Sensorik untuk Seni Media
Kehidupan masyarakat dipenuhi ketersalingan yang tak terhindarkan. Jejaring relasional menampakkan hubungan sebab akibat atau aksi reaksi yang dapat dibongkar dan ditelusuri. Teknologi sensorik untuk seni media menyuarakan hal ini.
”Ini sebuah rangkaian sensorik yang saling memengaruhi. Permukaan piringan hitam yang sebagian dilukisi itu menimbulkan perubahan bunyi piringan hitam dan perubahan bunyinya ditangkap sebuah sensor untuk memengaruhi perubahan cahaya. Kemudian perubahan cahaya itu ditangkap sensor lain untuk menimbulkan perubahan bunyi pada rangkaian berikutnya,” ujar Hilmi Fabeta, kurator Pameran Media Art Identity di Galeri Rempoa Satu di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (18/4/2019).
Pameran seni media itu diawali kegiatan lokakarya yang melibatkan 30 peserta seniman muda. Mereka didampingi para seniman sebagai mentor meliputi Thomas Balducci dan Emil Salim untuk bidang teknologi kinetik,
motorik, dan intrik.
Popomangun dan Edi Bonetski untuk foto, ilustrasi, dan ilusi. Pahello dan Shano untuk ilustrasi, produk, dan hegemoni.
Kemudian Aphrodita ”Cemprut” Wibowo menjadi mentor untuk pembuatan boneka lunak. Seniman Moch Hasrul terlibat dalam bidang teknologi sensoriknya.
Lokakarya dijadikan proses kerja kolaboratif yang berlangsung pada 4-7 April 2019. Hasil kerja bersama dipamerkan sebagai karya kolaboratif para seniman dengan peserta lokakarya hingga 21 April.
Menurut Hilmi, karya seni media yang dipamerkan itu berbasis lokakarya. Ia menjelaskan, gerakan berputar sebuah mainan kereta api di jalur relnya ditangkap perangkat sensor gerak. Sensor ini membangkitkan perubahan gerak pada boneka-boneka lunak yang digantung di sebelahnya.
Berikutnya, sebuah tong dilengkapi sensor bunyi. Ketika tong besi tipis itu ditabuh, lampu-lampu di balik kotak sebanyak 29 buah yang dihiasi gambar wajah orang itu menyala bergantian, indah berwarna-warni.
Instalasi seni media itu menggambarkan sebuah rangkaian ketersalingan. Ada hubungan sebab akibat atau aksi reaksi di dalam sebuah jejaring relasional.
Individu digambarkan menempati posisi masing-masing. Mereka memainkan perannya. Setiap individu menjadi subyek yang memiliki relasi sejajar dengan subyek lain. Menjadi subyek dalam jejaring relasional dituntut memiliki identitas. Identitas akan memberikan batasan-batasan ideal.
”Subyektivitas dan identitas itu proses menjadi dan bersifat dinamis. Kita mungkin bisa memerankan banyak identitas sekaligus,” ujar Hilmi.
Menjadi subyek berarti harus pandai-pandai menempatkan diri. Dalam kehidupan nyata, orang sering berlomba-lomba menjadi subyek yang makin lengkap dan dominan. Misalnya, dari rakyat biasa atau tentara ingin menjadi presiden.
Jejaring relasional pun berubah. Ketersalingan menghadapi anomali-anomali tak terduga. Kenakalan-kenakalan kreatif terpicu. Individu menyimpang dari posisi dan perannya. Namun, keseimbangan baru nantinya tercipta menjadi jejaring relasional yang baru pula.
Kemampuan tafsir
Sebuah respons atau tindakan tertentu dipengaruhi kemampuan tafsir. Karya Edi Bonetski berjudul ”Tafsir Bunyi Visual #Bonetskicode” bertutur tentang itu. Di sebuah meja ditempatkan puluhan piringan hitam yang memiliki diameter 15 sentimeter. Permukaan piringan hitam diwarnai dengan cat akrilik dan tipeks.
Ada bagian tertentu pada permukaan piringan hitam yang tidak tertutup cat atau tipeks. Ketika piringan hitam itu diputar, bagian itulah yang akan berbunyi.
Di bagian pojok meja, ditempatkan sebuah perangkat sensor. Sensor itu menangkap perubahan bunyi. Bunyi yang keras akan memicu nyala lampu.
Efek dari sinar lampu tersebut ditangkap perangkap sensorik berikutnya yang menjadi bagian karya seniman Pahello berjudul ”Kota Kelahiran”.
Pahello membuat miniatur rumah-rumah tinggal di pemukiman urban yang padat. Di dalam miniatur rumah-rumah itu terdapat perangkat bebunyian kinetik. Perangkat itu mengeluarkan bunyi ketika sensornya tidak menangkap cahaya. Ini menyiratkan, aktivitas kehidupan masyarakat urban yang bergerak justru ketika hari beranjak gelap.
Di sebelah miniatur rumah- rumah urban, terhampar kawasan terbuka hijau. Pahello menempatkan beberapa baliho pemasaran hunian di sana. Di salah satu baliho, ada satu tulisan, ”Demokrasi Teman Nasi Sepiring Indonesia”.
Di sebelahnya, karya Aphrodita ”Cemprut” Wibowo berjudul ”Makhluk-makhluk Kota”. Cemprut bersama peserta lokakarya membuat boneka- boneka lunak untuk menggambarkan situasi perasaan masing-masing terhadap kota yang ditinggalinya kini.
”Saya membuat boneka ini untuk mengekspresikan perasaan saya setelah tinggal di Kota Tangerang. Sebelumnya, saya tinggal di Yogyakarta,” ujar Cemprut.
Selain mengekspresikan perasaan ceria dengan pola warna-warni, ada pula yang mengekspresikan rasa ketakutan dengan membuat boneka seorang bajak laut dengan sebelah matanya tertutup. Menurut Cemprut, itu karya peserta yang tinggal di pesisir dengan kehidupan nelayan yang keras.
Boneka-boneka lunak itu kemudian digantung dengan tali senar dan bergerak-gerak. Energi kinetik yang menggerakkan boneka-boneka ini dipicu sensor instalasi seni media lain yang diberi judul ”Kereta Kinetik Motorik Intrik” karya Thomas Balducci dan Emil Salim.
Sebuah kereta mainan berputar di jalur relnya. Ketika melewati titik tertentu, gerak kereta itu memengaruhi sensor penggerak boneka-boneka. Berikutnya, ”Deco Pops Drawing” karya Popomangun. Ia menempatkan 29 foto wajah yang didekorasi dengan goresan cat.
”Gambar itu hasil interaksi dan komunikasi peserta lokakarya yang tidak saling kenal lalu dipasangkan. Mereka lalu menuangkan hasil interaksinya itu menjadi dekorasi gambar wajah pasangan masing-masing,” kata Popomangun.
Dari situlah, Popomangun menyampaikan pesan, menilai diri sendiri akan jauh lebih sulit dibandingkan ketika menilai orang lain.
Karya-karya yang ditampilkan melalui Pameran Seni Media Art Identity ini diharapkan mampu memberi angin baru untuk wajah dunia seni rupa kita. Sekaligus membangun identitas teritori seni Tangerang Selatan di pinggir metropolitan ibu kota Jakarta.
(NAWA TUNGGAL)