Menelisik Kembali Tubuh
Performans urban milenial itu bikin terkesima, amat dinamis. Mereka menari ceria bergaya Broadway, berjingkat layaknya balerina, bergelantungan di konstruksi bilah besi, kemudian ada pula yang berlompatan dan terjatuh berjumpalitan akrobatik.
Sesaat kemudian mereka tampil menari dengan gaya ranah Minang yang bertumpu gerak silat. Di situ ada transformasi dari gerak tubuh yang menari dengan irama cepat dan hitungan pasti, menjadi gerak menari Minang yang lebih lambat, bahkan kadang terdiam sejenak, dengan hitungan irama yang tak pasti pula.
Ini sebuah karya kolaborasi koreografer Kresna ”Peceng” Wijaya dari komunitas Eki Dance dengan seniman tari Hartati asal Minang, Sumatera Barat, yang juga Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Karya ini ditampilkan sebagai lecture performance atau kuliah performans, Rabu (24/4/2019), di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Penampilannya sebagai bagian dari program Jakarta Dance Meet Up ”Unboxing Tari” (Politik, Tubuh, dan Ruang) yang diselenggarakan Komite Tari DKJ. Sepanjang hari itu pula digelar diskusi dan lokakarya terkait politik, tubuh, dan ruang dalam dimensi seni tari.
Ketua DKJ Irawan Karseno menyebut, program ini sebagai agenda menelisik kembali tubuh sebagai aspek sangat penting dalam dunia seni tari. Tubuh mencatat berbagai ekspresi, mulai dari transendental sampai politik.
”Dalam sejarah panjang manusia, tubuh merekam berbagai kepentingan yang berkelindan, tarik-menarik bagi berbagai kepentingan,” ujar Karseno.
Bagian karya koreografi Kresna pada babak yang dinamis itu diberi judul, ”Body Construction” atau Konstruksi Tubuh. Kemudian, karya koreografi Hartati pada babak seni tari ranah Minang belum diberi judul.
”Ini baru sebagai bibit sebuah karya yang ke depan masih harus dikembangkan lagi,” ujar Hartati.
Karya koreografi Kresna ditampilkan 10 penari, kemudian dari mereka ditambah lagi 7 penari untuk membawakan karya koreografi Hartati. Perubahan karakter performans mereka menjadi rangsangan menggairahkan untuk menelisik kembali tubuh.
Terpenjara
Tubuh yang menari itu transformasi dari yang terpenjara ke tubuh yang eksistensial. Ini salah satu butir pembahasan yang diutarakan narasumber Saras Dewi, pengajar di Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, pada rangkaian kegiatan tersebut.
Saras mengkaji dari perspektif Simone de Beauvoir. Tubuh yang menari itu bukan lagi tubuh yang docile atau tunduk patuh pada aturan yang dibentuk kuasa di luar dirinya.
Kemerdekaan tubuh yang menari itu realisasi diri bahwa gerakan itu adalah miliknya. Menari menjadi sebuah perayaan akan otentisitasnya.
Di ruang politik, menari itu menegaskan tubuh yang memberontak dari beban universalitas, misalnya dari absolutisme agama, adat, nilai sosial, atau kapital. Menari menjadi tindakan negasi terhadap opresi atau kekuatan yang menekan, di antaranya untuk menyeragamkan.
”Melalui tarian dapat disimpulkan bagaimana tubuh memperjuangkan kebebasan. Menari adalah konstruksi baru untuk melawan wacana lama,” kata Saras Dewi.
Narasumber lain adalah Aquarini Priyatna, pengajar di Departemen Susastra dan Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran. Aquarini mengambil kutipan dari Hallensleben tentang ambivalensi diri sebagai tubuh dan sebagai pemilik tubuh. Ambivalensi ini menarik karena dari diri bisa menempatkan tubuh sebagai ruang performatif. Tubuh bisa dihidupi untuk menunjukkan manifestasi kultural atau politis.
Koreografi Eko Supriyanto dan seniman Tony Broer menjadi penanggap aktif kegiatan diskusi yang dipandu moderator Heru Joni Putra ataupun lecture performance tadi.
Tony Broer di dalam sesi kuliah performans menyinggung persoalan kemandirian sebagai penari yang hidup dan tumbuh di dalam komunitas. Semestinya seorang penari dalam kapasitas individual pun mampu mencapai kemandiriannya.
Rusdy Rukmarata, pendiri Eki Dance yang juga bagian dari anggota Komite Tari DKJ, mengutarakan persoalan minat produser performans atau tarian yang masih rendah. Hal ini ditanggapi Eko Supriyanto, yang menceritakan pengalamannya dalam forum regional tingkat Asia.
Hal yang terjadi justru kebalikan dari yang disampaikan Rusdy. Para produser performans di Asia justru sedang mencari para penampil performans untuk diproduksi mereka.
Dari agenda menelisik kembali tubuh di dunia seni tari itu kemudian memunculkan perbincangan panjang. Namun, seperti yang disinggung Hartati, yang lebih penting dari semua yang dibahas itu adalah apa yang diperoleh dan dapat dipraktikkan.
Untuk hal yang dapat dipraktikkan, pemikiran Rusdy Rukmarata sangatlah relevan. Performans karya Kresna dan Hartati menampilkan tren kekinian global yang dibenturkan dengan salah satu akar tradisi keindonesiaan, yaitu tradisi Minang.
Kreativitas seni tari seperti ini sangat baik untuk terus dikembangkan sebagai identitas yang menunjang eksistensi dunia seni tari Indonesia sekarang. Contohnya, seni tari dengan ritme agrikultural yang berasal dari gerak menumbuk padi itu tumbuh menjadi seni tari urban milenial yang kontekstual.
”Ada perbedaan antara performans urban milenial yang tanpa basa-basi mengejar kepastian, kemudian menghasilkan nuansa. Yang tradisi itu membangun nuansa terlebih dahulu, kemudian mengungkapkan kepastian,” ujar Rusdy.
Tugas yang diemban para kreator dunia seni tari Indonesia sekarang membongkar yang lama dengan menggunakan sudut pandang yang baru. (NAWA TUNGGAL)