Akhir Penantian Para Fanatik
Penggemar serial TV Game of Thrones kerap disebut fan fanatik. Bukan karena bangga serial ini meraup banyak penghargaan atau menjadi salah satu produksi termahal. Bukan juga karena semata menikmati konten seksual dan kekerasan di dalamnya. Namun, karena pada kompleksitas cerita dan karakter, mereka menemukan refleksi diri dan gambaran dunia hari ini.
Pada Januari 2019, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengunggah potret dirinya di akun Instagram dengan tulisan ”The Wall is Coming”, berdesain menyerupai tag line serial Game
of Thrones: The Winter is Coming.
Unggahan itu merujuk pada misi Trump membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko. Dua bulan sebelumnya, ketika mengumumkan sanksi ekonomi AS terhadap Iran, Trump juga mengunggah poster senada bertuliskan ”Sanctions are Coming”.
Merespons unggahan Trump, The New York Times (4/1/2019) merilis artikel berjudul ”Game of Thrones Does Not Say What Donald Trump Thinks It Does”. Sementara The Guardian (9/1/2019) menerbitkan artikel ”The Wall is Coming: Trump Becomes the World’s Worst Game of Thrones Fan”.
Dua artikel itu mewakili kekesalan para penggemar Game of Thrones (GoT) karena Trump dianggap mencomot simbol dari serial itu tanpa memahami cerita, apalagi pesannya. Kisah GoT sudah berulang kali dipetik sebagai metafora oleh sejumlah tokoh dunia.
Tak sebatas itu, beragam kajian akademis juga mengolah GoT sebagai bahan analisis. Salah satunya, buku Win or Die, Leadership Secrets from Game of Thrones (2018) yang ditulis Bruce Craven dari Colombia Business School. Ada pula kajian psikoanalisis dan strategi pertahanan tentang GoT.
Unggahan Presiden Trump menuai protes karena, jika ”belajar” dari GoT, Trump seharusnya justru bakal urung membangun tembok di perbatasan yang kontroversial itu.
Tembok bisa dilihat sebagai salah satu metafora penting dari serial TV produksi HBO itu. Di jagat GoT dikisahkan, sebuah tembok raksasa dibangun ribuan tahun lalu untuk melindungi wilayah Westeros dari white walkers alias mayat hidup.
Namun, selama berabad-abad makhluk yang jadi mimpi buruk umat manusia itu tak menampakkan wujudnya. Warga Westeros pun mulai lupa, menganggapnya dongeng semata. Tembok itu lantas berubah fungsi, melindungi Westeros dari wildling,kaum yang dicap miskin, barbar, hanya ingin mencuri dari Westeros yang dianggap lebih beradab dan sejahtera.
Ketika mimpi buruk itu mewujud nyata, para penguasa Westeros mesti mendefinisikan ulang siapa musuh mereka sebenarnya. Jon Snow (Kit Harrington), salah satu karakter utama serial ini, jauh-jauh hari sudah mengingatkan, ”Mereka (wildings) lahir di sisi tembok yang salah. Itu tidak membuat mereka jadi monster.”
Trump pun luput mengingat bahwa di akhir sesi ke-7 GoT, tembok raksasa itu dikisahkan runtuh, terbukti tak efektif sebagai pelindung. Satu-satunya jalan menuju keselamatan adalah jika semua pihak yang sebelumnya sibuk berebut kuasa bisa bergandeng tangan menghadapi musuh bersama kemanusiaan.
Akankah beragam fraksi yang berbeda kepentingan itu menyadari bahwa musuh yang sejati akan melahap seluruh umat manusia tanpa membedakan bangsa dan klan?
Akankah mereka bisa bekerja sama dan memenangi perang yang sebenarnya? Berapa harga yang harus dibayar demi kemenangan itu?
Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu sedang ditunggu-tunggu penggemar serial ini di seluruh dunia. Jawaban yang dijanjikan ada pada sesi ke-8 alias sesi terakhir GoT. Penayangan sesi ke-8 ini dimulai pada Minggu (14/4/2019) waktu AS atau Senin pagi waktu Jakarta.
Bursa taruhan
GoT dibuat berdasarkan seri novel A Song of Ice and Fire karya George RR Martin. Akan tetapi, plot pada sesi terakhir serial ini didasari oleh buku lanjutan Martin yang belum dipublikasikan, bahkan diperkirakan belum selesai ditulis.
