Sengkarut Identitas
Identitas layaknya perabotan pecah belah yang bergambar aneka rupa dan warna, sekaligus mudah rapuh dan terbelah. Layaknya pula sebuah layar yang menangkap bayangan aneka bentuk, tetapi sewaktu-waktu bisa berubah, bahkan menghilang musnah.
Dua perupa bersahabat karib, Bibiana Lee dan Indah Arsyad dari Jakarta, menyuguhkan metafora identitas tersebut dengan cara ungkap artistik kontemporer yang berbeda. Bibiana menuangkan goresan-goresan gambarnya di permukaan porselen piring, cangkir, mangkuk, dan cawan. Adapun Indah memainkan tangkapan bayangan dari sinar cahaya yang menembus lembar akrilik transparan.
Di lembar akrilik itu digrafir aneka gambar dengan narasi isi gunungan wayang Jawa. Indah menyertakan model manusia di belakang akrilik itu sehingga citra bayangan yang terbentuk berupa figur manusia di antara figur-figur dari narasi gunungan wayang Jawa tersebut.
Bibiana dan Indah menampilkan karya masing-masing dalam pameran bertajuk ”ID: Sengkarut Identitas” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran ini berlangsung sejak 19 Mei hingga 16 Juni 2019.
”Karya di dalam pameran ini saya persiapkan setelah terjadi gonjang-ganjing pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Di situ muncul politik identitas dan saya ingin menuangkan perasaan tidak enak saya menjadi karya, sekaligus ini menjadi terapi bagi diri saya,” ujar Bibiana Lee, Senin (3/6/2019), yang ketika dihubungi sedang berada di Melbourne, Australia.
Bibiana sempat mengenyam pendidikan teknologi informasi di Universitas Curtin, Australia. Kemudian studi teknologi kain dan tekstil di Hollings College dan University of Manchester Institute of Science and Technology, keduanya di Inggris.
Bibiana menuangkan rasa getirnya terhadap situasi politik di Indonesia. Itu karena hampir selalu dimunculkan politik identitas setiap kali terjadi hajatan peralihan kekuasaan politik.
Identitas dipolitisasi sedemikian rupa melalui sebuah interpretasi yang ekstrem. Itu semua demi tujuan oposisional tertentu yang tidak lagi memedulikan, bahkan sampai mengoyak nilai kebaikan bersama.
Kaligrafis
Karya Bibiana yang diberi judul ”1 Set Seri WNI Keturunan (Indonesian Chinese)” berisikan beberapa porselen piring, cangkir, dan cawan. Selintas hiasan gambar di bidang permukaan masing-masing tampak sekadar ornamen, tetapi Bibiana menorehkan kata membentuk rupa kaligrafis.
Di antaranya seperti kata ”Agama Suku Ras” membentuk kelopak bunga berwarna merah terang. Ada tangkai hijaunya yang tersusun dari kata ”Ikrar Bangsa Meleburkan Perbedaan”.
Kemudian ada kelopak bunga merah lainnya yang lebih kecil tersusun dari kata ”WNI Hak Sama”. Ada lagi bentuk bijinya yang berwarna biru tersusun dari kata ”Indonesia”.
Karya berikutnya diberi judul ”1 Set Seri Politik Identitas (Identity Politics)”. Di sebuah piring ada gambar separuh badan seekor naga muncul ke atas permukaan laut.
Gelombang laut berwarna biru tersusun oleh kata-kata ”Laksamana Cheng Ho”, ”Di Tahun 1476”, ”Datang dari Cina ke Nusantara”, ”Untuk Menyebar Islam”. Lalu tubuh naga terbentuk dari susunan beberapa kata, di antaranya ”Sunan Kalijaga Gan Si Chang”, ”Sunan Gunung Jati Tu An Po”, dan ”Sunan Kudus Ca Tek Su”.
”Di Indonesia, orang Tionghoa selalu dibilang WNI keturunan. Akan tetapi, bagaimana dengan WNI keturunan India, Arab, atau yang lainnya yang tidak pernah disebut WNI keturunan?” ujar Bibiana.
