Perbedaan suku, budaya, dan bahasa adalah polemik banyak negara, termasuk Australia. Ada proses pendewasaan bagi tiap bangsa yang menghadapi. Dari situ pula, setiap negara belajar mendengarkan dan merayakan perbedaan itu.
Lebih kurang itulah pesan dari film Australia, Gurrumul. Pesan itu mengantarnya sebagai salah satu film terpilih pada Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2019. Festival ini berlangsung pada 14-31 Maret 2019 di lima kota, yakni Jakarta, Makassar, Surabaya, Bandung, dan Mataram.
Ini adalah pelaksanaan keempat sejak FSAI digelar pertama kali pada 2016. Tahun ini, film yang ditayangkan terdiri dari 5 film Australia, 3 film Indonesia, dan 11 film pendek Australia.
Film-film Australia yang ditampilkan adalah Gurrumul, Ladies in Black, Storm Boy, Occupation, dan The Song Keeper. Sementara itu, Indonesia menyuguhkan Ada Apa dengan Cinta, Ada Apa dengan Cinta 2, dan The Seen and Unseen.
Gurrumul menceritakan kisah nyata musisi Australia ternama, Geoffrey Gurrumul Yunupingu. Gurrumul adalah musisi Aborigin—suku asli Australia—pertama yang berhasil menembus pasar musik internasional. Ia sekaligus menjadi musisi pertama yang menyanyikan karyanya dalam bahasa Inggris dan Yoŋju (dibaca Yolngu).
Sesekali, cobalah memejamkan mata sambil mendengar musik Gurrumul. Bisa coba lagu ”Crow” atau ”Wiyathul”. Suaranya yang jernih dan musik yang melantun terasa magis. Ada kesan spiritual, seperti lagu gospel, yang seperti membawa kita ke suatu tempat.
Bahasa yang dinyanyikan memang berbeda. Namun, kita tidak perlu mengerti kata demi kata untuk menikmati lagu itu. Cukup duduk, diam, dan dengarkan. Kalau perlu sambil menutup mata. Saat itu, mungkin Gurrumul yang buta sedang mengajarkan kita semua caranya mendengar.
”Saya sedang berkendara di Melbourne ketika pertama kali mendengar Gurrumul bernyanyi. Saya sampai harus menepi di pinggir jalan karena nyanyiannya sangat mengagumkan. Dia adalah artis yang hebat. Dia telah menyentuh jiwa saya,” kata sutradara dan penulis skenario Gurrumul, Paul Damien Williams, di Jakarta, Kamis (14/3/2019).
Dilema
Pada film tersebut digambarkan Gurrumul yang menghadapi dilema karena menjalani dua dunia. Pertama, dunia yang ”tradisional” di Elcho Island. Kedua, dunia modern yang telah membesarkan namanya sebagai musisi.
Dilema itu dijawab dengan proses belajar memahami, baik oleh Gurrumul maupun manajer dan produsernya yang adalah orang kulit putih Australia. Pada akhirnya, mereka tetap berkarya sesuai panggilan hati sang musisi. Musik Gurrumul tetap menggaungkan cerita tentang tanah kelahirannya dan segudang budaya yang ada di sana.
Bisa dibilang, musik Gurrumul menjadi jembatan antara kebudayaan Aborigin dan dunia. Paul mengatakan, banyak orang kulit putih Eropa-Australia yang bahkan tidak memahami orang Aborigin. Akibatnya, banyak orang Aborigin terpinggirkan dari tanah mereka sendiri.
Menurut data dari ABC, jumlah orang Aborigin di Australia selama 65.000 tahun menyusut dari 75.000-1,5 juta orang menjadi sekitar 100.000 orang pada 1901 (”Perdana Menteri Morrison Usulkan Hari Aborigin”, Kompas.id, 26/9/2018).
Sementara itu, migran terus berdatangan, terlebih sejak Australia menandatangani Konvensi PBB tentang Pengungsi pada 1951. Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan mengatakan, sejak akhir Perang Dunia II, Australia telah menerima sekitar 2 juta pengungsi.
Menurut Quinlan, masa lalu bisa menentukan siapa diri kita. Namun, kita semua punya kekuatan untuk menentukan masa depan. Semuanya dimulai dari masa kini. Mendengarkan dan memahami perbedaan menjadi pintu menuju masa depan yang lebih baik.
Hal ini pula yang disampaikan oleh film Ladies in Black. Film besutan Bruce Beresford ini menceritakan kisah karyawati-karyawati di sebuah pusat perbelanjaan pada 1959. Kala itu, mereka masih berhadapan dengan budaya patriarki yang kental.
Lisa, seorang gadis berusia belasan tahun, harus membuktikan diri kepada ayahnya agar boleh belajar di universitas. Fay, seorang hopeless romantic, berusaha mencari pendamping hidup yang bisa menghargai dirinya sebagai perempuan. Pilihan Fay akhirnya jatuh kepada Rudi, seorang migran dari Eropa yang kelakuannya cukup ”ajaib”.
Film ini menceritakan pula masa ketika para migran berduyun-duyun datang ke Australia. Ada kotak-kotak sosial yang tercipta kala itu. Alasannya sederhana: tidak banyak orang mau mengenal dan memahami perbedaan di lingkungannya.
”Sebenarnya, menyaksikan film dari beragam negara adalah cara kita untuk mengenal mereka. Kita berkenalan melalui film,” kata produser Indonesia, Mira Lesmana.
Hidup dalam perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Memahami mereka yang berbeda tidak akan menghilangkan jati diri kita. Mendengarkan mereka justru akan membuat hidup kita lebih kaya dan luas. (E07)