Berbagai ”teori” dan prediksi cerita atas dasar dua menit trailer sesi ke-8 yang dirilis HBO heboh dibahas di media sosial.
Amat banyak akun di media sosial dibuat untuk mewadahi diskusi para fan ini. Salah satu akun Facebook, misalnya, diikuti 22 juta penggemar dari banyak negara. Ada pula grup tertutup yang mensyaratkan anggota mendaftar dan diuji sebelum bergabung. Akun penggemar GoT di Twitter dan Instagram ada pula yang berpengikut lebih dari 7 juta orang.
Sesi ke-1 GoT dirilis pada 2011. Beberapa waktu kemudian, serial TV ini dinobatkan sebagai serial yang paling banyak dibajak. Bocoran skripnya pun dikejar-kejar.
Pada 2016, ”bocoran” tentang satu naga yang akan mati sempat meluas dan terbukti. Peretas bahkan pernah berhasil mengedarkan satu episode pada sesi ke-7 beberapa waktu sebelum jadwal penayangan.
Muatan situs-situs penggemar GoT pun amat kaya. Di situ dibahas sejarah setiap keluarga pemimpin klan hingga ulasan soal beragam organisasi, perkumpulan, bahkan agama yang muncul dalam GoT.
Ada pula yang cukup cermat menghitung berapa jumlah karakter yang mati. Menurut The Telegraph (1/4/2019), sejauh ini ”korban jiwa” sudah mencapai 174.373 orang.
Menyambut penayangan sesi terakhir GoT, situs The Telegraph membuat banyak kuis, juga mengulas bursa taruhan. Di bursa-bursa taruhan itu tentu ramai dijagokan siapa karakter bakal bertahan hidup dan siapa akan mati.
Abu-abu
Penggemar GoT seakan tak pernah kehabisan bahan untuk membahas cerita ini pada beragam platform. Namun, hal terpenting yang membuat mereka jadi fanatik adalah ”investasi” emosi yang terbangun selama 7-8 tahun mengikuti kisah ini. Untuk memahami jalan cerita yang begitu kompleks, penonton memang dituntut memulai dari sesi ke-1.
Mereka yang tak terbiasa dengan konten kekerasan brutal, misalnya, dibuat tak berpaling dan bertoleransi ketika karakter Arya (Maissie Williams) tumbuh dari bocah perempuan imut pada sesi ke-1 menjadi pembunuh yang kerap menggorok leher musuh.
Hal itu terjadi karena serial ini dengan cerdas menuntun penonton untuk memahami motivasi, rasa kehilangan yang membentuk sisi gelap Arya, juga sisi baik yang masih sanggup ia pertahankan.
Kekuatan utama GoT ada pada kesuksesannya membangun karakter, baik pada puluhan tokoh utama maupun penunjang. Karakter ini tidak bersifat hitam putih. Mereka dilekati stereotip, tetapi bertumbuh, berbelok, menjadi sesuatu yang lain.
Dunia yang abu-abu, itulah dunia kita hari ini. Oleh karena itu, penonton menemukan relevansi pada karakter-karakter tersebut.
Di antara jajaran tokoh cerita, salah satu pencuri hati adalah karakter Tyrion Lannister yang diperankan Peter Dinklage. Aktor bertinggi badan 132 sentimeter ini menjelma sebagai si kerdil yang dicemooh pada kisah dunia abad pertengahan itu. Namun, ia juga membuktikan, dirinyalah yang paling cerdas dan lihai.
Melalui Tyrion, serial ini kerap menyodok penonton dengan perdebatan soal moralitas, hipokrisi, juga insting primordial. ”Sandanglah (kekuranganmu) seperti baju zirah, agar itu tak bisa dipakai untuk menyakitimu,” ujarnya.
Sejak 2011, GoT telah meraup 47 penghargaan bergengsi Primetime Emmy pada berbagai kategori. Tiga penghargaan Emmy—plus satu Golden Globe—diraih Dinklage untuk perannya sebagai Tyrion.
Mengutip Tyrion, hidup menawarkan banyak kemungkinan, kerap tak terduga. Kini, para fan fanatik GoT yang sudah sibuk memperhitungkan berbagai kemungkinan bersiap menyambut akhir cerita.