Kearifan Lokal dari ”Ambu”
Remaja dari suku yang kuat memegang adat memutuskan kawin lari. Perempuan itu meninggalkan sang ambu, atau ibu dalam bahasa Sunda, dengan kegetirannya. Tabiat itu menjadi siklus saat cucu ambu juga membangkang ibunya. Konflik tiga generasi itu menjadi inti film Ambu yang tayang mulai 16 Mei 2019.
Nona (Lutesha) adalah remaja Jakarta yang biasa disko di kelab setiap hari sampai teler. Di rumah, orangtua Nona, Fatma (Laudya Cynthia Bella), setengah mati mengurus bisnis katering. Nona kerap pulang subuh dan Fatma berulang kali menasihatinya dengan sabar.
Nilai pelajaran Nona jeblok. Tak terhitung pula siswi sekolah menengah atas itu bolos hingga diskors, tetapi masih juga Nona berhura-hura. Tak heran Nona jadi bengal. Fatma sudah berpisah dengan Nico (Baim Wong), ayah Nona.
Lelaki itu sesekali masih datang hanya untuk memoroti Fatma. Bisnis Fatma terus menurun hingga tak bisa dipertahankan. Dia jual semua peralatan katering, merangkul para pegawainya, lantas mengepak koper.
Alur pembuka itu menggambarkan kompleksitas hubungan orangtua dan anak. Ibu yang menutupi beragam persoalan dan ketidakpatuhan putrinya. Maka, tatkala Fatma setengah memaksa Nona berkemas dan pergi ke stasiun, tak pelak anak itu uring-uringan. Kereta yang membawa mereka seakan menyusuri alur tanpa titik balik.
Asal-usul Fatma berangsur terang bagi Nona saat tiba di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Banten. Di permukiman suku Baduy itu, mereka disambut Hapsa (Enditha Wibisono), kerabat Fatma. Girang bukan kepalang, Hapsa menjerit memanggil ibunda Fatma, Misnah (Widyawati), yang disapa ambu.
Setengah tak percaya, Misnah mendelik. Bukannya sambutan hangat, Misnah justru meletupkan emosi yang terpendam selama 16 tahun. ”Maneh teu meunang asup ka dieu deui (kamu tidak boleh masuk ke sini lagi),” ujar Misnah dengan mata menyala-nyala.
Kegeraman Misnah menjadi adegan awal untuk menyingkap perselisihan nenek, ibu, dan anak. Misnah emosi lantaran Fatma jatuh hati pada laki-laki yang tak bertanggung jawab. Lebih dari itu, Fatma juga tercerabut dari akar budayanya sebagai orang Baduy.
Belajar dari alam
Suku Baduy yang amat memegang teguh adat istiadatnya digambarkan dengan sangat gamblang dalam film itu. Warga Baduy yang menikah dengan orang dari luar suku harus hengkang dari permukimannya. Mereka tak dianggap sebagai orang Baduy.
Tak heran Misnah murka saat Fatma menikah dengan Nico, mahasiswa dari Jakarta yang sedang praktik lapangan. Maka, Ambu menjadi film yang mencuatkan sisi universal sekaligus primordial. Universal mengenai kejengkelan ibu mana pun menghadapi anaknya yang tak penurut.
Primordial karena konflik itu dirajut dengan jalinan kultur suku Baduy yang kuat. Film itu unggul berdasarkan konten yang mengangkat kekayaan budaya Indonesia, termasuk keindahan panorama Desa Kanekes dengan hutan lebat, rumah tradisional, dan sungai jernih.
Penonton dapat belajar dari kearifan lokal suku Baduy yang sederhana, tetapi mengena untuk masyarakat kota dengan sikap mau menang sendiri. Saat Nona hendak mengikuti Jaya (Andri Mashadi), pemuda suku Baduy, misalnya, gadis itu diminta tak berjalan beriringan.
”Kamu jalan di belakang saya supaya tidak mengganggu orang yang berlawanan arah,” ujar Jaya di jalan setapak yang sempit. Beberapa kali pula semangat lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak diutarakan Jaya dan Hapsa.
