Antara Kasih Agape dan Eros
Adakalanya cinta yang sederhana berbuah kerumitan. Adakalanya hasrat manusiawi dipertanyakan kala janji dengan Sang Pencipta sudah terucap. Film Ave Maryam hendak bertutur jujur tentang dua pergumulan besar manusia: cinta dan dosa.
”Jika surgaku belum pasti, buat apa aku mengurusi nerakamu?”. Dialog itu diucapkan oleh Suster Monic (Tutie Kirana) kala Suster Maryam (Maudy Koesnaedi) jatuh cinta. Sejak kedatangan Romo Yosef (Chicco Jerikho) di kesusteran, atmosfer di antara sang Romo dan Suster Maryam sesak oleh getar asmara.
Menjelang usia ke-40 tahun, Suster Maryam baru merasakan hatinya bergejolak. Keteguhan hatinya diusik oleh Romo Yosef yang mahir bermusik, luwes, dan karismatik. Kondisi ini dipersulit dengan Romo Yosef yang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya kepada Suster Maryam.
Segala upaya ditempuh Romo Yosef untuk mengenal Suster Maryam lebih dekat. Walaupun sering ditolak, Romo Yosef tetap berusaha menjangkau Suster Maryam. Menitipkan surat kepada suster senior dan bocah pengantar susu ia lakoni. Bahkan, Romo Yosef juga nekat mengajak Suster Maryam makan malam di luar kesusteran.
Di sisi lain, pertahanan Suster Maryam perlahan runtuh oleh rasa cinta yang semakin mendominasi. Karisma dan ajakan berulang dari sang romo membuat sang suster luluh. Ia pun menyetujui ajakan makan malam berdua di suatu malam.
Pertemuan di restoran malam itu nyata menjadi permulaan kisah cinta keduanya. Makan malam berlanjut dengan kencan lain pada malam-malam selanjutnya. Menyelinap dari kesusteran menjadi kegiatan baru Suster Maryam. Hanya mereka berdua yang tahu hubungan terlarang ini.
Sebagai biarawati dan romo, mereka telah bersumpah untuk mengabdi kepada Tuhan hingga akhir hayat, termasuk sumpah untuk tidak menikah. Kaul atau janji itu meliputi kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Dalam hal kemurnian, para pelayan Tuhan bersumpah menjaga kesucian hati dan raganya.
Kisah cinta Suster Maryam lekat dengan kasih agape dan eros. Dalam istilah Yunani, kasih agape berarti kasih tak bersyarat. Kasih ini identik dengan kasih Tuhan kepada umat-Nya. Sementara itu, kasih eros berarti kasih di antara pasangan kekasih.
Pada akhirnya, Suster Maryam berada di persimpangan jalan. Iman dan hatinya berontak, sulit berkompromi. Ia harus menentukan pilihan antara kasih agape yang rohani dan kasih eros yang manusiawi.
Minim dialog
Film berdurasi 73 menit ini minim dialog. Keheningan lebih mendominasi jalannya cerita. Penonton diajak untuk meresapi kehidupan para biarawati yang jauh dari kebisingan dan percakapan yang tidak perlu.
Film ini lebih vokal soal visual yang ditangkap kamera. Selain lokasi-lokasinya yang bagus, sudut pengambilan gambar pun dipertimbangkan dengan baik. Hasilnya, visual Ave Maryam memukau dalam kesederhanaan.
Kesunyian film ini mengajak para penonton untuk tenggelam dalam ekspresi tiap karakter. Setiap kernyitan pada wajah, kedalaman tatapan, senyum samar, hingga bahasa tubuh yang kikuk jadi sangat dominan. Dalam sunyi, para penonton juga diajak berkontemplasi tentang cinta dan iman.
”Film ini menceritakan dengan sederhana tentang hasrat manusia dan pergumulan di hati mereka. Buat saya, tidak ada yang salah dengan Tuhan. Ini soal pribadi setiap manusia. Ini tentang pemahaman cinta dari manusia,” kata sutradara Ave Maryam, Robby Ertanto Soediskam, di Jakarta, Kamis (12/4/2019) malam.
Walaupun minim dialog, film ini berhasil membuat masyarakat berkomentar bising di dunia maya. Pasalnya, ide cerita film ini cukup ”berani”. Ide cerita menampilkan konflik batin nyata yang jauh dari sorotan dan barangkali kontroversial.
Tidak semua orang berani mengangkat tema ini untuk dibuat menjadi film profesional.
Terlepas dari semua hiruk- pikuk itu, Ave Maryam tetap memukau. Dalam diamnya, ia merangsang batin penontonnya untuk menanyakan kebenaran cinta dan pengabdian. Dengan jujur, ia menyatakan keterbatasan manusia dalam balutan hasrat.
Murni berkarya
Tiada pemikiran ruwet yang mampir ke benak Robby saat membuat film ini. Tidak pernah terlintas di pikirannya bagaimana film ini akan diterima oleh masyarakat. Yang Robby tahu hanya berkarya dengan murni tanpa beban.
Pengambilan gambar film ini rampung pada 2016. Proses produksi berlanjut hingga akhirnya benar-benar selesai pada awal 2018. Mulanya film ini ditayangkan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Penayangan film ini berlanjut ke festival-festival film lainnya.
Respons masyarakat yang antusias benar-benar di luar dugaan Robby. Ia bahkan tidak pernah membayangkan film yang ia tulis dan arahkan akan tayang di bioskop Indonesia. Terhitung sejak 11 April 2019, poster Ave Maryam resmi dipajang di bioskop dengan tulisan ”now playing”.
”Semua kru yang terlibat adalah orang-orang yang positif. Kami tidak memikirkan soal akan jadi seperti apa film ini nanti. Kalau kami memikirkan itu, film ini tidak akan jadi. Kami hanya fokus berkarya. Biar semesta yang membawa arah film ini,” kata Robby.
Sementara itu, pemeran Suster Maryam, Maudy Koesnaedi, sempat menjadi pembicaraan hangat. Keputusannya untuk memerankan sang suster juga tidak kalah berani dengan keliaran ide cerita Robby. Maudy bisa dibilang sukses menyelami karakter Suster Maryam dengan apik.
Sama dengan Robby, Maudy tidak membiarkan kebisingan pikiran mengganggunya fokus pada peran yang ia lakoni. Ia membuka diri untuk mempelajari kehidupan di kesusteran. Ketekunan itu membuatnya melebur dalam karakter Suster Maryam.
”Selama sembilan hari shooting, saya tidak meninggalkan lokasi untuk hal lain. Sebelumnya, saya mengobservasi dengan memotret, menyimak, memperhatikan setiap getaran, atmosfer, dan frekuensi yang ada di sana. Semua energi saya fokuskan untuk ada di sana,” kata Maudy di Jakarta, Kamis (11/4/2019).
Menurut dia, kesempatan berperan sebagai Suster Maryam menjadi pengalaman baru. Ia juga merasa diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lagi kemampuannya berlakon. Ia menekankan, film ini adalah masalah karya, bukan keyakinan.
”Film ini sangat sederhana. Tontonlah secara sederhana tanpa pretensi atau berpikir yang macam-macam. Ditonton saja dengan tenang dan mengalir,” kata Maudy.
(Sekar Gandhawangi)