Abstrak Liris Putu Bonuz
Pada lukisan abstrak itu seperti melayang sepotong kain poleng khas Bali di bagian bawahnya. Ia seolah ingin menampung gemuruh warna abstrak liris karya perupa Putu Bonuz Sudiana (47), asal Nusa Penida, Bali.
”Warna hitam dan putih kotak-kotak itu simbol keseimbangan dunia. Selain itu, kain poleng tersebut menjadi identitas kultural Bali, meski saya menempatkannya pada seni lukis abstrak sebagai seni modern Barat,” ujar Putu Bonuz, Selasa (14/5/2019), seusai pembukaan pameran tunggalnya, Poems of Nature (Sajak tentang Alam) di Galeri Hadiprana, Jakarta.
Warna hitam dan putih kotak-kotak itu terdapat di lukisan Putu yang berjudul ”Ocean Offerings”. Lukisan dengan media campuran di atas kanvas berukuran 100 x 140 sentimeter (2019).
Lukisan secara keseluruhan menampakkan warna dasar dengan gradasi biru laut. Di tengahnya seperti pulau yang dilukiskan berwarna kecoklatan dihiasi taburan sapuan warna merah dan hijau.
Semburat-semburat warna putih menyelimuti pulau itu. Tetapi, di lapis paling luarnya terdapat dominasi cipratan cat berwarna hitam yang membentuk seperti ular naga menggeliat dan mengancam.
Menikmati lukisan abstrak kerap membingungkan. Tetapi, Putu Bonuz menjelaskannya dengan ringan. ”Cerita dari lukisan abstrak ini tidak muluk-muluk. Ia mengalir dari bawah sadar yang terekam dari tanah kelahiran saya di tanah yang kering di Pulau Nusa Penida,” ujar Putu.
Lulusan tahun 2002 Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali, ini menuturkan, semua karyanya adalah sebuah laku puja bakti terhadap alam. Dengan laku tersebut, ia berpikir positif dan melakukan segala sesuatu yang selaras alam.
Putu tidak mengesampingkan kritik akan kerusakan-kerusakan alam yang banyak dilontarkan orang. Namun, hal demikian kerap membuat pikiran negatif dan akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa demi kebaikan alam.
Puja bakti terhadap indahnya laut terekam ke dalam lukisannya yang berjudul ”Blue Paradise”. Lukisan dengan akrilik di atas kanvas berukuran 150 x 200 sentimeter (2019) itu termasuk lukisan paling digemari pengunjung untuk berswafoto.
Lukisan lainnya yang berjudul ”Mount Agung” dengan akrilik di atas kanvas berukuran 100 x 100 sentimeter (2019) memperlihatkan bentuk gunung yang putih keabuan terasa samar. Di hadapannya gelegak warna merah menyala dan cipratan hitamnya cukup menegangkan.
Tetap suci
Putu mengesankan Gunung Agung tetap putih atau suci. Letusannya memang membawa petaka. Tetapi, manusia hendaknya bisa beradaptasi dan bermitigasi.
”Ketika melukis, saya seperti tidak tahu bagaimana harus memulai dan mengakhirinya. Saya mengalir dengan apa yang saya rasakan dan jadilah melukis abstrak yang tidak terpola,” kata Putu.
Putu menjelaskan, banyak hal tertanam di bawah sadar selama kita hidup. Ketika ingin melukis dan berhadapan dengan kanvas, alam bawah sadar itu sering keluar tanpa disadari. ”Di situ muncul ekspresi yang sering membuat saya sendiri terkejut,” ujarnya.
Kemudian, Putu mencoba menelaah apa yang terjadi dan memberikan sebuah identitas untuk karya yang sudah diselesaikannya. Ia melukis abstrak itu seperti melahirkan seorang bayi. Kemudian bayi itu diberi identitas.
”Menjadi tidak gampang ketika lukisan abstrak digunakan untuk menerjemahkan situasi sosial dan politik. Bagi saya, ini sangat sulit karena lukisan abstrak keluar dari dalam diri seniman,” kata Putu.
Puri Hadiprana, sebagai pengelola Galeri Hadiprana, menyebutkan, karya Putu Bonuz memadukan inspirasi karya Willem de Kooning (1904-1997), pelukis abstrak dari Amerika Serikat, asal Rotterdam, Belanda, dengan pelukis abstrak Amerika lainnya, Jackson Pollock (1912-1956).
Kooning lebih kuat pada sapuan warna dan sedikit saja tumpukan yang tidak berpola. Pollock lebih ekspresif dan emosional dengan mencipratkan cat-cat warna-warni saling bertumpukan.
”Karya-karya Putu Bonuz menampakkan sebuah perayaan atas suatu konfigurasi warna, tetapi memiliki kedalaman tekstual,” ujar Puri Hadiprana.
Sastrawan Wayan Jengki Sunarta menyampaikan sebuah puisi untuk pameran Putu Bonuz kali ini. Judulnya, ”Puisi untuk Alam”.
Di situ, Sunarta lugas menyampaikan, ”Warna-warna yang kutorehkan di atas kanvas//adalah rangkaian puisi yang kupersembahkan kepada alam....”
Ia menyebutkan pula, ”Hitam bukanlah melulu kelam//sebab ia simbol Wisnu pemelihara bumi....”
Putu Bonuz meyakinkan, gaya lukisan abstrak modern karyanya memiliki identitas dan narasi tersendiri. Kebudayaan Bali kuat memengaruhinya dengan mendaraskan keseimbangan di atas gemuruh tarian warna sebuah gaya lukisan abstrak ekspresionisme.
”Menjadi seniman itu untuk menjadi berbeda saja di mata umum,” ujar Putu.
Di sepanjang karier melukisnya, Putu Bonuz merasa cukup dekat dengan tokoh Hendra Hadiprana (1929-2018), ayah Puri Hadiprana. Pertemuan Putu dengan Hendra pada tahun 1999, semasa Putu masih menempuh studi di ISI Denpasar.
”Pak Hendra pertama kali datang menemui saya di kos-kosan. Kemudian beliau menjadi pembimbing karier saya hingga sukses,” ujar Putu.
Kedalaman tekstual bagi sebuah karya Putu adalah suatu hal yang tidak bisa lagi ditawar-tawar. Sebuah puisi berjudul ”Ibu Bumi” dibacakan Putu dalam pembukaan pamerannya. Kedalaman 26 lukisan abstrak yang dipamerkannya seakan terwakili oleh deretan kata puitik tersebut.
Putu membuka puisinya, ”Jika sedikit saja pertiwi ini bergetar, maka sirnalah kita. Itulah kekuatan Ibu.”
”Kita bernapas dari urat nadinya yang mengaliri darah di tubuh kita. Kita mengais sari makan sekalipun dari renta tubuhnya.”
Ia mengakhirinya dengan, ”Dan jika hidup adalah perjalanan... Maka Ibu adalah Tujuan.”
Puisi itu adalah ranah tekstual bagi lukisan-lukisan abstrak liris Putu Bonuz.
(NAWA TUNGGAL)