Suara Mereka yang Terpinggirkan
Dari desa kecil di Pulau Kangean, Madura, Jawa Timur, Endah, perempuan yang ditinggal suaminya ke Malaysia untuk mengadu nasib, menyuarakan kisahnya.
Dari desa kecil di Pulau Kangean, Madura, Jawa Timur, Endah, perempuan yang ditinggal suaminya ke Malaysia untuk mengadu nasib, menyuarakan kisahnya. Bukan kisah gemerlap bertabur harta dan semerbak bunga, tetapi kisah pilu tentang hidup yang tergadai.
Kisah Endah dibuka dengan adegan saat Endah membersihkan makam sang ibu. Di sebuah siang yang terik, berlatar alam gersang dan tandus.
Di depan makam ibunya, Endah mengungkapkan betapa dia sangat merindukan sosok ibu yang selama ini menjadi teman dan pelindungnya. Juga, betapa berat hidup yang dilaluinya di dunia dalam dominasi laki-laki.
Di Kangean, yang menjadi tempat hidupnya, laki-laki adalah penentu. Merekalah yang berhak menentukan nasib hidup perempuan seperti Endah. Tak ada tempat untuk berdialog. Nasib dan hidup perempuan seperti Endah ada di tangan para lelaki.
Ini adalah kisah laki-laki di hidup Endah. Terangkum dalam film garapan sutradara Dirmawan Hatta dari Tumbuh Sinema Rakyat berjudul Istri Orang.
Seperti banyak perempuan di Kangean, Endah harus patuh tatkala waktunya tiba. Ia dipaksa sang ayah menikah dengan laki-laki yang tak dicintainya, tanpa pernah ditanya seperti apa hidup yang ia inginkan.
Semakin tragis karena pernikahan itu dilandasi motif ekonomi. Perempuan seperti Endah ibarat obyek, ibarat barang yang bisa dipertukarkan sebagai alat ekonomis.
Pernikahan nyatanya tak membawa Endah ke mana-mana. Setelah terpaksa meninggalkan kekasihnya, suami Endah pun akhirnya meninggalkan Endah mengadu nasib ke Malaysia.
Endah harus menjalani hidup sepi di Kangean, dengan status sebagai istri seseorang. Impiannya untuk menjadi lebih berdaya dengan mengajar dan berkontribusi bagi anak-anak di desanya dipertanyakan mertuanya.
Dengan menggarap sawah dan mengelola penggilingan padi milik mereka, tepatnya milik sang mertua, hidup Endah seharusnya sudah lebih dari cukup. Sudah mapan dan sejahtera. Mudahnya sang mertua menafikan impian Endah dan hidup yang diinginkannya.
Hidup Endah nyatanya memang telah tergadai. Statusnya sebagai istri seseorang, meski terpisah jauh dan tak pernah merasakan hubungan baik sebagai suami istri, telah memaksa Endah tetap meneguhi komitmennya. Endah pun melepaskan harapannya yang sempat tumbuh karena mencintai laki-laki lain.
Film Istri Orang menggambarkan keperihan hidup seorang perempuan di kawasan terpencil di Kangean. Di sana, banyak Endah lain yang juga mengalami hal serupa karena dominasi kuat para lelaki.
Di sana, fenomena ”Jamal” alias ”janda Malaysia” sangat umum seperti halnya kisah Endah. Endah yang hidupnya terbelenggu, tergadai tanpa punya hak untuk membela diri. Ini adalah gambaran betapa kekerasan terhadap perempuan nyatanya tak melulu berupa kekerasan fisik, tetapi juga mengoyak psikis.
Film ini tak hanya kuat secara cerita, tetapi juga indah secara visual. Dirmawan dan timnya berhasil menyuguhkan gambar-gambar yang puitik dari pengadeganan yang ada. Tersaji pula tampilan visual estetik dari alam Madura meski daerah itu digambarkan kering kerontang dan amat terik.
Yang menarik, seluruh pemain film ini adalah warga setempat. Merekalah para pemilik cerita. Mereka berhasil menghidupkan cerita mereka secara alami, muncul dengan penjiwaan yang kuat. Melalui film Istri Orang, perempuan- perempuan seperti Endah, kelompok marjinal di kawasan terpencil, bisa bersuara lebih keras.
