarakan aspirasi orang- orang pinggiran. ”Ada upaya untuk meluaskan episentrum sastra. Di sini kita bisa dengarkan suara hati otentik orang-orang pedalaman,” kata Oddang.
Dalam festival ini, bersama Joko Pinurbo dan Aan Mansyur, Oddang diundang sebagai pengarang untuk membeber proses kreatifnya selama menjadi penulis yang dinilai berprestasi.
Buku puisi
Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival secara khusus mengundang para penyair dari seluruh pelosok Nusantara (termasuk Malaysia dan Singapura) untuk mengirim karya-karya mereka. Sebelum diterbitkan sebagai buku, tim kurator yang terdiri dari HE Benyamine, Rika Hadi, dan Sandi Firly memilih sekitar 300 puisi dari 800 puisi yang dikirim para penyair.
Buku antologi puisi yang tahun ini diberi judul A Skyful of Rain, selain menghimpun puisi para penyair dari berbagai pelosok, juga menyandingkan karya-karya para penyair muda dan penyair senior. Di dalamnya terdapat karya-karya penyair senior, seperti Kurnia Effendi, Beni Setia, Wayan Jengki Sunarta, Isbedy Stiawan, dan Bambang Widiatmoko. Ada pula penyair-penyair generasi tahun 2000, seperti Wahyuni Firma Aulia, Silvana Farhani, dan Irma Aprilia.
Wahyuni yang lahir dan tinggal di Desa Pasar Bukit, Kecamatan Linggo Sari Baganti, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, bahkan hadir di Banjarbaru. ”Saya harus menempuh perjalanan berat, hampir 2 hari agar sampai ke sini. Itu pun dengan dana bantingan dari teman-teman,” katanya.
Selain penerbitan buku antologi, festival ini juga berisi seminar sastra dan lokakarya musikalisasi puisi, tur keliling kota, dan mangawah. Mangawah adalah tradisi keguyuban masyarakat Banjar dengan memasak bersama. ”Mangawah itu sebenarnya tak hanya memasak, tetapi ajang itu menjadi wahana saling membantu, bahu-membahu, sesama orang Banjar,” kata HE Benyamine, penyair yang bertindak sebagai manajer program festival.
Minggu (2/12/2018) siang, para sastrawan dari berbagai pelosok itu dijamu dengan mangawah di sela-sela hutan pinus Mengaos. Bahkan, aktris Sha Ine Febriyanti secara aktif turut serta mengaduk masakan dalam wadah bernama kawah atau kuali besar. ”Ini asyik. Aku menemukan saudara di sini,” katanya.
Pada akhirnya Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival adalah perayaan tumbuhnya jamur kulimir atau kulat kulimir, yang oleh masyarakat Pegunungan Meratus dikonsumsi sebagai tanaman obat. Puisi yang dilantunkan di tengah hutan pinus Mantaos adalah kulat kulimir, pengobat resah dan gundah hati warga kota pada musim hujan.
Semoga kemudian tercipta harmoni dalam diri, harmoni dengan orang-orang sekitar, dan harmoni dengan hutan