Api yang Belum Padam
Judas Priest, grup musik asal Birmingham, Inggris, bagi sebagian kalangan dipandang bak dewa heavy metal dunia. Konser grup musik ini di Ecopark Ancol, Jakarta, Jumat (7/12/2018) malam, pun menjadi kado akhir tahun bagi metal mania di Indonesia.
Penampilan grup musik yang diawaki Rob Halford (vokal), Ian Hill (bas), Glenn Tipton (gitar), Scott Travis (drum), Ritchie Faulkner (gitar), dan Andy Sneap (gitaris tambahan) ini tetap menyihir penggemarnya.
Sepanjang konser, ribuan ”heavy metal maniacs”, julukan penggemar Judas Priest, tak henti menggoyang tubuh, mengangguk-anggukkan kepala, dan bertepuk tangan riuh. Jejak kemegahan grup yang sudah naik panggung sejak era 1970-an itu masih terlihat. Meski sebagian personel sudah berusia lebih dari setengah abad, mereka tahu betul bagaimana membangun suasana konser.
Yang paling ditunggu di konser ini adalah lantunan vokal Rob Halford. Jika selama ini penggemar Judas Priest hanya bisa menyimak lengkingan suara Rob lewat audio dan video, kini mereka menjadi saksi bahwa kualitas suara Rob belum pudar dimakan usia.
Walaupun gerak tubuhnya tidak lagi lincah dan kerap menunduk memandangi layar monitor untuk membaca lirik, Rob tetap jadi titik fokus konser tersebut. Momen emosional konser muncul saat gitaris Glenn Tipton hadir membawakan tiga lagu dengan penampilan semampunya karena ia kini didera Parkinson. Tepuk tangan riuh menyambut Glenn saat dia berjalan pelan masuk ke panggung.
Konser di Jakarta dengan promotor Rajawali Indonesia Productions itu menutup rangkaian tur dunia Judas Priest tahun 2018. Melalui konser Firepower, Judas Priest membuktikan api mereka masih menyala terang.
Konser ini dibuka dengan lagu ”Firepower” yang menggelora. Selanjutnya, penonton digempur rangkaian lagu di album Firepower dan lagu-lagu hit sepanjang zaman mereka, seperti ”Turbo Lover”, ”Hell Bent for Leather”, ”Painkiller”, dan ”Breaking The Law”. Pertunjukan ini ditutup dengan apik setelah lagu ”Living After Midnight” dan penonton pun bubar sebelum tengah malam, tepatnya pada pukul 21.37 WIB.
Kompas berkesempatan mewawancarai Ian Hill (67) dan Rob Halford (67), Kamis (6/12), sehari sebelum konser Judas Priest. Ian Hill menjadi satu-satunya anggota yang mengisi semua album rekaman Judas Priest, sementara Rob Halford dengan suaranya yang tinggi melengking bukan hanya ikon Judas Priest, melainkan juga panutan para vokalis heavy metal sejagat.
Berikut petikan wawancara ini:
Hampir setengah abad usia bermusik Judas Priest, apakah Anda tidak lelah?
Rob: Bermain musik itu sesuatu yang luar biasa. Seperti cerita film. Kami melakukan banyak hal dalam beberapa dekade. Kemarin, kami di Singapura, sekarang di Indonesia. Tiga minggu lalu di Jepang, dan sebelumnya menggelar tur di Amerika. Perjalanan ke tempat lain dalam waktu yang singkat itu hal yang menyenangkan.
Kami berada dalam lingkaran tiga tahunan, dari menulis musik, merekam, kemudian memainkannya di hadapan penggemar. Gandakan itu dan akan terasa waktu berjalan sangat cepat. Namun, kebahagiaan yang kami rasakan adalah ketika kami mampu melakukannya selama hampir 50 tahun. Ini adalah karena kami mencintai apa yang kami kerjakan.