Artinya, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung, gunung tak boleh dihancurkan, dan lembah tak boleh dirusak yang diterapkan suku Baduy secara turun-temurun. ”Kami belajar dari alam,” kata Jaya saat Nona bertanya soal sekolahnya.
Tak pelak lagi pemandangan alam yang lestari di Desa Kanekes dapat dihadirkan dengan memukau. Jembatan yang terjalin dari akar pohon, kunang-kunang dengan sinar memesona, dan putaran kolecer (kitiran) juga menghiasi adegan-adegan Ambu.
Ibu-ibu yang menenun, para pria membelah kayu bakar, warga mencuci di kali, dan pemuda memasukkan padi dalam leuit (lumbung) turut mencuri perhatian. Meski memegang tradisi dengan kuat, kelenturan suku Baduy menuju perubahan yang positif ikut dideskripsikan.
Dulu, banyak orang Baduy dinikahkan saat masih belia sehingga sudah memiliki anak pada umur 17 tahun. Hapsa yang usianya tak terpaut jauh dengan Fatma bahkan sudah punya lima cucu. Kini, suku Baduy menghindari pernikahan dini dengan usia setidaknya 25 tahun untuk pria dan 20 tahun untuk perempuan.
Ambu dengan shooting selama 32 hari menjadi film bertema suku Baduy yang pertama. Polemik keluarga sebenarnya dapat diletakkan dalam bingkai suku apa pun, tak cuma Baduy. Maka, misi Pemerintah Kabupaten Lebak menyisipkan pesan-pesan, terutama promosi pariwisata, tak ayal menjadi kentara.
Sutradara Ambu, Farid Dermawan, mengakui film itu mengandung harapan agar suku Baduy lebih dikenal. Perjalanan Fatma dan Nona dari Stasiun Kebayoran ke Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, contohnya, menggambarkan bahwa perjalanan menuju Desa Kanekes dari Jakarta dapat dilakukan cukup praktis.
Setelah hampir dua jam menumpang kereta, wisatawan bisa naik angkot selama sekitar satu jam untuk tiba di desa tersebut. ”Kami ingin menunjukkan bahwa pergi ke permukiman suku Baduy itu gampang,” ujar sutradara yang juga suami Bupati Lebak Iti Jayabaya itu.
Akting Widyawati menjadi kekuatan Ambu yang belum tertandingi. Film itu menjadi medan perseteruan ibu dan anak. Aktris peraih Piala Citra itu mampu menunjukkan gurat kemarahan dalam ekspresi yang subtil.
Sorot mata tajam Widyawati sebagai Misnah menghunjam kalbu, mengucapkan dialek suku Baduy dengan nyaris sempurna, dan intonasi amarahnya menggetarkan. Sementara Bella yang memang lahir di Bandung, Jawa Barat, tak kesulitan berdialog dengan logat Sunda untuk menghadirkan sosok Fatma.
Akting Lutesha sebagai anak kota yang manja juga lebih baik dari film sebelumnya, My Generation. Adapun Enditha membawakan karakter perempuan bawel yang mengisi celah-celah Ambu dengan komedi. Bupati Lebak turut tampil sebagai kameo berperan sebagai pembeli tenunan suku Baduy yang diantar Jaya.
Widyawati juga mengisi Ambu dengan melantunkan lagu sendu, ”Semesta Pertamaku”, sejalan dengan filmnya yang mengharukan. Saat diputar perdana untuk awak media di Plaza Senayan, Jakarta, Rabu (1/5/2019), terdengar tidak hanya sedu sedan kaum hawa, sejumlah lelaki pun mengusap mata berkaca-kaca.
Penulis skenario Ambu, Titien Wattimena, sudah mengemukakan ide pembuatan film itu empat tahun lalu. Farid ternyata menyukai sinopsis dan pesan dalam film itu.
”Ibu adalah rumah, tanah yang kita pijak, dan tempat kelahiran,” kata Titien menjelaskan filosofi Ambu.