Teater Mandiri tetap gaduh. Aktor-aktor generasi baru memegang teguh warisan artistik yang diciptakan seketika di panggung seraya tetap bertolak dari yang ada. Pementasan lakon Peace, Perempuan Sejati, 2-3 Maret di Gedung YPK Bandung, Jawa Barat, membuktikan bahwa Putu Wijaya senantiasa kukuh memegang spirit karya-karyanya yang meneror dan mencincang kemapanan.
Kegaduhan selalu menciptakan perasaan panik dan tertekan. Anehnya, dalam tekanan sering kali muncul berbagai perspektif baru, yang diharapkan memecah kebuntuan berpikir. Kepanikan juga kerap kali mendorong tindakan ”ajaib” yang berada di luar batas nalar manusia. Lakon Peace, Perempuan Sejati sebenarnya berupa dua paket monolog yang kemudian digabung sepanggung. Monolog Perempuan Sejati dimainkan aktris Jais Darga dan Peace oleh Taksu Wijaya. Jais pernah memainkan monolog ini secara tunggal di gedung yang sama beberapa tahun lalu. Namun, Putu selalu punya cara untuk memanggungkan kisah lama dengan nuansa dan pesan baru.
Pertunjukan ini serangkaian dengan penghormatan kepada perjalanan kepengarangan Putu Wijaya yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun. Institut Nalar Jatinangor bersama Second House Bandung mengadakan seminar, pameran, dan lokakarya tentang karya-karya Putu Wijaya.
”Putu Wijaya sosok yang istimewa. Ia konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kemajemukan, dan perdamaian lewat karyanya,” kata Hikmat Gumelar dari Institut Nalar Jatinangor.
Pentas ini seperti buku antologi yang disatukan oleh tema besar, tentang pencarian keadilan. Perempuan Sejati melawan karena teror pembunuhan oleh suaminya sendiri. Ia dituduh ”berselingkuh” dengan para pemikir besar seperti Einstein atau Nietzche lantaran mengagumi karya-karya mereka. Ketika melaporkan teror pembunuhan itu, polisi malah secara garang hendak memerkosanya di depan anaknya sendiri.
Putu sedang memprotes ketidakadilan yang sering kali diterima kaum perempuan akibat berbagai aturan dan keputusan berbau patriarkis. Ia bahkan berbicara lantang lewat kelamin lelaki yang ditunjukkan oleh Jais Darga pada akhir pertunjukan.
”Bahkan, untuk bisa memprotes dan memperoleh keadilan, seorang perempuan sejati mungkin harus jadi lelaki dulu,” kata Jais Darga seusai pentas, yang disesaki kaum muda dan mahasiswa Bandung.
Peace, kisah kerinduan seorang mantan pengacara tua terhadap anaknya. Ia ingin berdiskusi tentang banyak hal dan menanti sang putra pulang ke rumah. Alih-alih berdiskusi, sang anak, pengacara kondang di kota, malah membawa masalah. Ia terlibat dalam aksi untuk menumbangkan rezim. Di situlah terjadi chaos. Di sini, Putu punya ”kesempatan” memasukkan aksi artistik yang menggunakan kain dan lampu.
Sebagaimana pentas-pentas Mandiri sejak awal tahun 1970-an, Putu terinspirasi oleh permainan bayang dari wayang, serta kegaduhan yang ditimbulkan paduan musik, dialog, dan aksi para aktornya di atas panggung. Mereka menjadikan panggung sebagai arena eksperimen artistik dengan memainkan layar sehingga menciptakan berbagai bentuk yang imajinatif. Lampu sebagai sumber cahaya pun dimainkan oleh aktor sehingga menjadi bentuk yang lentur. Permainan itu sejak dulu senantiasa diperkuat oleh dentuman musik Harry Rusli (alm). Pada pentas kali ini, upaya memperkuat jejak chaos itu dicoba oleh penata musik Ramdhan.
Dinamik
Pentas-pentas Mandiri sebenarnya sedang menunjukkan bahwa dalam kegaduhan ada ritme yang kemudian menciptakan sensasi artistik. Putu Wijaya selalu berpedoman pada teater-teater tradisi Bali, terutama tetabuhan gong kebyar dan baleganjur. Bahkan, dalam berbagai upacara, sering kali tetabuhan gamelan yang menyentak ditingkahi bunyi genta dan mantra-mantra para pendeta. Sementara di luar tempat suci, pada waktu yang hampir bersamaan, warga mendatangi warung-warung makan dan tak jarang pula mereguk hiburan.
”Meski tampak chaos, inti upacara tak pernah luntur, berlangsung sampai sekarang,” kata Putu Wijaya. Ia menuturkan tak mau gagah-gagahan mengikuti teori-teori teater dari Barat, yang belum tentu sesuai dengan kultur lokal. ”Lebih banyak bertolak dari yang ada,” katanya.
Tentang kalimat ini, Putu bercerita, pada awal berdirinya Mandiri, para pemainnya ”hanya” melilitkan spanduk-spanduk bekas yang banyak bertumpuk di gudang Taman Ismail Marzuki. Spanduk-spanduk itu bahkan tidak didesain menjadi kostum. ”Kita lilitkan saja, lalu diberi pencahayaan. Itu tak kalah artistiknya,” tambah Putu.
Dinamika dan ritme nyaris selalu menjadi ciri utama setiap pentas Putu Wijaya dan Teater Mandiri. Kedua unsur ini bahkan menggerakkan alur dan kemudian darinya kita mengerti karakter seorang tokoh. Lalu pada akhir pentas, kita secara terbuka bisa memberi penafsiran sesuai dengan latar belakang pengetahuan masing-masing.
Pentas Peace, Perempuan Sejati menjadi penting dicatat karena ”mendesak” kita untuk kembali memikirkan posisi kemanusiaan kita di tengah deraan realitas yang kian banal. Dari atas pentas, Putu Wijaya seperti meraung mengatakan, ”Aku mau merasakan daging manusia….” Silakan ditafsir kalimat bersayap yang dilontarkan oleh salah seorang pengarang besar Indonesia.