Fenomena munculnya musik karya Eros-Chrisye-Yockie 40 tahun silam dirayakan dalam konser Tembang Persada Sang Tritunggal, 1 Februari lalu di Jakarta Concert Hall, iNews Tower, Jakarta. Tonggak kreativitas kaum muda yang ikut memberi warna pada perjalanan musik pop negeri ini.
Huruf yang menorehkan nama Eros-Chrisye-Yockie berikut sosok mereka terpancang di kanan-kiri panggung. Deretan nama itu seperti tonggak. Di antara tonggak-tonggak itu, Harvey Malaihollo, Marcel Siahaan, Bonita, plus dua penyanyi muda Wizzy dan Barsena menyanyikan lagu-lagu yang lahir dari kerja bareng mereka bertiga. Atau setidaknya karya dari salah seorang dari mereka.
Tersebutlah antara lain lagu ”Pelangi”, ”Serasa”, ”Juwita”, ”Marlina”, ”Anak Jalanan”, ”Galih dan Ratna”, ”Resesi”, ”Lenny”, ”Hening”, ”Cintaku”, dan ”Selamat Jalan Kekasih”. Ada pula lagu yang hanya melibatkan Yockie sebagai penggarap musik, yaitu ”Hasrat dan Cinta” karya Fariz RM yang dibawakan Andi Meriem Mattalatta dalam album Bahtera Asmara yang musiknya digarap Yockie. Juga lagu ”Kau Seputih Melati” karya Yockie yang dibawakan Dian Pramana Poetra.
Materi konser yang dipromotori Betiga ini memang berupa lagu yang dibuat sekitar 35 sampai 40-an tahun silam. Akan tetapi, konser tidak jatuh menjadi panggung tembang kenangan atau romantisisme lawasan. Mungkin tak terhindarkan ada penonton yang bernostalgia, yang tentu saja sah dan itu hak manusia merdeka.
Penggarapan musik oleh Krisna Prameswara dan kawan-kawan tidak jauh dari rasa seperti olahan Yockie meski tidak dapat dikatakan persis. Ada improvisasi, ada elemen tiup logam, dan brass yang menjadikan lagu-lagu terasa bersuasana panggung.
Ada pula keberanian menginterpretasi, menafsir lagu seperti dilakukan Harvey dan Marcel. Mereka mengunyah materi dan menjadikan lagu-lagu itu milik mereka. Lagu seperti ”Hening” dan ”Malam Pertama” yang paten lewat suara Chrisye itu diinterpretasikan Harvey dengan gaya personalnya. Jiwa lagu tidak berubah, tetapi ia menjadi khas ”milik” Harvey. Begitu pula ”Anak Jalanan” oleh Marcel menjadi lagu milik ”anak” bandung itu.
Dipertemukan zaman
Lagu-lagu dalam konser itu lahir dari rentang 1977 sampai paruh pertama era 1980-an. Lagu-lagu yang diakui Eros tidak akan lahir jika tiga sekawan Eros Djarot-Chrisye-Yockie Suryoprayogo tidak bertemu dalam sebuah kerja bareng. Mereka dipertemukan oleh zaman. Eros mengatakan, mereka mempunyai semacam pembagian ”tugas” sesuai talenta masing-masing. Eros menulis lagu, Chrsiye bernyanyi, dan Yockie menggarap musik. Tiga tokoh itu mengukuhkan persekutuan kreatif dalam komposisi instrumental ”E&C&Y” dalam album Badai Pasti Berlalu.
”Tiga pendekar musik bersekutu. Pendekar kata, pendekar penyusun bunyi, pendekar suara. Maka, jadilah mereka bersatu membuat musik bermutu,” kata Djaduk Ferianto dalam testimoni yang dipapar dalam konser.
Mereka masing-masing sudah aktif dengan pengalaman bermusik. Eros awak Barong’s Band. Chrisye pernah bergabung dengan The Pro’s dan terlibat di album Guruh Gispsy, sementara Yockie antara lain bermain dalam God Bless. Baru ketika tiga individu itu bersekutu, lahirlah lagu-lagu yang sampai hari ini dikenang dan dirayakan dalam berbagai bentuk, seperti konser dan album.
Pada paruh kedua era 1970-an mereka berusia likuran (dua puluhan) tahun. Chrisye kelahiran 1949, Eros 1950, dan Yockie 1954. Mereka penuh energi kreatif, menawarkan rasa musik yang untuk ukuran pasar musik pada zamannya belum terlalu lazim sebagai ”barang” dagangan. Akan tetapi, mereka keukeuh dan nyatanya diterima publik.
Sikap tegas ini diungkapkan Yockie dalam konser Musik Saya Adalah Saya yang lagunya dibawakan dalam konser Tembang Persada. Lewat narasi ditegaskan bahwa Yockie dan kawan-kawan tidak mau tunduk dengan selera pasar.
Sekadar gambaran, belantika musik pop Indonesia pada masa itu masih diramaikan dengan kelompok musik seperti Koes Plus, Bimbo, D’Lloyds, Rollies, dan sederet penyanyi, seperti Eddy Silitonga, Diana Nasution, dan Grace Simon. Ada pula biduan era 1960-an yang masih populer punya lagu kondang, seperti Bob Tutupoly, Deddy Damhudi, Krisbiantoro, dan si awet kreatif Titiek Puspa.
Tiga sekawan itu memberi alternatif rasa musik. Bisa dikatakan itu terobosan yang memengaruhi wajah musik industri di negeri ini, dalam hal ini musik pop. Mereka tidak sendirian. Boleh dikatakan saat itu ada semacam gerakan pembaruan dalam hal rasa musik pop. Salah satunya lewat album Badai Pasti Berlalu, yang melibatkan Eros, Chrisye, Yockie, Berlian Hutauruk, Debby Nasution, Keenan Nasution, dan Fariz RM. Selain itu, paruh kedua 1970-an itu ada Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) yang dimotori Radio Prambors. Kemudian Jurang Pemisah, Sabda Alam, dan seterusnya.
Masuk awal 1980-an, tren musik berubah. Salah satunya ada The Police, band Inggris yang digandrungi kaum muda. ECY pun cukup responsif dengan perubahan, terutama pada album Resesi (1983). Mereka membuat lagu yang ada nuansa musik seperti The Police. Coba simak lagu ”Resesi” dan bandingkan dengan ”Walking on the Moon”-nya The Police. Tidak sama memang, tetapi ada nuansa musik di sana sini yang kurang lebih serasa. Album Resesi sukses dengan lagu seperti ”Lenny”, ”Hening”, dan ”Malam Pertama”.
Berlapis-lapis generasi menikmati lagu-lagu Eros-Chrisye-Yockie. Buktinya, pada malam itu, lagu ”Juwita”, ”Malam Pertama”, dan ”Selamat Jalan Kekasih” menjadi koor massal penonton.