Kami mendapat energi dari situ. Ketika kami menggelar tur, energi itu datang dari para penggemar. Selalu ada yang kami kenang dalam setiap perjalanan. Itulah mengapa sampai saat ini kami terus bermusik.
Bagaimana Anda menggambarkan Judas Priest saat ini?
Rob: Kami berada di puncak dunia! Ini adalah sebuah kehormatan bagi Judas Priest. Saya kira tidak ada dari kami yang menyangka bahwa kami akan bertahan selama itu. Kami berterima kasih kepada para penggemar yang telah memberikan apa yang kami sebut sebagai sebuah kehidupan.
Setiap album rekaman yang kami produksi selalu menjadi sesuatu yang istimewa karena menjadi sebuah hubungan yang rekat dengan penggemar.
Tentang genre heavy metal saat ini. Mengapa tidak banyak musisi yang memilih jalur musik ini? Apakah karena dianggap tidak banyak menghasilkan uang?
Rob: Itu adalah dunia yang berbeda. Itu sisi bisnis musik dan itu cukup rumit. Kami selalu percaya bahwa bagaimanapun musik heavy metal akan bertahan. Jangan sampai sisi bisnis itu menurunkan semangat para musisi. Kuncinya adalah tetap kreatif. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari bergabung di sebuah grup musik dan berjuang di dalamnya. Intinya adalah persaudaraan dan kebersamaan dalam sebuah band. Jika di kemudian hari grup itu sukses, itu adalah bonusnya.
Dari 18 album Judas Priest, album manakah yang paling menggambarkan Judas Priest?
Ian: Saya suka album Rocka Rolla (album pertama Judas Priest, dirilis tahun 1974) karena musik kami berawal dari situ dan materi-materinya luar biasa. Ketika berada di toko musik dan melihat album itu di rak bersanding dengan musisi-musisi idola kami, seperti The Cream, (Jimi) Hendrix, adalah sebuah momen membanggakan bagi kami.
Rob: Setiap album Judas Priest istimewa. Masing-masing punya ceritanya sendiri. Dua hingga tiga album pertama dalam karier musisi menjadi bentuk bangunan sebuah band karena fondasi musik mereka berasal dari situ. Dari situ, kita tumbuh dan berkembang.
Beberapa album cukup menonjol, seperti British Steel (1980), Screaming for Vengeance (1982), dan yang terakhir Firepower. Jika mendengarkan Killing Machine (1978) atau Point of Entry (1981), Anda bisa menemukan sesuatu yang seru.
Album terakhir Judas Priest, Firepower, dianggap sebagai salah satu album musik heavy metal terbaik 2018. Bagaimana proses kreatifnya?
Ian: Sebenarnya prosesnya berjalan seperti biasa. Glenn dan Ritchie sedang mencari riff baru, kemudian Rob mencoba membuat liriknya. Ketika mempunyai materi lagu seperti itu, kami akan lanjut membuat demo. Setelah mendengarkan hasilnya, kami langsung tahu bahwa album ini sangat bagus karena materinya sangat kuat.
Rob: Itulah keajaiban musik. Kita tidak pernah tahu dan merencanakan musik. Musik seharusnya menjadi ekspresi bebas yang tak terbatas. Fokus kami dalam Firepower adalah elemen klasik yang dipunyai Judas Priest selama beberapa dekade terakhir. Selebihnya adalah kerja keras dan gagasan dalam menulis lagu.
Selain memainkan irama musik kencang, Judas Priest selalu punya ”senjata” lagu balada. Mengapa lagu balada itu perlu dibuat?
Rob: Kami selalu berusaha memasukkan pengalaman lagu balada dengan tempo pelan dalam setiap album kami. Lagu jenis ini menjadi refleksi orang yang sedang dalam keadaan tertentu. Bisa juga menjadi sebuah pengorbanan dalam kehidupan untuk sesuatu yang mereka percayai.
Lagu balada juga menjadi referensi perjalanan kehidupan seseorang. Lagu ini juga mengangkat keterpurukan menjadi kejayaan. (Yuniadhi Agung)