Kesuksesan ”Parasite” Dorong Pertumbuhan Industri Film di Asia
Kesuksesan film dari Korea, ”Parasite”, diharapkan bisa mendorong pertumbuhan industri perfilman di negara-negara Asia.
Oleh
DENTY NASTITIE PIAWAI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesuksesan film Parasite dalam Academy Awards dapat mendorong pertumbuhan industri perfilman di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Berkaca dari kesuksesan Parasite, dibutuhkan gagasan film yang orisinal, beragam, personal, dan sangat Indonesia untuk mencuri perhatian dunia.
Sutradara film The Science of Fictions, Anggi Noen, menjelaskan, selama ini industri perfilman dunia selalu didominasi oleh Amerika Serikat. ”Hal itu tidak lepas dari sejarah perfilman, dan industri film yang memang banyak muncul di sana,” katanya, saat konferensi pers Plaza Indonesia Film Festival 2020 di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2020).
Meski selama ini film selalu ”Amerika sentris”, menurut Anggi, film Parasite karya sutradara asal Korea Selatan, Bong Joon-ho, berhasil mendobrak situasi itu dengan meraih empat penghargaan Academy Awards, termasuk dinobatkan sebagai Film Terbaik. Ini menjadi signal positif bahwa film-film dengan subtitle yang diproduksi di luar Amerika Serikat dapat mencuri perhatian publik.
”Tetapi, untuk dapat mendobrak situasi, sangat tergantung dari film yang diproduksi itu sendiri. Apakah film yang diproduksi bisa menawarkan gagasan yang orisinal, personal, menunjukkan keberagaman, gagasan-gagasan yang sangat Indonesia, yang tidak ada di tempat lain,” katanya.
Berkaca dari film Parasite, selain gagasan orisinal dan beragam, diperlukan juga kerja sama antara pembuat film, pemangku kebijakan, pemilik modal, dan penonton.
”Penonton dapat mendukung dengan menyaksikan film-film yang khas Indonesia. Sementara pemilik modal ditantang, apakah mau mendukung film-film potensial yang sangat personal dan sangat khas Indonesia. Selama ini kecenderungannya film yang mendapat dukungan dari pemilik modal adalah karya dengan satu narasi tunggal, bukan narasi yang menunjukkan keberagaman,” ujarnya.
Bintang film Asmara Abigail menuturkan, film-film Indonesia punya kesempatan besar untuk berkembang seperti Parasite asalkan mendapat dukungan dari penonton dan pemangku kebijakan. ”Dalam hal sensor, misalnya, pemangku kebijakan harus berpikir bagaimana sensorship ini tidak mengganggu visi dan misi pembuat cerita,” ujarnya.
Asmara Abigail merupakan bintang film yang berperan dalam film The Science of Fictions. Film yang tayang perdana dalam Busan Film Festival itu akan diputar di Plaza Indonesia Film Festival 2020. Festival dengan tema ”Colors of Love” ini akan menayangkan 10 film dari sembilan negara pada 24-28 Februari 2020. Film yang akan ditayangkan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, belum pernah diputar di layar lebar Indonesia.
Film yang akan diputra antara lain Mountain Song (Indonesia), House of Hummingbird (Korea Selatan), Monos (Colombia), The Science of Fictions (Indonesia), The Lighthouse System Crasher (Jerman), dan Honeyland (Macedonia). Festival ini bekerja sama dengan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), Instituto Italiano di Cultura, dan Kinosaurus.
General Manager Marketing Plaza Indonesia Zamri Mamat berharap, festival ini dapat mendukung industri film nasional. ”Kalau Parasite bisa menang Hollywood, barangkali Indonesia, dan negara-negara lain di Asia Tenggara dan Asia, dapat menang juga. Kita harus mendukung perfilman Indonesia dengan menonton lebih banyak film subtitle yang diputar dalam festival,” katanya.
Dari 10 film yang diputar di Plaza Indonesia Film Festival 2020, hanya dua yang merupakan karya sutradara Indonesia, yaitu Mountain Song dan The Science of Fictions. Berbeda dengan tahun lalu, ada empat film karya sineas Indonesia yang diputar di festival. Sulitnya mencari film Indonesia yang berkualitas, menjadi tantangan kurator tahun ini.
”Tahun ini, animo karya dari sineas Indonesia tidak sebanyak tahun lalu. Film-film yang diputar dalam festival di luar negeri juga tidak sebanyak tahun lalu. Kami ingin mengapresiasi karya-karya baru dan terus mengharumkan nama Indonesia,” kata kurator film PIFF, Sugar Nadia.
Dalam memilih film, Sugar menjelaskan, pihaknya memperhatikan tren film dunia serta membuka ruang diskusi dengan sineas dan distributor film untuk memutuskan film-film terbaik yang akan ditayangkan dalam festival.
Anggi menuturkan, festival film merupakan kesempatan terbaik bagi sineas untuk bertemu dengan penonton. ”Sebagai sutradara, setiap memproduksi film kami sangat khawatir, apakah film kami diterima publik atau tidak. Dengan adanya festival film, ini kesempatan kami untuk bertemu penonton. Apalagi, dalam festival biasanya ada sesi tanya jawab sehingga kami bisa mendengar langsung komentar penonton dan meredam kekhawatiran kami,” katanya.
Sementara itu, sutradara Wregas Bhanuteja mengatakan, dukungan penonton menjadi energi untuk sineas memproduksi film-film berkualitas selanjutnya. ”Ibarat kendaraan, sebagai sineas kami membutuhkan bensin untuk dapat melaju. Dukungan penonton merupakan energi bagi kami untuk terus melaju,” kata sutradara film pendek Tak Ada yang Gila di Kota Ini.