Kekuatan Nyanyian Tubuh
Salah satu panggung terbaik untuk menikmati seni pertunjukan kontemporer Minangkabau adalah Kaba Festival. Di pengujung 2018, pada tahun kelima penyelenggaraannya, Kaba Festival mempertegas kehadirannya sebagai wadah bagi para seniman kontemporer berproses kreatif dan menampilkan karya mereka.
Kaba Festival adalah festival seni pertunjukan kontemporer yang diselenggarakan Nan Jombang Dance Company dan Komunitas Galombang Minangkabau pada 26 November-2 Desember 2018 di Kota Padang, Sumatera Barat. Festival ini memperkenalkan budaya Minangkabau, sekaligus jadi ajang belajar antar-seniman.
Bukan hanya diikuti seniman Sumatera Barat, festival ini juga diikuti seniman sejumlah negara.
Membuka festival ini, lampu merah tipis menyorot kursi kosong di tengah panggung. Seorang perempuan berpakaian serba merah datang, menarik kursi itu pelan-pelan hingga keduanya hilang di telan kegelapan. Lalu, perempuan-perempuan lain—juga berpakaian serba merah—muncul satu per satu. Mereka duduk bersimpuh membentuk kerumunan kecil, kemudian bernyanyi amat lirih, dengan wajah terkesan letih.
Dua perempuan berjalan ke tengah kerumunan, berpelukan seperti saling menguatkan, lalu bergiliran mengangkat tubuh satu sama lain sekuat tenaga. Satu perempuan lalu tinggal di tengah, bergerak gemulai meliukkan badan dan tangan, diikuti oleh yang lainnya.
Itulah cuplikan pertunjukan bertajuk ”Nyanyian Tubuh” oleh Widyarini NJ. Pertunjukan ini memanggungkan tradisi Minangkabau lewat kekuatan dan keindahan gerak tubuh. Selama sekitar 30 menit, penonton dibuat akrab dengan pencak silat, randai, dan olah tubuh lainnya.
Menurut Ery Mefri, koreografer ”Nyanyian Tubuh” sekaligus Pimpinan Komunitas Galombang Minangkabau, karya ini adalah ungkapan kepedihan yang tak bisa disuarakan. ”’Nyanyian Tubuh’ menjadi cara menyampaikan semua hal yang sudah disampaikan, tetapi tak pernah didengar,” kata Ery.
Kekuatan nyanyian tubuh itu juga tergambar lewat ”Jajak Barabah” yang dibawakan Rumah Gadang Dance Company. Menurut koreografer dan Pimpinan Rumah Gadang Dance Company Evi Nofrianti, ”Jajak Barabah” adalah penghormatan bagi seniman perempuan asal Sumbar, Huriah Adam. Huriah yang dijuluki si ”Barabah” merupakan penggagas sehingga perempuan Minang diperbolehkan menari.
”Jajak Barabah” berdurasi sekitar 20 menit dengan musik pengiring canang dan gong serta suling. Dibuka dengan tari piring, dilanjutkan dengan tarian yang begitu kompleks karena menggabungkan gerakan-gerakan silat Minangkabau. Gerakan itu berupa langkah, elak, tangkap, ataupun serang, termasuk gerakan seperti tinju, sepakan, dan terjangan.
Meski terlihat kompleks, perpindahan dari satu gerakan ke gerakan lain disajikan sangat rapi. Penonton dibuat terkesima oleh gerakan yang lembut, kuat, dan tegas, baik dari penari perempuan maupun laki-laki.
Respons yang sama ditunjukkan penonton pada sajian ”Hijrah” karya Rianto, penari dan koreografer asal Banyumas yang kini menetap di Tokyo, Jepang.
”Hijrah” adalah transformasi tubuh Rianto dalam meretas isu jender di lingkungan sosial politik yang penuh diskriminasi serta kesalahpahaman.
Di Kaba Festival 2018, ”Hijrah” dibawakan oleh dua orang, yakni Kristianto dan Razan Mohamad. Keduanya terbilang berhasil menghidupkan karya ini dengan sangat baik.
Seperti halnya ”Hijrah”, karya koreografer asal Amsterdam, Belanda, Gerard Mosterd, ”Ketuk Tilu Duet”, juga bisa disebut sebagai titik temu antara seni tradisi dan kontemporer. Karya ini, menurut Gerard, adalah duet yang sensual tentang suatu hal kontroversial dan terlarang, memadukan musik dan tari jaipong dengan rock and roll.
Dibandingkan dengan ”Unfolding” yang ditampilkan Gerard di Kaba Festival 2017 yang lebih abstrak, ”Ketuk Tilu Duet” yang berdurasi tujuh menit tampil lebih realistis. Menggunakan pasangan penari perempuan dan laki-laki, Gerard menyuguhkan gerakan jaipong yang vulgar, kompleks, dan rumit, tetapi indah. Di antara gerakan itu, dia masukkan gerakan rock n roll yang energik.
Rasa berbeda
Selain Rianto dan Gerard, seniman asal luar negeri seperti Su-En dan Amit Sen, Strut Dance, dan Mic Guillaumes juga tampil memukau. Mereka memberi rasa berbeda pada Kaba Festival tahun ini. Su-En dan Amit Sen, misalnya, memilih datang lebih awal ke Padang untuk membuat proyek berjudul ”Modus Mobile”, yakni proyek video dokumenter di mana keduanya tampil di rumah warga atau di luar ruangan.
Proyek itu, menurut Su-En, untuk melihat sejauh mana penerimaan masyarakat Indonesia, khususnya Padang, terhadap karya mereka. Su-En kaget karena dibandingkan proyek serupa di beberapa tempat yang lebih banyak ditolak, justru di Padang respons masyarakat sangat bagus. Video proyek itu diputar di malam pembukaan Kaba Festival 2018.
Pada pertunjukan, Su-En dan Amit menyuguhkan tarian butoh atau tarian kontemporer yang berakar pada cita rasa Jepang dengan judul ”Red”. Karya ini menitikberatkan eksplorasi dan ekspresi tubuh. Begitu juga dengan musik pengiringnya.
Su-En bergerak dalam berbagai wujud dan ekspresi. Kadang dia menjadi bunga, sapi, kupu-kupu, dan lainnya. Dia kadang berdiri, duduk, melata, mengangkat sebelah kaki, menjulurkan lidah, dan berbagai gerakan yang tak bisa dipahami dalam sekali pandang. Pada saat yang sama, Amit Sen yang memainkan celo alih-alih menyesuaikan musiknya dengan ”menjadi apa” Su-En saat itu.
Adapun Mic Guillaumes asal Perancis menyuguhkan keindahan gerakan tubuh lewat ”Memories for the Future”. Usia yang telah menginjak 65 tahun tidak menghalanginya tampil keren. Kombinasi penampilan langsung dan audiovisual diri sendiri, ”Memories for the Future” adalah metamorfosis perjalanan berkarya Mic.
”Saya tidak lagi berbicara tentang style karena sudah mencoba berbagai style sejak mulai menari di usia lima tahun. Sekarang ini lebih ke imajinasi dan kemampuan (tubuh) saya,” ujar Mic.
Tahun ini, Festival Kaba juga diselenggarakan bekerja sama dengan Indonesiana (platform pendukung kegiatan seni budaya di Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), Dinas Kebudayaan Sumbar, serta didukung Badan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia dan Bakti Budaya Djarum Foundation.
(Ismail Zakaria)