Kisah Jajanan Jalanan
Makanan adalah salah satu bentuk produk budaya. Dengan mengenal makanannya, orang dapat mengintip seperti apa budaya masyarakatnya. Makanan pun menjadi akar pengikat keberadaan suatu masyarakat di negeri tempatnya bertumbuh.
Dalam sepiring produk makanan tidak hanya terdapat bumbu-bumbu, bahan baku, dan cara memasak atau menyajikannya di atas meja hidang. Satu sajian makanan bisa jadi mengandung beragam unsur latar belakang di baliknya.
Mulai dari terkait hal-hal yang bersifat sosiologis hingga sejarah asal-usul, termasuk tentang bagaimana suatu makanan bisa jadi pilihan sumber nutrisi populer pada masyarakat di suatu tempat.
Pergulatan sang penjual atau peracik pun, terutama dalam konteks makanan jalanan (street food), juga tak kalah menarik untuk disimak.
Sejak 26 April, Netflix, perusahaan global penyedia jasa hiburan berbasis film beragam genre, dengan 139 juta anggota berbayar di 190 negara, menayangkan program Street Food. Serial semi-dokumenter produksi Netflix ini bertema utama jajanan jalanan asal sembilan negara di tiga kawasan Asia.
Makanan jajanan jalanan kesembilan negara dipaparkan secara menarik satu per satu dengan satu atau dua pakar sejarah atau kuliner di negara itu sebagai narator dan pengkaji. Tentu juga ditampilkan para penjual atau pemilik jajanan jalanan sebagai tokoh utama.
Kawasan Asia Tenggara diwakili Indonesia, Singapura, Filipina, dan Vietnam. Kawasan Asia Timur diwakili Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Kawasan Asia Selatan diwakili India. Setiap negara diwakili tiga sampai lima jenis makanan, salah satunya menjadi kisah utama sebagai fokus cerita.
Setiap film dalam serial ini dirancang dengan cantik untuk berkisah tentang perjalanan dan upaya setiap penjual mempertahankan produk makanan mereka hingga menjadi primadona atau kegemaran masyarakat di tempatnya berjualan.
”Kalau ingat pernyataan mendiang chef selebritas Anthony Bourdain, Indonesia menurut dia adalah ibu pertiwi masakan-masakan yang ada di kawasan Asia Tenggara. Yogyakarta dipilih kemudian karena dianggap memiliki akar sejarah, terutama kuliner, yang kuat di Indonesia,” ujar Kevindra Prianto Soemantri, pegiat gastronomi yang menjadi narator pada episode keempat Street Food, saat ditemui di Jakarta, Jumat (10/5/2019).
Episode keempat ini menampilkan kuliner khas Yogyakarta, seperti kue-kue jajanan pasar Mbah Satinem, gudeg buatan Mbah Lindu, dan mi lethek Cap Garuda produksi Yasir Ferry Ismatrada.
Lintas generasi
Setiap penjaja makanan ini juga ikut bercerita tentang bagaimana awal perjalanan usaha mereka, kisah jatuh bangun sejak awal merintis. Di antaranya terungkap pula kisah saat ”magang” ke orangtua karena lapak kuliner jalanan ini juga kerap diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Seperti pula kisah jajanan kue putu piring asal Singapura yang dikelola generasi kedua, Aisha. Sementara masakan sup ikan asal kota Chiayi, Taiwan, juga dikelola generasi ketiga, Grace.
Dalam kedua kisah itu diceritakan pergulatan Aisha dan Grace yang awalnya sama sekali tak bercita-cita melanjutkan usaha orangtua mereka itu. Mereka kemudian terlibat dalam usaha lantaran diminta dan belakangan justru berhasil memajukan usaha itu sekaligus memodernisasinya.
Aisha awalnya memilih mendalami profesi chef pastry dengan studi bidang itu di Amerika Serikat. Sementara Grace memilih berkuliah dan hijrah ke ibu kota Taipei belajar pada jurusan turisme di salah satu universitas bergengsi di sana.
Setelah menyelesaikan studi, keduanya bekerja dan akan mengembangkan karier idaman masing-masing. Namun, dikisahkan, keduanya sama-sama dipanggil kembali oleh orangtua mereka untuk membantu meneruskan bisnis keluarga yang telah berjalan puluhan tahun.
Keduanya sama-sama mengalami kesulitan dalam mengelola bisnis keluarga di bidang kuliner itu, terutama lantaran berbenturan dengan cara kerja dan pola pikir orangtua mereka yang cenderung menolak pembaruan dan modernisasi, baik peralatan maupun cara mengelola. Kisah tentang konflik dan tarik-menarik yang terjadi disampaikan dengan pas.
Ada pula kisah tentang Jay-Fai, pemilik kedai tom yum serta beragam menu kreasi dan inovasinya sendiri. Saking produktifnya, Jay yang berusia 70 tahunan itu diganjar penghargaan Bintang Michelin yang semakin membuatnya tenar.
Jay belajar memasak secara otodidak lantaran terpaksa harus mencari pekerjaan lain setelah kehilangan semua harta bendaa dalam sebuah kebakaran. Sebelumnya dia bekerja sebagai penjahit di usianya yang masih 20 tahunan.
Keberadaan jajanan jalanan di Bangkok telah menjadi ciri khas tersendiri yang menarik para wisatawan, baik asing maupun domestik. Awalnya pemerintah setempat memandang sebelah mata terhadap para pedagang jajanan jalanan tersebut. Akan tetapi, seiring waktu berjalan, masyarakat justru menginginkan keberadaan para penjaja makanan itu.
Seperti terjadi di Delhi, India, keberadaan para pedagang jajanan jalanan sudah menjadi kebutuhan masyarakat perkotaan di sana. Hal itu lantaran tak semua orang memiliki ruang cukup untuk dapur di tempat tinggal masing-masing, terutama kalangan masyarakat menengah ke bawah. Kehadiran jajanan jalanan menjadi suatu kebutuhan sekaligus penunjang hidup masyarakat di kota tersebut.
Sementara untuk jajanan jalanan di Indonesia, Yogyakarta dipilih lantaran memiliki akar budaya dan rentang usia panjang. Di situ juga ada latar sejarah keberadaan pemerintahan kerajaan (keraton) yang bahkan masih berfungsi hingga masa modern ini.
Para penjualnya pun digambarkan sudah banyak berusia sepuh. Mbah Satinem, penjual jajan pasar, bahkan tak paham tahun berapa dia dilahirkan, sedangkan Mbah Lindu penjual gudeg sudah berusia 100 tahunan.
Yang menarik, serial ini mencoba menggambarkan apa adanya kondisi dan aktivitas para penjual. Pada seri keempat musim pertama Street Food yang membahas jajanan jalanan di Yogyakarta, misalnya, ditampilkan pula aktivitas di dapur tradisional Mbah Satinem dan pabrik mi lethek sealamiah mungkin tanpa rekayasa.
”Waktu pengambilan gambar saya malah sempat nanya ke tim produksi, ini enggak apa-apa, nih, bentuk dapurnya seperti ini? Tetapi, justru produsernya malah suka dan bilang, this is it! Ini dia nih!” ujar Kevindra.
(Wisnu Dewabrata)