Mengenal marjinal
Istri Orang menjadi salah satu film yang diputar dalam Festival Film Mengenal Marjinal hasil kolaborasi Kineforum dan Program Peduli pada 21-23 Februari 2020. Sebagai film pembuka, Istri Orang diputar pada Jumat (21/2/2020) di IFI Thamrin, Menteng, Jakarta Pusat. Film ini telah diputar di sejumlah kampus, juga di Festival Fukuoka di Jepang.
Film-film lain yang diputar dalam festival tersebut antara lain Turah, Jalan Raya Pipikoro, Di Tepi Kali Progo, Sebelum Berangkat, Bermula Dari A, dan Heaven for Insanity. Ada juga kompilasi film program Peduli yang terdiri dari Lentera di Balik Dinding, Lilin yang Tak Lagi Redup, serta Sejatine Sang Penghayat.
Sama halnya dengan Istri Orang, film-film lainnya juga berkisah tentang diskriminasi kepada kaum marjinal. Turah, misalnya, berkisah tentang persaingan hidup yang menyisakan orang-orang kalah di Kampung Tirang. Sementara kehidupan warga Desa Pipikoro di Sigi, Sulawesi Tengah, yang selama ini terisolasi, disajikan dalam Jalan Raya Pipikoro, juga garapan Dirmawan Hatta.
Sebagai sutradara, Hatta mengungkapkan, yang paling menarik dari keseluruhan film yang dia buat dalam wadah organisasi Tumbuh Sinema Rakyat adalah proses pembuatannya. Ide dan gagasan tentang apa yang akan disuarakan lahir dari realitas setempat, hasil dari lokakarya panjang dengan warga yang kemudian menjadi pemain.
”Maka, muncullah satu demi satu pengalaman yang bermacam-macam. Di Kangean, sebagian besar adalah pengalaman dijodohkan. Pengalaman tentang pernikahan. Pengalaman tentang yang mereka sebut, ’Jamal’, janda-janda Malaysia. Perempuan yang ditinggal ke Malaysia karena hampir semua laki-laki di sana, pergi ke Malaysia untuk menjadi pekerja bangunan,” kata Hatta.
Para laki-laki yang bekerja di Malaysia itu mengirim uang melalui agen. Di Kangean, istri dan anak-anaknya telantar, sekolah pun malas. Mereka memilih menggunakan uang untuk membeli motor, seperti Kawasaki Ninja dan Honda ZPR, sebagai lambang status untuk kemudian digunakan di jalanan yang sama sekali tak beraspal. Anak-anak muda yang tak punya kegiatan memilih ngelem dengan cara menghirup uap bensin dan meminum obat batuk banyak-banyak.
Pada lokakarya untuk pembuatan film ini, dibangunlah kesempatan untuk bersikap kritis karena selama ini mereka berjarak dengan kenyataan sehari-hari. Dengan begitu, diharapkan kelak mereka punya gagasan lain tentang semesta yang mereka tempati.
Menurut Manajer Program Peduli Pilar Masyarakat Adat Yasir Sani, apa yang dilakukan Dirmawan Hatta melalui Istri Orang juga film-film lainnya, seperti Jalan Raya Pipikora, adalah bagian dari upaya membuat komunitas yang selama ini termarjinalkan bersuara.
”Apa yang kami lakukan dengan Hatta ini sebenarnya eksperimen bagaimana Peduli menyuarakan kelompok marjinal dalam bentuk lain. Mereka menjelaskan sendiri, bercerita sendiri, kemudian secara visual bisa diterima dan ditangkap dalam bentuk film,” kata Sani.
Salah satu tantangan di masyarakat adat, dalam kaitannya dengan budaya, selalu berupa ketidaktahuan bagaimana mendengar suara perempuan. Film Istri Orang, menurut Sani, sangat bagus karena menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dalam wujud kekerasan fisik.
”Kekerasan psikis selama ini agak sulit diungkap dalam bentuk visual,” katanya.