Menyimak kembali lakon Begawan Mintaraga atau Ciptoning, pencinta wayang dapat menangkap dua arus besar di dalamnya. Yang pertama berlatar penderitaan dan pengasingan Pandawa setelah rajanya—Yudistira—kalah dalam permainan dadu yang diakali oleh Patih Hastina, Sangkuni. Yang kedua berkisah tentang mimpi raja raksasa Niwatakawaca untuk mempersunting Batari Supraba yang kandas karena dihalangi oleh Arjuna yang sudah menjalani tapa, yang membuatnya dijuluki Begawan Mintaraga.
Satu lagi dimensi yang bisa ditambahkan pada lakon ini adalah bagaimana Arjuna menjalani rangkaian ujian falsafah, keteguhan hati, dan keunggulan keksatriaan. Lakon ini di khazanah wayang, kulit maupun orang, termasuk salah satu yang populer.
Bagian pertama wayang penuh dengan adegan dramatis. Sebanyak tiga di antaranya adalah ketika permainan dadu kopyok berlangsung. Kedua, ketika Pandawa kalah lalu baik Duryudana maupun Dursasana melakukan tindak pelecehan terhadap Drupadi.
Duryudana melampiaskan dendam karena di Indraprasta ia pernah diremehkan oleh Drupadi saat ia terjatuh di kolam, dan Drupadi mengatakan begitulah anak orang tunanetra. Adapun Dursasana yang lalu ditugasi untuk melecehkan Drupadi lalu mencoba menelanjanginya di balairung Hastina.
Untunglah atas kuasa Dewa, kain yang dikenakan Drupadi tak ada habisnya hingga Dursasana kelelahan. Saat itulah Drupadi bersumpah bahwa ia tak akan menggelung rambutnya sebelum bisa keramas dengan darah Dursasana.
Dursasana dan Kurawa meremehkan sumpah itu dan menilai sumpah orang miskin tidak akan manjur bertuah. Adik Duryudana ini keliru karena sumpah ini menjadi kenyataan setelah dalam Perang Baratayudha Dursasana dihancur-lumatkan oleh Bima.
Adegan dramatis berikut muncul saat Puntadewa dipersalahkan oleh Bima dan adik-adiknya. ”Sulung, rakyat Amarta keliru memilih dirimu sebagai Raja. Sosokmu seperti pandita, namun ternyata hatimu bak serigala,” ujar Bima.
Mendengar cercaan adik-adik dan istrinya, Yudistira pun meradang. Selain menegaskan siapa yang menjadi raja, ia pun berujar, ”Bima, Arjuna, dan Drupadi, tampak rendah jiwamu. Ingatlah, kita lahir tidak membawa apa-apa, mati juga tidak akan membawa apa-apa. Kalian bebas mencela kakak kalian tetapi menurut pandangan kakak, kalian bersikap seperti itu semata karena sudah tertimbun keduniawian. Engkau Bima, apakah sudah kehilangan ruh Dewa Ruci?”
Arjuna bertapa
Meski akhirnya Bima dan adik-adiknya mengikuti Yudistira, Arjuna masih penasaran. Ia sendirian bermaksud melabrak Hastina. Untunglah, Semar berhasil menasihati bahwa kalau seseorang melakukan tindakan hanya berdasar dorongan nafsu, ia tidak akan luhur.
Ia menyarankan Arjuna bertapa saja dulu menenangkan hati dan menyucikan jiwa di Gunung Indrakila, di mana terdapat Goa Mintaraga.
Dari sisi namanya, ”minta” berarti ’pemisahan’ dan ”raga” berarti ’tubuh’. Sementara nama lainnya, ”Ciptoning”, menurut Ensiklopedi Wayang, berasal dari ”Ciptahening” yang berarti ’jiwa bersih’.
Saat menjalani tapa hening inilah Arjuna mendapat ujian berat. Ia, yang dikenal pemuja wanita, digoda tidak saja oleh satu, tapi tujuh bidadari tercantik di Kahyangan, dengan Supraba sebagai yang tercantik.
Godaan ini berhasil ia lewati. Istri Arjuna, Sembadra, juga datang membujuk sambil membawa putra mereka, Abimanyu, untuk membujuk ”Bapake Kulup” pulang. Ini pun tak menggoyahkan Arjuna.
Dalam lakon sama yang dipentaskan oleh Paguyuban Panca Budaya tujuh tahun silam, dimunculkan pula sejumlah dewa utama untuk mengiming-imingi Arjuna dengan harta dan kedudukan, namun ini pun tak menggoyahkan tapanya.
Tapanya jugar (berakhir) ketika datang Resi Padya yang mengujinya dengan berbagai pertanyaan, seperti mengapa sebagai Begawan ia masih mengenakan senjata. Resi Padya tidak lain adalah Batara Indra.
Mungkin satu kebetulan bahwa saat Arjuna bertapa untuk kemenangan Pandawa dalam Perang dengan Kurawa kelak, para dewa juga sedang dibuat pusing oleh keinginan Prabu Niwatakawaca yang ingin memperistri Batari Supraba.
Batara Guru yang mengabulkan tapa Arjuna lalu membekali sang Ksatria dengan senjata mahasakti bernama Pasopati.
Senjata inilah yang menjadi sarana untuk menewaskan Raksasa Niwatakawaca setelah Supraba berhasil membujuk Niwatakawaca untuk mengatakan letak titik lemah kesaktiannya yang dikenal sebagai Gineng Sokawedha, dan ternyata ada di langit-langit di rongga mulutnya.
Mintaraga RBN
Lakon favorit ini, Minggu (13/1/2019) lalu dipergelarkan oleh Rumah Budaya Nusantara (RBN) di bawah pimpinan Lies Luluk Sumiarso. Didukung oleh sejumlah tokoh, seperti Tuti Roosdiono (anggota Komisi I DPR) dan Agus Prasetyo (Koordinator Wayang Orang Sriwedari), RBN menampilkan Mintaraga untuk menyambut ditetapkannya 7 November sebagai Hari Wayang Nasional melalui Ketetapan Presiden RI Nomor 30 Tahun 2018.
Masih menampilkan veteran Arjuna Ali Marsudi sebagaimana tujuh tahun silam, sutradara dan penulis naskah Irwan Riyadi dapat memaksimalkan panggung yang sempit di Auditorium Perpustakaan Nasional di Jakarta untuk menampilkan serangkaian adegan seru yang muncul dari lakon ini.
Dalang Kristanto, penata musik Sambowo, dan penata tari Ayok dan Yani berhasil meramu pergelaran menjadi tontonan klasik yang tidak menjemukan.
Dari sisi kearifan hidup, lakon Mintaraga mengingatkan kembali kelebihan dan kelemahan manusia. Arjuna tampak unggul (linuwih) dalam lakon ini, sementara Puntadewa, yang sebelumnya dikenal sebagai raja yang halus budi dan tidak menampakkan hasrat keduniawian, ternyata bertekuk lutut dalam permainan dadu. Tetapi dalam kesedihan, ia berhasil menguatkan batin saudara-saudaranya dengan mengatakan, manusia tak perlu risau dengan harta dunia.
Ternyata, melalui tahapan sebagai pecundang ini, Pandawa dalam pengasingan selama 12 tahun dan penyamaran selama setahun telah berubah menjadi sosok-sosok yang tertempa lahir batin.
Ini justru kontras dengan Kurawa yang merayakan kemenangan, tetapi lalu terperosok dalam keserakahan dan kerendahan budi. Demikianlah wayang telah menjadi tuntunan hidup selain tontonan panggung.