Mimpi Buruk di Hotel Masyhur
Darah dan air mata di mana-mana. Teror berusaha menanam ketakutan hingga titik paling dalam, membombardir rasa aman. Namun, kemanusiaan selalu menemukan jalannya. Seperti digambarkan dalam film ”Hotel Mumbai”, di tengah kelambanan aparat, keberanian dan kemanusiaan berpadu padan, meski dengan embel-embel narasi ”melayani”.
Pada 26 November 2008, sebuah mimpi buruk aksi teror terjadi di Mumbai, India. Teror membabi buta yang menewaskan 170 orang dan melukai ratusan lainnya itu berlangsung tiga hari di 12 lokasi. Salah satunya di Hotel The Taj Mahal Palace atau The Taj. Selama tiga hari, 31 orang meninggal di hotel ini.
Sutradara Anthony Maras, pemenang berbagai penghargaan untuk film pendek, mengangkat kisah teror itu dalam film panjang pertamanya, Hotel Mumbai. Film yang mulai diperkenalkan sejak 2018 ini berupaya mengangkat kisah salah satu aksi teror panjang sekaligus menunjukkan kekuatan melawan kebiadaban.
Sepuluh anak muda melintasi laut tenang berwarna keemasan saat senja. Menggunakan perahu bermotor, mereka segera akan tiba di Mumbai. Wajah mereka sedikit tegang, berkeringat. Di telinga mereka terpasang earphone, dengan untaian kalimat penyemangat dari sang pemandu untuk aksi brutal yang akan mereka lakukan sebentar lagi. Setelah tiba, mereka lalu terbagi dalam beberapa kelompok kecil. Dua orang ke stasiun, kafe, dan beberapa orang ke hotel.
Di saat yang bersamaan, seorang pemuda Sikh, Arjun, diperankan Dev Patel, yang juga produser eksekutif di film ini, bersiap berangkat bekerja. Salah satu pelayan restoran Hotel The Taj ini adalah tipikal pekerja kelas bawah India yang bertarung dengan kemiskinan, rumahnya di permukiman padat yang kumuh, dengan seorang anak balita dan istri hamil besar yang tetap bekerja.
Gambar berpindah, menunjukkan kontras sisi mewah hotel The Taj. Seorang pelayan kamar memeriksa suhu air di bathtub yang bertabur mawar. Semua detail untuk kepuasan pelanggan diperhitungkan, terlebih bagi tamu istimewa di kamar utama.
Beberapa tamu penting yang ada dalam film adalah pasangan Zahra (Nazanin Boniadi) dan David (Armie Hammer). Zahra adalah putri salah seorang konglomerat India dan David adalah arsitek asal Inggris. Mereka juga membawa bayi dan seorang pengasuh. Juga ada Vasili (Jason Isacs), seorang pebisnis kakap asal Rusia.
Tamu adalah raja, begitu ”mantra” yang selalu didengungkan kepada para karyawan hotel. Mereka wajib memberi pelayanan maksimal kepada mereka yang datang. Mantra itu salah satunya didengungkan oleh Hemant Oberai, kepala koki, yang diperankan oleh Anupam Khmer. Oberai adalah tokoh nyata yang saat itu mengurusi semua keperluan restoran dan makanan tamu.
Jelang malam, dua pelaku teror memulai aksinya di stasiun. Raungan senjata otomatis menyalak, menembus siapa saja yang ada dalam jarak tembak pelaku. Teriakan dan orang yang berlarian ketakutan menjalar. Teror berlanjut di beberapa tempat lain.
Film berdurasi dua jam ini langsung menyuguhkan aksi teror membabi buta yang membuat terenyak. Empat pelaku teror dari Lashkar e-Taiba (LeT) yang menguasai hotel ini menyisir semua ruangan hotel. Mereka mencari tamu-tamu asing dan penting untuk disandera atau dibunuh.
