”The Call of the Wild”: Persahabatan Berbalut Bahaya
Hampir separuh dari film ini menceritakan lika-liku kisah petualangan pembawa surat di era lampau.
Oleh
Mawar Kusuma
·5 menit baca
Pertalian antara manusia dan anjing telah banyak dipanggungkan di layar film. Namun, seolah tak pernah kehilangan ramuan untuk menyihir penontonnya, kisah persahabatan dua makhluk berbeda ini selalu mampu menumbuhkan rasa haru. Campur aduk rasa makin terasa pas dengan latar belakang keindahan pegunungan salju.
Bagi penonton dewasa, Film The Call of the Wild sanggup menyentuh relung terdalam kemanusiaan. Hidup sering kali memberikan kegetiran sama seperti yang dialami tokoh-tokoh utama dalam film ini. Tetapi, rasa pedih itu justru mampu menjadi batu asahan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Sementara untuk penonton kanak-kanak, Film The Call of the Wild mujarab membuat mereka terpaku duduk di ruang bioskop selama hampir dua jam. Bahkan, anak-anak usia balita pun tetap bisa tertawa atau sekadar menikmati keindahan gambar alam ataupun keragaman binatang yang disuguhkan.
Film yang disutradarai oleh Chris Sanders dan diproduseri Erwin Stoff ini diadaptasi dari kisah novel klasik The Call of the Wild karya Jack London yang sudah beberapa kali diangkat ke layar film. Kisahnya masih sama, tentang perjalanan hidup seekor anjing rumahan bernama Buck. Sempat menjadi anjing kesayangan seorang hakim, Buck bergelimang dengan kasih sayang.
Apa pun yang dilakukannya, seisi kota tetap memaklumi dan memanjakan. Namun, kenyamanan tinggal di tengah keluarga yang menyayangi itu akhirnya berakhir. Buck diculik pada suatu malam yang hujan deras. Di tengah kilat dan derasnya air hujan, ia mengawali petualangan yang membawanya bertemu dengan orang dan tempat yang tak terduga.
Sejak awal, penonton disuguhi indahnya pemandangan alam di era tahun 1890-an. Mode busana yang dipakai oleh tokoh-tokoh dalam film ini mengingatkan pada pakaian era kolonial. Tumbuh besar di California, Amerika Serikat, kisah penculikan membawa Buck yang digotong dalam kurungan berjeruji besi ini bertualang hingga ke Kanada.
Demam emas
Di pegunungan bersalju dengan hamparan hutan pinusnya, anjing-anjing dibutuhkan dalam jumlah banyak untuk membantu menarik kereta salju guna memperlancar pencarian emas di Yukon, Alaska. Alamnya terasa begitu murni karena sentuhan teknologi modern memang belum banyak terasa. Hiruk-pikuk kota dengan hadirnya orang-orang dari beragam daerah untuk perburuan emas menjadi latar belakang suasana ketika Buck menginjakkan kaki pertama kali di Alaska.
Demam Emas Klondike dicatat dalam sejarah sebagai peristiwa besar yang puncaknya berlangsung dari tahun 1897 sampai 1899 di Alaska. Konon, lebih dari 100.000 orang berdatangan ke Sungai Klondike untuk perburuan emas. Ketika anjing-anjing lain dibeli oleh para pemburu emas untuk menarik kereta barang, Buck menemukan nasib berbeda sebagai anjing penarik muatan surat.
Sebagai pembawa surat, Buck bekerja sama dengan kawanan anjing lain yang sudah lebih dulu berpengalaman. Untuk pertama kali dalam hidupnya, anjing rumahan ini memiliki kawanannya sendiri. Peran sebagai pembawa surat di pegunungan bersalju dengan musim dingin yang bisa berlangsung terus-menerus selama tujuh bulan sudah dijamin bakal menyajikan gambar yang eksotis.
Eksotisme ini dibangun dari hadirnya danau yang sudah membeku, bukit-bukit es yang bisa runtuh kapan saja, sungai bebatuan berair jernih, hingga keindahan aurora maupun langitnya yang jernih penuh bintang. Keindahan alam liar ini seolah menjadi oase bagi penonton kanak-kanak yang sehari-hari harus menghabiskan rutinitas dikelilingi tembok sekolah ataupun rumah.
Jangan bayangkan jalanan mulus dan rata. Rute yang harus ditempuh Buck bersama anjing-anjing lain pembawa surat adalah rute yang penuh dengan bahaya. Di tengah bahaya inilah, Buck yang memiliki badan lebih besar dibanding anjing-anjing lain menemukan takdirnya. Ia tak lagi menjadi sekadar peliharaan, tetapi menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Bertemu takdir
Hampir separuh dari film ini menceritakan lika-liku kisah petualangan pembawa surat di era lampau. Betapa selembar surat yang begitu berharga ini harus dibawa dengan susah payah menembus pegunungan es. Surat-surat ini diangkut dengan kereta salju yang ditarik dengan kekuatan para anjing penarik kereta salju.
Di jalanan yang licin dan tertutup salju, anjing-anjing penarik salju ini menjadi andalan utama dalam urusan transportasi dan pengangkutan barang. Umumnya, anjing jenis Siberian Husky-lah yang digunakan sebagai penarik kereta salju karena lapisan kulitnya yang tebal yang tahan suhu beku. Namun, Buck yang adalah anjing rumahan blasteran dari St Bernard and Old English Sheepdog ini ternyata mampu menunjukkan ketangguhannya sebagai anjing penarik kereta surat.
Kemajuan teknologilah yang akhirnya memisahkan Buck dari peran sebagai pengirim surat yang sudah sangat diresapinya dengan baik. Suatu masa tiba ketika anjing penarik kereta surat tak lagi dibutuhkan. Hidup Buck pun kemudian kembali mengalami perubahan.
Perlakukan buruk manusia kembali dicecap Buck sebelum ia bertemu dengan pria tua, John Thornton, yang diperankan dengan apik oleh Harrison Ford. Berbeda dengan gerombolan pencari emas, Thornton datang ke Alaska untuk membuang kenangan buruk dalam hidupnya. Selain berperan sebagai Thornton, Ford juga mengisi suara sebagai narator cerita dalam film ini.
Persahabatan erat antara Buck dan Thornton terasa sangat mengharukan. Sayangnya, Buck tak diperankan oleh anjing asli. Ia dibangun dari teknologi animasi komputer. Seandainya saja anjing asli yang benar-benar dilibatkan untuk memerankan Buck, film ini akan terasa sangat sempurna.
Namun, Buck dalam wujud animasi pun tetap bisa dibilang hampir mendekati rupa dan sifat seekor anjing yang benar-benar bisa menjadi sahabat terbaik manusia. Persahabatannya dengan manusia pula yang justru mengantarkan Buck menemukan takdir yang tak pernah diimpikannya, yaitu menjadi tuan atas dirinya sendiri. Dia dimanja lalu menderita, tapi dia tak bisa dipatahkan!