Di sinilah sengkarut identitas. Sengkarut memiliki makna sesuatu yang jalin-terjalin, lilit-melilit, seperti benang kusut yang sulit diurai lagi. Sengkarut identitas ini bagai pisau bermata dua. Di satu sisi bisa menumbuhkan warna kehidupan dengan toleransi, sekaligus bisa memicu intoleransi.
Kehilangan
Berbeda dengan Bibiana, karya Indah Arsyad lahir dari perasaannya yang didera kehilangan akar identitas. Indah terlahir dan tumbuh di Jakarta dari seorang ibu asal Ambon dan ayah asal Jawa.
Indah merasa kehilangan akar identitas budaya, baik dari pihak ibu maupun ayahnya. Contohnya, Indah tak menguasai bahasa Ambon seperti ibunya atau bahasa Jawa seperti ayahnya.
”Saya yakin tidak ada manusia yang murni atau pribumi di Indonesia. Seperti kupu-kupu, manusia akan bermetamorfosis, terus berubah,” ujar Indah, yang menyelesaikan studi di Universitas Trisakti, Jakarta, di bidang arsitektur lanskap dan teknologi lingkungan.
Indah dan Bibiana pernah sama-sama menempuh lokakarya seni di Studio Tridharma milik seniman Teguh Ostenrik di Jakarta. Keduanya tergolong aktif berpameran karya seni rupa kontemporer di dalam dan luar negeri.
Di pameran ini Indah menampilkan sembilan karya instalasi yang diberi judul Kupu-kupu (Butterfly) Subyek 1 sampai 9. Indah menempatkan subyek manusia sebanyak sembilan orang untuk melengkapi citra bayangan.
Bayangan itu dibentuk dari lembar akrilik transparan yang digrafir gambar cuplikan isi gunungan wayang kulit. Gunungan dalam tradisi seni wayang kulit Jawa mengisahkan kesemestaan. Kesemestaan ini bisa dalam lingkup luas, seperti hutan serta seisinya. Namun, juga bisa lingkup kecil seperti istana atau arena kehidupan aneka satwa.
Karya Indah berjudul ”Butterfly, Subject 1” berupa citra bayangan dari model seorang pemuda bercelana pendek dan berdiri tegak. Bayangan pemuda itu ada di antara citra bayangan yang berbentuk seekor harimau, dua ular besar, wajah Kala, dan bangunan seperti lorong dengan gapura kerajaan.
Sementara karya ”Butterfly, Subject 2” dengan model perempuan berhijab. Bayangannya di antara citra berwujud empat tokoh raksasa penjaga gerbang dalam pewayangan Jawa, banteng, ular bermahkota, harimau, bola bumi, dan bangunan gapura.
Karya ”Butterfly, Subject 3” menggunakan model seorang pemuda merentangkan kedua lengan tangannya. Citra bayangannya berbaur dengan citra bayangan akrilik berisikan wujud dua banteng, sulur-sulur ornamen gunungan wayang, dan peta dunia.
Begitu seterusnya, terdapat sembilan karya dengan model orang dan gambar dari narasi gunungan wayang yang berbeda-beda. Indah memainkan unsur bayangannya untuk membentuk citra karya artistik.
Kemudian Indah menggenapi dengan karya serupa yang interaktif. Pengunjung bebas memerankan sebagai model untuk menciptakan citra bayangan.
Pengunjung berdiri di balik lembar akrilik yang juga digrafir gambar. Namun, satu per satu pengunjung itu harus menuliskan identitas budayanya.
”Lama-kelamaan gambar dari narasi gunungan wayang Jawa itu hilang tertutup tulisan-tulisan identitas dari para pengunjung,” kata Indah.
Melalui karya interaktif ini Indah merepresentasikan bagaimana identitas lama terhapus identitas baru. Bagi Indah, meski etnis, agama, dan karakter budaya mampu memberi kita identitas, itu akan terus mengalir berubah.
”Pengalaman hidup serta realitas sosial politik mengubah pandangan terhadap diri sendiri maupun pandangan orang lain terhadap diri kita,” kata Indah.
Kurator pameran Asmudjo J Irianto mengemukakan, Bibiana dan Indah menyuguhkan karya seni rupa kontemporer yang merepresentasikan persoalan kritis, yaitu politik identitas. Tema seperti itu juga intens tampil di panggung seni rupa kontemporer global.
(NAWA TUNGGAL)