Melayani para ”raja”
Ratusan orang yang terjebak dalam hotel mencari perlindungan dan jalan keluar masing-masing. Arjun yang saat itu berada di restoran segera mengawal tamu dan memastikan mereka bersembunyi. Oberai bersama para anggota stafnya juga mengambil sikap untuk bertahan di hotel, menyelamatkan tamu yang terjebak atau bersembunyi di kamar.
”Saya di sini sudah 35 tahun, ini adalah rumah saya,” kata seorang bawahannya. Mereka bersenjata pisau, pentungan, wajan, atau apa saja yang bisa mereka temukan di dapur.
Sayangnya, tidak ditunjukkan bagaimana penyelamatan orang biasa yang kebetulan menginap atau warga yang awalnya berlindung dalam hotel. Beruntung, Maras mampu membangun ketegangan yang mencekam. Suasana kota yang kacau dan mencekam.
Selain menceritakan perjuangan dan upaya tolong-menolong orang-orang dalam aksi teror, film ini juga memperlihatkan ketidakmampuan aparat India menangani teror. Setelah berjam-jam, sejumlah polisi baru berani untuk memasuki hotel.
Mereka tentu tidak ditemani Inspektur Vijay, salah satu karakter polisi hebat yang sering muncul dalam sejumlah film Bollywood. Para polisi tanpa kemampuan menangani teror ini terpaksa memberanikan diri masuk karena pasukan khusus antiteror masih berada di Delhi, sekitar 1.000 kilometer dari Mumbai.
Perjalanan aparat yang dinantikan ini membutuhkan waktu sembilan jam. Kota ini menjadi sasaran empuk aksi teror karena tidak adanya panduan dan pasukan yang sigap menangani aksi teror seperti ini.
Pelaku teror yang merencanakan sesuatu dengan detail dan matang bahkan dengan bebasnya mencuri mobil polisi dan menembaki siapa saja yang mereka temui di jalan. Di dalam hotel, suasana jauh lebih brutal. Mereka bebas menembak, melemparkan granat, atau membakar hotel.
Aksi brutal para teroris baru benar-benar bisa dituntaskan pada 29 November. Hanya saja, kebingungan dan kecerobohan aparat ini tidak dielaborasi lebih jauh dalam film. Padahal, hal ini penting menjadi pengingat bagi keselamatan banyak orang.
Supremasi
Hotel Mumbai dibangun akhir tahun 1903 oleh Jamsetji Nusserwanji Tata, konglomerat India. Beberapa cerita menyebutkan, ia membangun hotel sendiri setelah ditolak masuk ke sebuah hotel berbintang yang dikhususkan untuk warga kulit putih dan Eropa. Ia melawan narasi supremasi warna kulit. Hotel The Taj Mahal Palace lalu mulai dibangun dengan anggaran 250.000 poundsterling. Hotel ini memiliki lebih dari 500 kamar, 44 suites, dengan 1.600 karyawan.
Hotel The Taj adalah satu dari belasan lokasi yang menjadi target aksi teror. Selain hotel dan kafe, juga ada rumah sakit, pusat komunitas Yahudi, dan beberapa tempat lain.
Lalu mengapa Maras fokus ke The Taj, tidak ke tempat lain, atau cerita para penyintas setelah peristiwa itu? Anthony Lane dalam The New Yorker (25/3/2019) menyebut, ada beberapa hal yang menjadi latar belakang pemilihan latar cerita.
Ironisnya, mungkin hal yang sama juga dilihat oleh para pelaku teror. Di antaranya, hotel menyediakan banyak ruang untuk dilihat dan menembak. The Taj adalah simbol kemewahan, juga tempat para orang asing datang.
Maras melakukan penelitian panjang sebelum membuat film ini. Ia mewawancarai banyak saksi dan penyintas, utamanya anggota staf dan pelayan restoran The Taj. Ia mengatakan terinspirasi dari keberanian para anggota staf dan pelayan tersebut dalam melindungi tamu.
Jika para teroris itu dicekoki doktrin dendam, pemahaman agama yang salah, para anggota staf justru berbekal mantra sederhana. Maras sepertinya ingin menegaskan bahwa menjadi pelayan kemanusiaan adalah sebenar-benarnya tugas setiap orang.