Melahirkan Estetika Simbolik
Seni serat secara sederhana memiliki dasar jalinan erat antara benang horizontal dan vertikal. Di tangan seniman dan akademisi Biranul Anas Zaman (72), jalinan benang itu direka untuk melahirkan estetika simbolik, keindahan yang memiliki makna mendalam.
Karya-karya seni serat Biranul ditampilkan di dalam Pameran Serat Jiwa-40 Tahun Perjalanan Karya Biranul Anas Zaman di Gedung D Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran berlangsung pada 25 Maret hingga 7 April 2019.
Biranul menjadi staf pengajar Studio Desain Tekstil Jurusan Desain pada Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak 1978. Di institusi pendidikan itu, terakhir kali Biranul menduduki jabatan sebagai Dekan FSRD ITB untuk periode 2006-2010.
Biranul lahir di Malang, Jawa Timur, pada 1947. Setelah menempuh studi di ITB ia dikenal sebagai peneliti di bidang seni serat dan tekstil kain tradisi Nusantara sejak 1974. Pada 2006, Biranul merampungkan disertasi doktoralnya yang berjudul Corak Hinggi Sumba Timur di Daerah Tujuan Wisata: Kesinambungan dan Perubahan.
”Seni serat di Sumba Timur adalah mukjizat,” kata Biranul menjelang acara pembukaan pameran, Senin (25/3/2019). Pameran itu dibuka Direktur Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid.
Biranul duduk di atas kursi roda. Ia terkena stroke, tetapi memiliki semangat luar biasa untuk memaparkan setiap karya seni dan karya akademisnya itu.
”Mukjizatnya, tradisi membuat kain serat saya temui hanya di Sumba Timur. Tidak ada di Sumba Barat atau di wilayah selain Sumba Timur di pulau itu,” kata Biranul.
Kain tradisi itu dikerjakan ibu-ibu dengan cara yang khas. Mereka mengelompokkan diri berdasarkan tugas masing-masing. Untuk tugas menenun, ada kelompok tersendiri. Begitu pula tugas-tugas yang lain, seperti mencelup dan mewarnai benang yang dikerjakan kelompok ibu-ibu yang berbeda.
Dengan suara terbata, Biranul menceritakan pengalamannya itu. Sesekali beberapa kenangan membuatnya menangis tersedu.
Politik seni
Biranul menaruh perhatian khusus terhadap karakter perempuan. Sebuah karya diberi judul, ”My 3 Princesses”, berukuran 128 x 158 sentimeter (2014) di atas serat dengan figur tiga perempuan terkenal dunia, meliputi Lady Diana, Bunda Theresa, dan Aung San Suu Kyi.
Di samping karya itu dituliskan kalimat kutipan dari Biranul, ”Saya melihat kekuatan perempuan pada kesabaran, ketekunan, dan kejujuran.”
Sebelum pembukaan pameran, kurator Rizki A Zaelani menjelaskan kepada wartawan tentang teknik pembuatan karya itu. Menurut Rizki, Biranul pertama kali merajut benang dan membentuk sebuah lembaran, kemudian ditempelkan gambar ketiga perempuan yang dibuat terpisah itu dengan teknik bordir.
Seorang penulis dan pemerhati seni serat Biranul, Benito Lolupalan, segera mengoreksinya. Menurut Benito, gambar tiga perempuan itu bukan ditempel, tetapi dibuat menyatu dengan lembar serat yang dirajut Biranul.
Benito kemudian menunjukkannya dari sisi belakang karya tersebut. Jalinan serat memang menyatu dengan lembaran bordirnya. Ini menunjukkan kepiawaian Biranul dalam menganyam serat dan meleburkannya ke media lain.
Rizki pun kemudian mengisahkan sisi menarik tentang seni serat di dunia. Di era 1980-an terutama di Amerika Serikat mulai diperhatikan seni serat sebagai medium yang melekat dengan gerakan kaum perempuan atau gerakan feminisme.
”Medium serat dianggap identik dengan kaum perempuan yang tidak mendapatkan hak dan perlakuan adil secara kultural,” kata Rizki.
Bahkan, dikatakan, medium serat tidak pernah dianggap sebagai medium seni yang sesungguhnya. Arus utama di dalam seni, khususnya seni rupa, didominasi seni lukis dan patung.
Menurut Rizki, serat akhirnya masuk alur pemikiran praktik politik seni. Serat menjadi medium pemikiran dan politik gerakan kaum perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan dan persamaan hak.
”Dalam proses adaptasi dan penerjemahan gagasan ekspresi semacam itulah karier seni serat Biranul Anas dimulai,” tutur Rizki.
Ragam karya
Di dalam pameran dihadirkan puluhan karya seni serat Biranul, disertai koleksi kain tenunnya dari berbagai daerah Nusantara. Seni kain tenun pada dasarnya sama dengan teknik seni serat Biranul, tetapi ia memberikan sentuhan beda dengan ukuran benang jauh lebih besar, inovasi corak yang realis sampai abstrak, dan menyertakan bahan yang beragam.
Pada karya berjudul ”Jago Pesisir”, berukuran 126 x 65 sentimeter (1988), Biranul menyertakan bahan bulu-bulu untuk membentuk figur ayam jagonya. Untuk karya seri ”Warrior” (1989), Biranul menyertakan batangan kayu berukuran kecil dan panjang.
Serupa dengan karya seni berjudul ”Aceh”(2004). Karya serat Biranul menggunakan batangan kayu-kayu dan berbagai benda yang dipungut dari sapuan tsunami di Aceh.
Salah satunya, karya berjudul ”Aceh #04”, dengan ukuran 157 x 117, selain disertakan puing kayu tsunami, juga topi lusuh, sepatu bayi yang dekil, potongan-potongan koran, dan dikolase dengan kain tenun khas Aceh.
Ragam karya berikutnya, karya seni serat Biranul yang membentuk corak abstrak. Ini karena dipengaruhi situasi pendidikan seni di ITB pada waktu itu yang menekankan perhatian penting terhadap seni abstrak.
Karya kaligrafi juga melengkapi ragam karya seni serat Biranul yang terbaru di tahun 2019 ini. Selain itu, karya-karya yang bertemakan lingkungan hidup.
Seperti yang berlangsung di Amerika Serikat di era 1980-an, Biranul mengambil napas politik seni lewat seni seratnya. Estetika simbolik Biranul pun dilahirkan secara puitik estetik.