Simfoni Milenial Bandung Philharmonic
Memainkan karya komponis yang hidup ratusan tahun lalu bagi orkes simfoni itu hal biasa. ”Tetapi, mementaskan karya komponis hari ini, dan dia hadir pula dalam pergelaran, itu luar biasa.” kata Robert Nordling, pengaba Bandung Philharmonic.
Pada beberapa kali pergelaran, Nordling menyampaikan rasa bangga karena pada setiap kali pentasnya, Bandung Philharmonic selalu memainkan karya baru dari komponis Indonesia hari ini. Hal itu termasuk pada konser bertajuk ”Holiday”, 2 Desember 2018, di Hilton Bandung.
Saat itu Bandung Philharmonic menyuguhkan ”Overture dalam D Mayor” karya Filipus Wisnumurti Pranoto, komponis muda Bandung yang berusia 19 tahun.
Karya ini menjadi pembuka pergelaran yang menyuguhkan ”Konserto No 5 untuk Harpa dan Orkestra” karya komponis Ceko, Jan Křtitel Krumpholtz, dengan Rama Widi sebagai harpis. Juga ”Messiah”-nya Handel serta lagu Natal populer, seperti ”Winter Wonderland”, ”Dreaming of White Christmas”, dan ”Sleigh Ride”.
Meski ”Overture dalam D Mayor” dimainkan pada awal konser ”Holiday”, karya ini tidak dirancang sebagai pembuka pergelaran Bandung Philharmonic (BP) tersebut. Karya Wisnu menjadi pemenang kompetisi yang digelar BP tahun 2018.
Dalam fungsi ”tradisional”- nya, overture memang untuk membuka pergelaran. Overture menjadi semacam rangkuman dari karya yang akan ditampilkan. Nah, karya berformat sonata untuk tiup logam (brass) ini bukan jenis overture tersebut.
”Kalau ditanya overture ini tentang apa, ini sebuah karya sebagai karya itu sendiri. It’s about nothing,” kata Wisnu yang malam itu dipanggil untuk naik ke panggung,
Apa pun, tetapi karya Wisnu itu memang pas disuguhkan pada pergelaran bertajuk ”Holiday” malam itu: ringan, cerah, dan penuh gairah. Wisnu berpegangan bahwa untuk menyusun overture diperlukan suasana berbeda yang kemudian digabung menjadi satu.
Dalam komposisi, terdengar dua suasana. Pertama, megah, cerah, dan cepat. Adapun suasana kedua adalah sendu atau mellow, dengan intensitas suara pelan dan tempo lamban. Bagian awal karya malah terkesan suasana fanfare atau suasana gembira gempita seperti dalam pawai. Pada bagian tengah kedua suasana itu jalin-menjalin secara rapi.
Wisnu menyebut karya ini sebagai eksperimen. Disebut demikian karena sebagai pianis, dia tidak menguasai seluk-beluk alat tiup logam. Lewat seorang mentor, ia belajar memahami bagaimana pemain alat tiup logam memainkan instrumen. Alat tiup logam yang digunakan antara lain terompet, trombon, french horn, dan tuba.
”Ini merupakan tantangan buat saya sebagai pianis. Main piano itu pakai tangan, sedangkan main brass itu pakai napas. Maka, saya enggak boleh menyusun notasi yang beruntun terus-menerus karena mereka perlu ambil napas,” kata Wisnu, yang mengaku belajar komposisi secara otodidak.
Neo Impresionisme
Selain Bandung Philharmonic, komposisi baru juga disuguhkan oleh Jakarta Concert Orchestra dengan pengaba Avip Priatna dalam konser ”Sabda Semesta” di Aula Simfonia, Jakarta, akhir September lalu. Ditampilkan komposisi karya Arya Pugala Kitti ”Musim Hujan di Kota Kembang”.
Karya ini digubah dengan gaya neo-impresionisme yang merujuk pada karya-karya impresionisme-nya Marvel atau Debussy pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ada catatan bahwa Debussy sendiri menolak penamaan impresionisme yang ”dipinjam” dari seni rupa.
Pada gaya ini, karya menitikberatkan pada kesan, impresi, sugesti, dan atmosfer atau suasana. ”Saya ingin bikin yang neo-impresionistik. Ingin mengikuti teknik komposisi Marvel dan Debussy,” kata Arya.
Jika dalam seni rupa, impresionisme menekankan pada penggunaan warna, dalam musik warna suara atau tone color menjadi penting. Dalam karyanya, Arya ingin memasukkan identitas Bandung, dalam hal ini unsur pentatonik, meski hanya sepintas. Akan tetapi, diakuinya hal itu tidak mudah. ”Saya mencoba memasukkan, tetapi tone color menjadi sangat tajam,” kata Arya.
Ekspor budaya
Bandung Philharmonic sebelum ini pernah menampilkan komposisi baru, antara lain karya Singgih Sanjaya ”Nagara Kartagama” . Kemudian karya Budi Ngurah ”Borobudur”. Juga karya Marisa Sharon Hartanto, ”Beethoven di Bandung”. Karya tersebut merupakan karya yang dikomisikan, bukan karya dalam kompetisi.
Tahun lalu Bandung Philharmonic juga menampilkan komposisi pemenang kompetisi, yaitu ”Suvenir dari Minangkabau” karya Arya Pugala Kitti. Karya ini diinspirasi tarian Minangkabau.
Saat itu BP memang menyodorkan tema tarian daerah. Dalam kompetisi yang sama, terpilih pula karya Filipus Wisnumurti Pranoto berjudul ”War Dance from Papua”.
Karya tersebut bisa disebut sebagai musik klasik Indonesia. Musik dimainkan dengan instrumen musik Barat, bisa berupa orkestra, menggunakan teknik tetap standar musik seriosa Barat.
Akan tetapi, pada karya tersebut ada inspirasi yang digali dari elemen etnis dari musik yang tumbuh di ranah kultural Indonesia.
Selain memberi sesuatu yang baru dalam setiap pergelaran, penyuguhan komposisi baru karya komponis Indonesia ini juga menjadi stimulan bagi komponis muda.
Karya-karya tersebut berpotensi ”dijual” ke luar negeri. Airin Efferin selaku CEO Bandung Philharmonic memberi contoh karya Sharon Hartanto yang dimainkan Taiwan Philharmonic. ”Kami mengekspor budaya kita,” kata Airin.